Minggu, 23 September 2012
Rabu, 22 Agustus 2012
MISS CUPID - 10
SEPULUH
***
HARI ini Ify dijemput Shilla, karena dia memaksa Ify harus bersamanya dari pagi sampai pulang sekolah. Rasa penasaran Shilla sudah tidak bisa dibendung. Ia ingin mendengar laporan dari “detektif swasta”-nya mengenai info yang didapat, sedetail-detailnya. Makanya Ify disandera. Shilla sudah hafal kebiasaan Ify yang suka kabur kalau sedang tidak mood cerita.
“Aduuuuhh.. gini nih kalo dijemput Shilla, lama bangetttttt. Mana aku piket lagi. Bisa disemprot sama si kutu buku nih!” Ify bergidik membayangkan Bastian, ketua kelasnya yang aneh abis. Kerjaannya ngomel, dandanannya kuno, giginya pake kawat, pokoknya hopeless banget deh. Satu-satunya kebanggaan hidupnya ya cuma jadi ketua kelas. Kebayang, kan, gimana tingkahnya saking merasa berkuasa? Dan Ify kebagian sial dapat jatah piket berdua dia. Kutukan.
“Makanya, Fy, lo pinjemin deh si Kuning sama gue. Pasti Tuhan membalas perbuatan baik lo. Tring! Shilla jadi cepet dateng, gimana?” Cakka berusaha merayu Ify yang demi balas dendam karena kemaren terpaksa berjalan kaki, menyembunyikan kunci mobil kesayangannya. Tujuannya ya cuma satu, supaya Cakka nggak bisa pinjem.
“Nggak!!! Lo jangan coba-coba ngerayu gue, ya. Gue mendingan disemprot si Bastian daripada bikin cewek bensin lo itu seneng! Wee!” Ify menjulurkan lidah. Dia benar-benar kesal. Oik, pacar Cakka itu memang nggak tahu diri. Apalagi Ify tahu pasti reputasi cewek satu itu, playgirl kelas teri dari sekolah tetangga. Umurnya lebih tua daripada Cakka, dia seangkatan sama Ify. Malah banyak cowok yang ngatain dia “piala bergilir” saking parahnya reputasi yang dia sandang. Ify tahu pasti, Cakka sudah menghabiskan banyak uang buat cewek bensin itu: uang tabungan, uang jajan, malah Cakka sering minta dan minjem uang sama Ify atau mama. Dalam hati Ify sebenarnya nggak terima adiknya diperlakukan seperti itu.
“Ka, gimana kalo lo putusin si Oik itu, trus lo pake jasa mak comblang gue? Gue jamin gue cariin yang oke! GRATIS. Daripada gue sering-sering ngerelain mobil gue didudukin sama dia.”
Cakka tampak tersinggung dengan perkataan Ify, pasalnya dia serius suka sama pacarnya itu. Selain itu dia merasa bangga karena bisa jadian sama Oik, si kakak kelas yang cantik itu. Biarpun dia harus mati-matian menguras kantongnya untuk permintaan-permintaan Oik.
“Kok lo gitu sih, Fy? Oik emang punya reputasi jelek, tapi dia lagi berusaha berubah kok,” ucap Cakka sambil berpamitan pada mama, yang hanya bisa angkat bahu. Mama juga sebal setengah mati sama cewek satu itu. Cakka-nya aja yang cinta buta sampe nggak sadar.
Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil Shilla memanggil Ify. Dengan gerakan secepat Speedy Gonzales, Ify mencium tangan mama dan melesat keluar. Dia malas banget kalau harus diomeli Bastian yang selalu gerimis waktu bicara. Belum lagi pidato panjangnya. Disambarnya sepotong roti goreng di piring. Lalu dengan gerakan lanjutan yang superlincah, Ify membuka pintu BMW Shilla.
“Tancap, Shill!” katanya begitu duduk dan memasang sabuk pengaman.
“Buru-buru amat sih?”
“Heh, gue bisa batalin orderan lo kalo sampe hari ini gue diujanin si Bastian. Gue baru cuci rambut!” ancam Ify. Demi mendengar nama Bastian, Shilla langsung tancap gas. Dia juga pernah sekelompok sama Bastian. Gerimisnya? Aihhhh... perlu payung buat nangkal deh.
“Gimana, Fy?” tanya Shilla ragu-ragu sambil terus menginjak gas.
“Lo jangan agresif, ya? Pokoknya hari ini lo sok tenang aja, berlagak nggak sengaja kalo misalnya gue ajak lo gabung ngobrol. Dan, jangan norak! Apalagi kecentilan. Tunggu kode dari gue.”
“Bener,ya? Kodenya jangan aneh-aneh, ntar gue nggak ngerti, lagi. Lo tau sendiri gue bego dalam urusan kode dan persandian. Masa lo lupa, waktu SD ujian pramuka gue yang lulus cuma ujian nyanyi sama masak doang.” Shilla jadi cemas.
“Nggak lah, emangnya lagi perang apa, pake sandi rumput? Pokoknya lo ngerti deh.”
“Eh, by the way, Fy, kita nggak jemput Alvin?”
“Dia udah duluan, tadi gue telepon. Katanya dia mau nyontek PR Bastian. Kan Bastian pasti dateng pagi. Gue heran, emang tulisan di kertas Bastian masih kebaca, ya? Kan udah keujanan? Hihii.” Ify cekikikan sendiri. Alvin memang selalu datang pagi buta kalau ada PR yang belum selesai, apalagi yang dia anggap susah. Dia rela naik metromini pagi-pagi demi cepat sampai sekolah.
Gerbang sekolah tampak mulai ramai. Ify berlari turun sebelum Shilla selesai parkir. Menunggu Shilla parkir sama saja menarik bibir monyong si Bastian buat nyemprot gratis. Lama banget sih! Shilla memang punya masalah serius soal markirin mobil. Sampai-sampai sering kali Shilla yang nyetir, Ify yang markirin. Aneh banget, kan?
Dikelas, Bastian sudah merengut sambil menatap jam digital di tangannya. Dalam otaknya sudah memikirkan hukuman dan sederet pidato panjang jika Ify datang terlambat, lima menit saja. Raut wajahnya langsung berubah begitu melihat Ify muncul. Antara lega dan kecewa karena pidatonya tidak bisa disampaikan.
“Hhebuat khamu. Akhirnya dhattang jugha,” katanya, menghujani benda-benda di depannya. Ify cuma bisa meringis geli. Jijik banget sih ini orang.
“Iya dong, sedia payung sebelum hujan. Apa tugas gue?”
“Tholong yah, tapplakhnya diganthi...”
Taplak meja Bu Winda memang sudah mulai kucel. Ify merogoh bungkusan dalam tasnya. Dia memang sudah berencana mengganti taplak itu. Ditatanya meja Bu Winda dengan rapi. Vas bunga kesayangan Bu Winda juga tak luput dari perhatian. Kali aja Bu Winda jadi rada baik kalau melihat taplak barunya.
“Gileeeee... berhasil nih, ngerayu si Bastian sampe dipenjemin PR,” Ify menjawil Alvin yang menyalin PR Bastian dengan serius. Bibirnya maju-mundur, entah serius atau nggak ngerti isi PR-nya. Hehe.
“Perjuangan nih, gue musti dengerin pidato rencana program-program doi kalo kepilih jadi ketua kelas lagi. Males banget, kan? Kayak presiden aja, pake kampanye.”
Ify duduk di bangkunya dengan antusias. “Emang apaan programnya?”
“Salah satunya, jam piket dimajuin sejam. Supaya kelas bener-bener bersih dari sampah dan bakteri.”
“Ya dia bakterinya. Tuh yang muncrat-muncrat. Berarti dia harus memusnahkan diri sendiri, hihihi.” Ify cekikikan geli. Bisa-bisanya orang seancur Bastian terpilih jadi ketua kelas. Mungkin waktu itu anak-anak sekelas lagi rabun ayam, jadi Bastian sama Keke yang pintar dan rajin itu kelihatan mirip.
“Ify.” Bahu Ify ditepuk dari belakang. Ternyata Rio baru datang. Kacamatanya dengan setia bertengger di hidung “bangir”nya, tercium samar-samar wangi parfum Kenzo yang macho, sampai Ify sempat terbengong-bengong.
“Hey you, duduk, duduk. Tuh di bangku depan gue aja. Yang punya tempat pasti telat kok.”
Rio menarik bangku di depan Ify dan memutarnya hingga mereka duduk berhadapan.Wangi parfum Rio semakin membius hidung. Alvin malah sampe merem-melek kayak lagi joget dangdut di kawinan.
“Yo, kenalin nih secara resmi. Ini Alvin, dia temen sebangku gue yang paling bawelsedunia. Parkit-parkit bisa putus asa trus mengundurkan diri jadi parkit kalo ketemu dia. Kalah ribut. Dan yang paling penting, dia cowok paling memesona dan gaya seantero sekolah. Jadi, kalo ada pikiran menyaingi Alvin dalam soal gaya, lupain aja deh. Hehehe."
Alvin mengulurkan tangannya malu-malu. Biarpun malu diumbar “kekerenannya” sama Ify, tapi hatinya juga bangga. Biar Rio tau, cowok paling oke di sekolah itu ya cuma Alvin.
“Alvin,” katanya sok cool.
“Rio.”
Ify membelalakkan mata ke arah Shilla, memberi kode untuk cepat datang ke bangkunya. Shilla langsung dengan semangat berjalan ke arah Ify. Dibawanya sebuah buku untuk dijadikan alasan.
“Fy, gue liat nomor lima dong,” kata Shilla akting.
Ify menyodorkan bukunya. “Oh iya, Rio, ini Shilla. One of the most wanted girl.”
Rio menjawab tangan Shilla yang tersipu-sipu malu. Terlihat sekilas Rio memerhatikan Shilla. Cowok mana sih yang nggak kagum sama Shilla?
“Hai,” Shilla menjawab malu-malu.
Ify melirik Alvin yang kelihatan panik melihat Shilla pujaan hatinya tersipu-sipu sama cowok lain.
“Yo, fans lo mana?”
“Belum jamnya, lima menit lagi juga dateng. Makanya gue kabur.”
Lama-lama Rio mulai terbiasa dengan Alvin dan Shilla. Kecanggungannya mulai hilang, apalagi Shilla dan Alvin orang yang supel. Tapi paling utama, Ify tidak pernah habis akal mencairkan suasana. Obrolan apa pun jadi seru kalau ada Ify. Mereka berempat jadi asyik tertawa-tawa dan cekikikan. Sesekali Rio mencoba melucu. Dia terlihat menikmati mengobrol bersama teman-teman barunya. Fans-fansnya menatap iri, tapi cuma bisa gigit jari, karena bodyguard Rio, Gabriel dan Ray, menghalangi mereka yang ingin menghampiri Rio di meja Ify. Alasannya, ada rapat penting antar koordinator bendera dan kapten tim. Ih! Memangnya apa hubungannya?
Akhirnya mereka berempat berencana nongkrong di kafe sore itu. Yang pasti semua menyambut gembira. Apalagi Ify. Ini kemajuan besar untuk Shilla. Artinya, kasus bisa cepat selesai, bonus cepat dituai. Hehehe. Sukseeeeeeesssss.
***
Ify bergegas menuju kelas Rizky-Coboy-Junior. Sebelum pulang dia harus membereskan satu kasus dulu, alias kasusnya Zevana si nyentrik. Di depan kelasnya Rizky sedang asyik bersandar sambil memandangi cewek-cewek yang hilir mudik. Sesekali ia mengusap rambut klimisnya yang amit-amit. Ify sempat mau mundur melihat betapa noraknya makhluk satu itu. Bisa-bisa dikira Ify yang ada hati, dia kan ge-er-an banget.
“Rizky!” panggil Ify kencang.
Dengan gaya slow motion Rizky menoleh dan langsung sumringah begitu melihat siapa yang memanggil.
“Halo, Gadissss, ada yang bisa Abang bantu?” katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Iiiiiih! Dan itu bikin beberapa orang yang ada disitu tertawa geli, malah ada yang bergidik ngeri.
“Kenalin, gue Ify.” Dengan ragu-ragu Ify mengulurkan tangan. Zevana harus bayar mahal nih, calonnya benar-benar diluar dugaan noraknya. Rizky membalas uluran Ify dan menjabatnya erat. Terlalu erat dan kelamaan.
“Ohhh... saya tau siapa Anda, Manisssss, tapi ada apa gerangan wanita mungil nan cantik ini datang jauh-jauh ke sini? Apakah panggilan hati?” katanya norak.
Ify jadi merinding. Nggak tahan.
“Aduh, udah deh. Gue kesini bawa pesen.” Ify to the point, malas berlama-lama berhadapan dengan Rizky. Setiap detik semakin norak. Kalau kasus ini gagal, biarin deh. “Lo tinggal jawab aja.”
“Pesan apa itu? Boleh Abang tahu?” katanya sambil terus mengedip-ngedipkan mata bergantian kiri-kanan. Lebih kelihatan kayak orang cacingan daripada merayu.
“Zevana, tau kan, Zevana? Anak kelas sebelah lo itu, dia suka sama lo. Gimana? Dia jatuh cinta-ta. Mau nggak?” cerocos Ify buru-buru.
Sementara itu Zevana mengintip di balik pintu kelas. Dalam hati terheran-heran. Kok tembak langsung gitu? Yang ia dengar Ify biasanya menerapkan strategi-strategi pendekatan dulu. Jarang banget ada kasus yang diselesaikan dalam satu hari. Nggak pernah ada, malah. Minimal seminggu. Hatinya berharap-harap cemas.
Rizky tiba-tiba diam terpaku, bibirnya agak mangap. Persis adegan waktu sinetron habis dan ada tulisan “bersambung”. Freeze. Ify jadi panik, kenapa lagi? Jangan-jangan Rizky syok denger nama Zevana, jangan-jangan orang aneh nggak mau sama orang aneh. Waduh!
“Helloooooooo...???” Ify melambai-lambaikan tangan di depan mata Rizky. Lagi-lagi persis adegan sinetron, dia tersadar dari lamunan.
“Apa?”
Idih! Tapi tak urung Ify mengulang kata-katanya tadi. Sudut matanya menangkap keberadaan Zevana yang masih deg-degan di balik pintu. Rizky malah bengong lagi. Ya ampun! Mau sampai berapa lama nih? Ify menepuk bahu Rizky.
“Woy! Sadar dong. Apa jawabannya? Suka? Nggak suka? Diterima? Ditolak?” cecar Ify.
Rizky menyisir rambutnya yang kelimis dengan jari. “Ternyata dunia ini sempit,” gumamnya sok puitis.
“HAH?” Pengen rasanya Ify menjambak segelintir rambut yang setia menjuntai di dahi Rizky dengan gemas. Dari tadi rasanya mereka nggak nyambung-nyambung. “Apa hubungannya sih?” omel Ify kesal.
Sekarang Rizky memasukkan tangannya ke saku celana sambil bersandar ke tembok. Satukakinya disilangkan. Pokoknya amit-amit. “Yaaaaah, buktinya, ternyata Zeva sang pujaan hati juga punya perasaan yang sama,” katanya sambil menatap ke atas. Ihhhhhh!
“Maksudnya diterima?” desak Ify tak sabar.
“Bilang sama Zevana. I love you, too...”
Tangan Ify nyaris menjitak bibir jontor Rizky. Bilang gitu aja muternya kemana-mana. “Bilang dong dari tadi,” sungutnya.
Rizky malah memetik setangkai bunga lalu menyerahkannya pada Ify. “Ini buat Zeva. Nanti sore ditunggu di taman sekolah.”
Sambil cemberut Ify mengambil bunga itu, lalu buru-buru pergi. Sebelum Rizky bertingkah lebih aneh lagi.
Wajah Zevana yang dari tadi panik kelihatan sumringah melihat Ify datang.
“Nih.” Ify menyodorkan bunga di tangannya.
“Buat gue?” katanya takjub.
“Yaiyalaaaaahhh, buat siapa lagi? Katanya ditunggu di taman sekolah nanti sore. Sukses, ya?”
“Ya ampun, Ifyyyyyyyyy... makasih yaaaaaaa,” katanya sambil menciumi bunga yang sama sekali nggak wangi itu. “Nih,” Zevana menyelipkan amplop yang lumayan tebal ke saku seragam Ify. Semalam akhirnya Ify minta dikasih uang cash aja. Soalnya lagi butuh duit hehehe.
“Makasih. Selamat menempuh hidup baru,” goda Ify.
***
“Peseeeeeen, peseeeeeen, gue yang traktir,” suara cempreng Ify berkoar di salah satu sudut Coffee Bean sore itu. Amplop selipan dari Zevana ternyata isinya banyak juga. Mata Ify nyaris mencelat keluar waktu merobek amplop pink yang diberikan Zevana. Rupanya cewek itu bener-bener kesengsem sama Rizky, sampai dia rela menyerahkan uang tunai enam ratus ribu rupiah untuk jasanya. Ify yakin banget, seratus ribu dari uang itu dimasukkan ke amplop mendadak. Mungkin tadinya Monik cuma ingin membayar lima ratus ribu saja, tapi berhubung Ify tadi siang sukses berat, dia memasukkan dua lembar puluhan ribu, plus ribuan-ribuan, dan uang receh yang bikin amplop pink itu jadi berat.
“Wuihhhhhh, tumben ibu satu ini. Baru dapet arisan ya, Jeng?” sambar Alvin. Matanya sampai juling saking semangatnya membaca menu yang menggantung di neon box di atas bar.
“Bener nih?” Shilla sok-sok nggak yakin, tapi matanya cermat menatap bermacam-macam kue di dalam etalase. “Berarti gue boleh beli cheese-cake?” tanyanya penuh harap.
Rio cuma senyam-senyum. Dia tampak begitu menikmati keakraban ketiga teman barunya itu. Ify yang cuek, Shilla yang feminin, dan Alvin yang hobi tebar pesona. Semuanya berbeda. Tapi mereka selalu terlihat kompak.
“Rio jangan bengong aja! Kesambet setan gembul lho, baru tau. Mau apaan? Mumpung gue lagi rajin beramal.” Ify menyikut lengan Rio.
“Pesenin gue yang sama kayak lo deh. Gue pengen tau, gimana sih selera mak comblang kita ini?” goda Rio sambil berbalik mencari tempat duduk. Tangannya dengan sigap membawakan baki pesanan Shilla.
Shilla tambah terpesona dan sempat terlena, berdiri mematung dengan noraknya. Alvin memanyunkan bibir sampai kadar kemanyunan paling tinggi. Bibirnya jadi persis Pinokio. Bedanya, Pinokio kalau bohong hidungnya tambah panjang. Alvin kalau ngambek bibirnya tambah panjang. Apa sih kerennya Rio dibandingkan dia?
Ify membawa dua gelas besar ice chocolate kesukaannya dan dua potong carrot cake.Sesuai permintaan, dia memesan menu yang sama untuk Rio. Dengan susah payah Ify membawa bakinya ke tempat duduk mereka.
Ia bersungut-sungut, “Gitu ya, Rio, kalo Shilla lo langsung sigap kayak polisi patroli. Giliran gue bawa baki segede papan surfing gini lo cuek aja! Mana ini pesenan lo juga. Mulai berani ya nggak tau diri, haaaaahhh...”
Ify merengut dan terkekeh-kekeh karena tak kuat menahan tawa. Dipukul-pukulnya Rio dengan gaya silat. Rio ikut tertawa-tawa kecil. Dari sudut matanya Ify melihat Shilla tersipu-sipu. Tapi sejurus kemudian kok dia terlihat cemburu, ya?
“Jadi ceritanya si Zevana udah punya lekong neeeeeeeh?” Alvin membuka obrolan gossip sambil sok meniru gaya banci. Vanilla latte-nya diaduk-aduk dengan semangat. Ting-tang-ting-ting bunyi sendok kecil beradu dengan kaca gelas berisiknya minta ampun.
“Iya dong, ekspres! Bayarannya aja enam ratus reboooooo...” Ify kegirangan. “Gue masih bisa belanja nihhhh....”
“Gimana kalo di Bandung?” celetuk Rio.
Ify menatap Rio heran. “Di Bandung apanya?”
‘Apanya? Ya belanjanya,” jawab Rio.
Ify, Alvin, dan Shilla berpandang-pandangan. Kenapa nih anak, nyeletuk kok jauh-jauhamat sampai ke Bandung.
“Woi! Kalian kok jadi kayak flamingo sih? Gue serius. Lo mau nggak ikut gue ke Bandung, Fy? Kakak gue yang kuliah di Amrik, minta dikirimin foto-foto Paris van Java, katanya buat skripsi. Nyokap lo pasti boleh deh. Lo tau sendiri nyokap kita sobatan,” Rio menjelaskan.
Tapi Ify benar-benar bingung. Kenapa Rio yang pendiam dan grogian di sekolah bisa berubah drastis jadi supel dan menyenangkan kalau jauh dari kerumunan orang? Ify melirik ke arah Shilla dan Alvin. Sekarang mereka mulai adu manyun karena merasa tidak masuk dalam daftar yang diajak Rio. Ify jadi nggak enak hati. Istilahnya mereka bertiga ini sudah sepaket. Ngajak satu berarti ngajak semua. Traktir satu traktir semua, jatuh satu ketawa semua. Hehehe.
“Shilla sama Alvin ikut aja sekalian. Biar rame, gimana?”
Ide itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Entah karena melihat Shilla dan Alvin manyun atau karena ia berpikir dengan begitu misinya akan lebih cepat berhasil. Ify sempat kaget waktu ada perasaan senang saat mendengar hanya dia yang diminta Rio ikut saat pertama tadi.
“Kenapa nggak? Gue seneng kalo bisa rame-rame. Kalo gitu kalian bertiga urus aja perizinan ortu, berangkatnya masih minggu depan kok. Gue nggak mau dibilang nyulik anak orang, apalagi yang itu...” Rio menunjuk Ify sambil cengengesan. Ify langsung manyun. Elastisitas bibirnya kayaknya kualitas impor deh. Canggih bangetttttt... bisa monyong sepuluh sentimeter.
“Nginep, nggak?” tanya Shilla.
“Nggak lah. Kita pergi Minggu subuh, balik malem, kalo ada waktu gue pengennya bisa ke Tangkuban Perahu, Garut, tempat-tempat wisata gitu deh, kan seru.” ujar Rio.
“Oooo...” suara Shilla terdengar kecewa.
“Lho, emangnya kenapa? Lo mau nginep? Emangnya lo ada perlu juga di Bandung?”
“Hah? Nggak kok...” Padahal Shilla mau banget nginep. Paling nggak kesempatan dia PDKT kan tambah banyak. Siapa tau aja Rio mau diajak jalan-jalan romantis di Braga berduaan. Biarpun sekarang Braga nggak kayak dulu, tapi kan lumayan. Sepupunya juga pasti dengan senang hati menerima mereka menginap di rumahnya di daerah Dago atas nan dingin dan penuh kafe romantis itu.
“Tapi intinya lo bisa ikut, kan?” Sambil menyeruput ice chocolate, Rio bertanya lagi pada Shilla yang masih sibuk tersipu-sipu. Berlagak malu-malu kucing gitu.
Shilla menatap Ify sekilas dan mengangguk mantap. Ini kesempatan besar. Bagaimanapun caranya dia harus ikut. “Gue pengen banget ikut. Duh, Bandung, gitu lho. Gue kan pengen ngiter-ngiter factory outlet. Cukup, kan, ya waktunya?”
“Huuuuuu, belanja melulu,” ledek Ify.
Rio girang banget dapat tiga orang buat nemenin dia berangkat ke Bandung nanti. Semangat offroad-nya kambuh lagi. Sejak dapat perintah ke Bandung dia sudah berangan-angan pengen menjelajah tempat-tempat yang asyik buat adventure. Garut lah, Tangkuban Perahu lah, Kawah Putih lah.
Akhirnya diputuskan setelah mengambil foto di kawasan Braga, mereka langsung start berpetualang. Ify yang memang punya kegemaran sama sangat antusias menanggapi Rio. Alvin, berhubung cuma ngerti kata “jalan-jalan”, mengiyakan kemana pun itu. Shilla, yang memang dasarnya cuma punya tujuan belanja dan dekat-dekat Rio juga hanya mengangguk-angguk basa-basi.
Akhirnya mereka sampai di rumah Shilla setelah tadi mengantar Alvin terlebih dahulu.
“Gue duluan ye. Thanks a lot lhooo... sering-sering aja lo dapet orderan dari Zevana. Hehe.”
“Dah, Shilla...” Rio dan Ify melambaikan tangan.
Akhirnya tinggal mereka berdua di mobil raksasa Rio.
“Asyik juga lo, Fy, sekali order bisa dapet segitu banyak. Gue mau deh jadi asisten lo,” ujar Rio. Matanya tetap menatap lurus ke depan. Sesekali tangannya memindahkan tuner radio.
“Wah, kayaknya sekarang gue belum butuh tuh. Bisa rugi gue kalo musti bayar asisten. Tapi lo gue pertimbangkan jadi pegawai pertama gue deh, kalo kantor gue udah buka,” ujar Ify sombong.
Rio mengerutkan alis. “Kantor apa?”
“Kantor biro jodoh profesional gue. Kan cita-cita gue punya birjod bertaraf internasional. Kali aja tercipta ras-ras baru manusia dari birjod gue.”
Rio tertawa melihat ekspresi serius Ify yang menerawang, seolah-olah sedang membicarakan soal rudal scud model baru. “Asal jangan lo masukin si Alvin jadi bibit unggul aja...” Rio langsung ngakak begitu ingat tampang Alvin. Dasar sadis.
“Kalo menurut lo, Shilla gimana?” tanya Ify tiba-tiba.
Ada sedikit keterkejutan di wajah Rio mendengar kata-kata Ify. “Ya... Shilla ya gitu. Feminin dan sebagainya, dan sebagainya...” jawabnya berusaha sesantai mungkin. “Emang kenapa, kok jadi nanya Shilla? Bukannya kita lagi ngomongin spesiesnya Alvin?”
“Ya, nanya aja. Kali aja penggabungan Shilla sama Alvin bisa bagus,” jawab Ify asal. Ternyata memang Shilla itu magnet. Nggak ada cowok yang tidak mengakui kecantikannya, paling tidak kefemininannya. Kadang-kadang Ify iri. Anyway, dia jadi punya rencana besar buat Shilla.
“Turun dulu yuk,” ajak Ify begitu mobil berhenti di depan rumahnya. “Gue ada game baru. Upeti dari Cakka waktu dia minjem si Kuning. Lagian, lo bisa bilang sama nyokap gue perjuangan gue nganter puding. Kali aja gue dapet bonus atau penghargaan sabuk emas. Hehe. Yuk.”
Rio menurut. Dimatikannya mesin mobil dan mengunci ganda setir. Dia memang paling suka main di rumah Ify. Rasanya nyaman, bebas, asyik.
“Mama!!! Gadis kecil cantik jelita pulang nih, bawa carrot cake lhooo...”
Mama muncul dari dapur. Bajunya belepotan adonan kue warna-warni. Nggak salah lagi, pasti Mama lagi bereksperimen. “Asyiikkkk... Mama juga lagi laper nih. Mang Uman lewat, tapi tinggal gerobaknya doang, baksonya ludes. Masa makan bakso nggak pake bakso, bukan bakso kan namanya?” Mama nyerocos nggak jelas. “Eh... ada Rio. Masuk, masuk.”
“Iya, Tan. Wah, lagi bikin kue nih?”
Mama mengangguk senang. Senang Rio makin sering mampir ke rumah.
“Yo, mending lo ikut gue ke atas sekarang. Ntar gawat kalo lo sempet dijejelin kue eksperimen, belum terjamin kadar keenakannya.” Ify menarik tangan Rio. Mama cuma senyam-senyum penuh arti. Dasar Ify.
“Nyokap lo asyik, ya?” Rio duduk di atas sofa lipat di depan TV. Sementara Ify menghidupkan PS 2 nya. “Omong-omong Cakka mana?”
“Nggak usah tanya-tanya Cakka deh, sebel gue. Paling dia jalan sama si cewek bensin, pake mobil gue, lagi. Ughhhh... kalo nggak inget malu, pengen gue pitakinkepalanya. Pitakin, pitakin!” ujar Ify geram.
“Kenapa nggak lo kasih tau sih, Fy?”
“Udahhhhh. Cakka nggak mau denger. Dia lagi cinta buta, gue yang merana.” Ify memencet-mencet tombol. Jagoan ceweknya mulai mengeluarkan jurus-jurus ajaib menghantam jagoan jabrik Rio.
“Hei, curang, curang.” Rio panik. “Fy, pengen banget gue naik kereta listrik ke mana kek, atau itu, Fy, gue juga pengen banget terjun payung,” kata Rio tanpa mengalihkan pandangan dari TV.
“Terjun payung? Wah, gue juga pengen. Naik kereta listrik juga pengen. Malah gue bercita-cita lho, jalan-jalan jauh nggak usah bawa mobil, naik bus aja, gitu. Backpacker. Pengen nyoba, kayaknya asyik. Cuma gue nggak ada temen. Gue mau banget, Yo. Yuk, kapan-kapan?” Ify antusias menyambut ajakan Rio.
“Serius nih? Asyik banget tuh, Fy, gue juga nggak dapet temen buat kayak gitu. Lo emang unik, ya? Kayak gue. Pokoknya musti jadi lho, Fy. Gue pengen banget.” Lalu mereka berdua kembali sibuk dengan jagoan-jagoannya di layar. Sejuta rencana seru terlontar sore itu. keduanya seperti menemukan partner yang klop.
***
source: MISS CUPID, Mia Arsjad
MISS CUPID - 9
SEMBILAN
***
“JADI kamu kemana aja tadi malem? Kok pulangnya kucel banget?” tanya mama pagi itu. Tangannya sibuk mengaduk nasi goreng di wajan. Mama memang jago masak, masakan buatan mama semuanya enak. Wangi nasi goreng tercium kemana-mana. Cakka menunggu dengan bibir ditekuk. Mama jadi rada lama masaknya gara-gara ngobrol sama Ify. Padahal perut Cakka sudah berkukuruyuk lebih pagi daripada ayam jantan tetangga yang berisiknya minta ampun.
“Muter-muter Jakarta. Naik Busway,” jawab Ify. Ia ikut membantu mengiris-iris telur dadar yang sudah matang untuk ditaburkan ke atas nasi goreng.
“Dasar kurang kerjaan. Trus mobil raksasanya si Rio ditaruh di mana?”
“Di Ratu Plaza.” Tiba-tiba Ify teringat kejadian lucu setelah mereka selesai naik Busway tadi malam. “Eh, Ma, lucu deh tadi malem. Pak satpam yang aku titipin mobil kocak banget.”
Lalu Ify menceritakan soal pertemuan mereka dan tingkah lucu Pak satpam yang bangga karena ikut memajukan pariwisata itu. “Trus, Ma... pas kita pulang, kan Ratu Plaza-nya dah tutup, jadi tinggal yang jaga secure parking doang. Nah, tau nggak, Ma? Ternyata bapak itu masih nungguin kita di depan mobil Rio. Pas aku tanya kenapa masih disitu, tau nggak jawabnya apa?”
Ify menarik napas sebentar. “Saya sebagai seorang yang mendapat kepercayaan menjaga keamanan kendaraan turis harus bertanggung jawab. Demi nama Indonesia, demi bangsa kita, Non. Merdeka!!! Saya akan berusaha!” lanjut Ify sambil menirukan suara bapak-bapak dan mengacung-acungkan mentimun utuh. Soalnya tadi malam si bapak mengacung-acungkan tongkat satpamnya.
“Jail kamu. Kan kasian,” protes mama.
“Tuh... liat kan, Ma? Ify tuh emang berjiwa kriminal," timpal Cakka serasa dapat kesempatan meledek Ify. Sekalian mengingkatkan kalau dia ada disitu. Lagian tadi malam juga dia jalan sama pacarnya, kok nggak ditanya sama sekali?
“Kriminal, kriminal! Emang yang minjemin lo mobil buat kencan sama si cewek bensin itu siapa, hah? Liat aja lo, kalo gue berjiwa kriminal, gue bikin cewek lo dorong mobil. Biar tambah manyun tuh bibirnya.”
“Ampun, ampuuuuuunn... kalo soal mobil, ampun deh. Damai, damai. Okeh?” Dia mengacungkan tanda peace dengan jarinya.
Mama geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Tak terasa anak-anaknya sudah besar. Sudah punya pacar, nyetir mobil sendiri, kalo bertengkar bisa baikan sendiri.
KRIIIINGGGG...
“Tuh, telepon tuhhh...”
“Aku aja, aku aja!” Cakka melesat menuju telepon.
“Paling si cewek matre. Cewek matre, cewek matre... ke laut ajeee..."
Mama menyentil hidung Ify.
“Ifyyyyyy... buat lo nihhhhhhh...” jerit Cakka dari telepon yang ada di ruang tengah. Ify berlari menghampiri. Ha-ha, pasti Cakka keki berat. Kegirangan duluan, mengira ditelepon si cewek bensin.
“Halo?”
“Ifyyyyyyyyyyyy... gimana, gimana?”
“Hehehehehe. Sabar, sabar, jangan jerit-jerit dong. Rambut gue yang belom kena air bisa tambah berdiri nih.”
“Abis pulangnya malem banget. Langsung molor, lagi! Gue kan pengen denger langsung tadi malem. Habis nehhhh kesabaran gue, nggak bisa tidur. Cemburu... hehehe.”
“Yeee... lagian gue cuma jalan-jalan naik Busway. Makan pecel lele. Udah. Yang gitu dicemburuin.”
“Ada info tambahan nggak?”
“Ada donggg... ternyata dia kurang pede. Terutama sama cewek. Jadi lo nggak bisa buru-buru. Nanti kalo gue bilang momennya oke, baru lo beraksi. Sekarang langkah awal, lo besok kenalan dulu sama dia. Ternyata dia tau lo kok,” jelas Ify panjang-lebar.
“Ah,yang bener, Fy? Dia tau gue? Wah.... lo emang tokcer. Nggak percuma jadi sobat lo. Mak comblang profesional sih. Kalo gitu sampe ketemu besok di sekolah, ya?”
“Lo nggak mau ke rumah gue hari ini? Gue ada game baru lhooooo...”
“Nggak bisa, Fy. Nyokap gue minta dianterin belanja nih. Mana panas, lagi. Udah ya, Fy?” Shilla menutup telepon.
Ify geli sendiri. Baru kali ini Shilla yang sibuk mengejar-ngejar cowok, biasanya cowok yang mati-matian mengejar Shilla. Mungkin Rio memang istimewa ya?
TING TONG.
“Fy, buka pintu sekalian ya?” teriak mama ketika bel pintu berbunyi.
Dengan malas-malasan Ify membuka pintu. Siapa sih, bertamu Minggu-Minggu gini? Begitu membuka pintu, Ify terbelalak. Rio berdiri di depan pintu dengan baju olahraga. Badannya berkeringat, rambutnya juga. Tanpa kacamata.
“Rio?”
“Kok kayak sinetron gitu sih reaksinya?” tanggap Rio geli.
“Darimana lo, banjir keringet gitu? Keran rumah mati ya, trus lo disuruh nimba? Atau lo mau numpang mandi di rumah gue?”
Rio tertawa renyah. “Sialan lo. Ya abis joging laaah... daripada kayak lo, udah jam segini belum mandi.”
Seketika Ify sadar sama penampiilan ajaibnya sendiri. Piama flanel bergambar beruang, rambut acak-acakan. Ihhhhh...
“Siapa, Fy?” suara mama terdengar dari dalam.
“Rio, Ma... abis nimba.”
“Ajak masuk dong. Ajak sarapan, nasi gorengnya udah mateng nih,” suara mama terdengar girang.
Mama ada-ada saja, masa mau jodoh-jodohin Ify. Sama Rio, lagi. Yang benar saja. Rio memang baik, asyik, tapi bukan buat dijadiin pacar. Ini kan buat orderannya Shilla. Bisnis is bisnis. Time is money. Gitu kata orang bule.
“Masuk, Yo. Lo beruntung-tung... he-he. Nyokap gue baru selesai masak. Eits, jangan-jangan lo mampir gara-gara nyium bau masakan, ya?”
“Bukan. Gue dateng pagi-pagi mau mastiin...”
“Mastiin apa? Mastiin masakan nyokap gue enak apa nggak?”
“Bukan.”
“Trus apa?”
“Mastiin rambut lo kalo belom mandi tetep berdiri apa nggak,” balas Rio sambil tersenyum puas.
Ify langsung manyun. “Sekalian aja mastiin kalo pagi burung parkit gue udah bangun apa belum.”
Beberapa detik kemudian Mama nongol dari dapur membawa piring tambahan buat Rio.
“Pagi, Tante,” sapa Rio sambil ber-high five dengan Cakka. Benar-benar menantu idaman mertua. Pantas cewek-cewek itu menggila. Apalagi Shilla. Tipe suami idaman nih.
“Ayo makan bareng, Yo. Mama kamu gimana?”
“Baik, Tan. Mungkin nanti sore mau main ke sini,” jawabnya sopan. Dia kelihatan sangat menikmati masakan mama. Mungkin juga lapar, habis dia nambah sampai dua kali. Mama sih senang, masakannya dilahap habis.
“Jangan langsung pulang ya, Yo. Tante lagi bikin puding. Sekalian aja nanti bawa buat di rumah. Tunggu dulu, ya?" Mama berkata sambil siap-siap membereskan piring di meja. Cakka sudah menghilang dari tadi. Dandan buat jalan-jalan sama ceweknya.
“Tan, biar aku bantuin.” Rio merapikan piring-piring di depannya. Mama makin sumringah. Kalau cewek-cewek itu tahu, bisa histeris mereka. Shilla mungkin boleh dikasih tahu, dia kan klien Ify sekarang. Jadi info sedetail apapun harus diinformasikan dengan tepat, hehehe.
“Sudah, Yo, taruh aja di situ. Ngobrol-ngobrol aja sama Ify dulu.” Mama mengedipkan sebelah mata. Ify melotot ke arah mama.
“Ke atas aja yuk. Gue ada game baru.”
Rio menguntit langkah Ify yang dengan cueknya masih tetap dengan setelan belum mandinya.
“Duduk, Yo. Gue ambil camilan dulu ye, biar asyik.”
Rio selonjor di karpet ruang tengah lantai dua. Tangannya membolak-balik majalah musik yang berserakan sambil menunggu Ify datang membawa makanan kecil dan siap bertarung game baru di Play Station.
***
“Kamu dari mana, jogingnya lama amat? Nyampe Ancol, ya?” Mami Rio sedang sibuk menyiram bunga. Akhir-akhir ini maminya lagi tergila-gila berkebun. Halaman kecil di depan rumahnya sudah ramai dengan berbagai macam bunga sampai pohon palem mini. Belum lagi kolam kecil dan air terjunnya. Kadang-kadang Rio juga dapat tugas mengurus peliharaan maminya itu. Papi yang enak. Berhubung dia masih ada di Amrik, jadi bebas tugas. Beruntung kalau dia datang, hobi berkebun mami sudah habis masa periodenya.
“Dari rumah Ify. Abis joging kan lewat, ya Rio mampir, Mi.” Diteguknya segelas besar sirup di meja teras. Tenggorokannya terasa kering banget. Dia jalan kaki dari rumah Ify.
“Eh, punya Mami tuh,” omel mami. “Oh iya, Gabriel sama Ray udah nunggu kamu tuh. Kamu ngundang mereka ke sini, kan? Kasian lho, sampe nyasar-nyasar. Ponsel kamu mana sih? Katanya ditelepon nggak bisa.”
“Hah? Oh iya. Rio lupa, Mi. Ponselnya ada di kamar, dimatiin. Lagian joging masa bawa ponsel, kan ribet, Mi. Di mana itu makhluk dua?”
“Di kamar kamu. Udah dari tadi lho.”
Rio baru ingat kalau dia mengundang Gabriel dan Ray main ke rumahnya. Pasti duo edan itu lagi siap-siap ngamuk. Rio bergegas berlari menuju kamarnya. Gabriel dan Ray terlihat asyik duduk di teras belakang bersama anjing Labrador-nya, Kimba. Kamar Rio memang langsung tembus ke halaman belakang. Paling asyik buat nongkrong.
“Hi, guys,” sapa Rio disambut timpukan berbagai benda melayang. Mulai dari kaos kaki yang belum dicuci, kain lap jendela, termasuk kaos singlet-nya, ikut beterbangan.
“Dasar monyet buncit! Kita nyasar dua jam, tau! Lagian lo kemana sih? Tadi malem ditelepon ponsel mati, gue kan mau mastiin alamat lo. Udah gitu tadi kita udah jalan, kita telepon lagi nggak bisa juga. Ngerjain orang! Ampir pingsan aja gitu gue...!" Gabriel merepet persis petasan cina.
Ray manggut-manggut setuju. Ray orang yang paling nggak bisa ngomel panjang-lebar. Perbendaharaan katanya buat ngomel terlalu sedikit, lebih banyak buat merayu cewek. Tipe cowok gombal sejati yang kalimat “ya dong, Sayang”, “kamu udah makan belum?”-nya fasih banget.
“Ampun, Bossss... tadi gue abis joging. Mampir ke rumah Ify. Noh, di ujung jalan belokan pertama. Tadi malem gue abis jadi turis juga sama si Ify. HP gue dimatiin. Takut kecopetan. Di Busway kan..."
“Weits, weits...” potong Gabriel. “Lo abis nge-date sama Ify si mak comblang? Miss Cupid itu? Tadi lo kunjungan ke mertua? Wahhhh... ternyata ya."
“Hah? Yang bener?” akhirnya Ray gatal buka mulut. Tapi tangannya tetap melempar makanan ke mulut Kimba si labrador raksasa. Kalau diliat-liat jadi mirip ikan paus raksasa dan pelatihnya.
“Gosip banget lo, kayak cewek,” semprot Rio. “Gue bukan nge-date, tau. Orang gue jalan-jalan dalam rangka jomblo. Penyakit grogi gue belum sembuh kok. Eh, tapi tadi lo panggil Ify apa?”
“Mak comblang,” jawab Gabriel.
“Miss Cupid,” Ray ikutan menjawab. “Kenapa, jangan-jangan lo nggak tau?” sambung Ray.
“Tau apa? Nah, kalian berdua udah pernah cerita belum?” Rio mulai nggak sabar.
Bahunya ditepuk-tepuk Gabriel dan Ray bersamaan. Yang satu kanan yang satu kiri. Dengan muka sok serius Gabriel menjelaskan, “Rio my friend, satu sekolaan juga tau kalosi Ify nan manis dan mungil itu mak comblang paling tenar en tokcer alias manjur bin mujarab. Banyak couple di sekolah kita jadian berkat jasa si Ify. Eh, jangan-jangan lo salah satu korbannya?” alis Gabriel naik menatap Rio.
“Bisa juga tu, Yel. Dia kan lagi banyak fans,” Ray setuju.
“Ntar, ntar, maksud lo Ify lagi berusaha ngejodohin gue sama seseorang, gitu?”
Gabriel dan Ray mengangguk berbarengan.
“Bisa aja. Dulu yang minta kenalan siapa?” selidik Ray.
“Emmm, dia. Tapi itu juga gara-gara gue duduk di bangkunya dan dia ngusir gue. Lagian waktu itu gue belum punya fans... you know...” Rio memberi isyarat menunjuk kacamatanya.
Gabriel mengusap-usap dagunya yang mulus, tanpa ada setitik bulu pun yang niat tumbuh. Maksudnya biar mirip detektif. “Trus, kok lo tiba-tiba akrab?”
“Soalnya gue tetanggaan, trusss nyokep kite bedue temen lame. Sobet, maleh,” jawab Rio rese.
Tapi Gabriel dan Ray sama sekali tidak merasa terganggu. Alias sama sekali nggak ngeh kalau Rio sedang bercanda. Mereka malah berpandang-pandangan ala bapak-bapak di sinetron waktu menyelidiki anak-anaknya.
“Dia ngenalin lo sama seseorang nggak?” tanya Gabriel lagi.
“Nggak tuh, kenalan gue masih itu-itu aja. Belum ada perkembangan. Lo lagi, lo lagi. Emangnya kenapa sih? Kok nanyanya jadi kayak detektif gitu?”
“Oh, jelas. Ini perlu diselidiki. Tapi, berarti lo nggak perlu terlalu khawatir dulu, Man... tanda-tanda lo adalah belum ada korban. Kayaknya Ify beneran nggak ada niat apa-apa, alias akrab sama lo cuma gara-gara faktor tetanggaan. Pastinya dia ngajak lo kenalan jelas cuma gara-gara lo duduk di bangkunya. Atau jangan-jangan dia naksir lo, Man?”
BUGH!!!!
Bantal berbentuk bola football yang keras mendarat di jidat Gabriel.
“Dasar asal! Omong-omong, kok lo nyebut gue korban sih?”
“Soalnya, My bro, kita para cowok ini korbannya. Rata-rata klien Ify itu cewek. Kita apaan coba, kalo bukan korban?” jelas Gabriel dengan tampang dakwah.
“Alaaaaahhh... lo sih rela aja kalo jadi korban ginian. Sok jadi korban, kalo ada yang mau langsung nyosor,” ledek Ray. Dia beranjak dari kursi teras dan berjalan masuk kamar Rio. Ditinjunya pelan lengan Rio. “Cuekin aja si Gabriel. Dia cuma sirik doang, kalo Ify bisa nolong lo sembuh dari masalah PD lo itu. Buktinya lo baik-baik aja jalan sama dia. Pake nge-date di Busway lagi, persis orang udik. Hahaha!”
“Sialan lo!” Rio melempar tulang-tulangan karet pada Kimba. Anjing hitam itu melompat lincah dengan badan besarnya. Rio mengambil kaleng kecil dari lemari belajar.
“Apaan tuh?”
“Makanan burung. Parkit gue belum makan. Kalo sampe mati, bisa abis gue disidang Ify.”
Rio berjalan ke luar dan menuju kandang burung yang lumayan besar. Yang punya rumah ini sebelumnya sangat suka burung. Waktu pindah ia menjual semua burung koleksinya. Tinggallah kandang burung raksasa di halaman rumah Rio. Dulunya kandang itu diisi burung-burung sejenis makaw, rangkong, nuri, dan burung-burung mahal sejenis.
Gabriel dan Ray yang penasaran mengintil dari belakang.
“Mana burungnya?” Ray celingukan mencari burung di dalam kandang besar itu.
“Tuh, cuma dua kok.”
Setelah merem-melek berusaha menemukan burung parkit Rio, Gabriel akhirnya menemukan tempat dua burung lucu itu bersembunyi.
“Gila! Gue pikir soal parkit yang bikin geger fans lo itu boongan.”
“You're in love, Man...” ucap Ray.
“Udahah. Asal aja lo ngomong. Gue baru deket sama Ify beberapa hari ini, tau!”
“Tapi udah dikasih burung, makan malem, dan jalan-jalan bareng. Pernah denger pepatah love at first sight nggak lo?” cerocos Gabriel.
“Jangan mulai ya. Dia anaknya emang asyik kok,” bela Rio.
Ray dan Gabriel berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Dasar polos.
“Pokoknya good luck deh...” kata mereka lagi di sela-sela tawanya. Rio langsung cemberut dan melempar diktat ke arah mereka.
“Jangan ngetawain gue terus lo. Urus tuh cewek-cewek yang suka dateng ke kelas, lo berdua pada naksir, kan? Kok belom ada yang nyangkut sih?” tantang Rio.
“Cewek-cewek itu kan lagi pada sibuk sama superman-nya. Iya kan, Rio Kent?” Gabriel dan Ray ngakak bareng.
“Kaliaaaaaaannnnnnnn...” dengan sigap Rio men-smack down kedua temannya. Mereka bertiga pun berguling-guling di lantai.
***
Dear diary,
Rio ternyata asyik orangnya. Tadi malem kan kita jalan-jalan.
Ngerjain satpam! Hehehe! Terus keliling naik Busway!!!
Seru deh! Gue enjoy sih, tugas gue juga jadi rada enteng!
O iya, tadi Rio malah main ke sini. Mama yang kegirangan.
Huh, kan jadi malu.
Tapi Shilla jadi curigaan. Dikit-dikit ngecek. Ngebet banget dia.
Hhhh... mana besok gue musti ngenalin dia ke Rio, lagi.
Mencurigakan nggak, ya?
Ya sutra... nanti crita-crita lagi.
Bye diary.
Ify asyik mencorat-coret diary-nya. Hari Minggu gini bingung mau ngapain. Rio pulang, katanya gerah pengen mandi. Padahal tadi mainnya lagi seru. Mau pergi juga nanggung, apalagi ngerjain PR. Hehehe.
Lagi asyik bengong mama mengetuk pintu kamarnya. “Fy?”
“Masuk, Ma.” Buru-buru Ify melempar diary kesayangannya ke bawah ranjang.
“Lagi ngapain, Sayang?” tanya mama sambil menyingkap gorden kotak-kotak biru di jendela. Cahaya matahari sore menyusup masuk.
“Justru itu, aku juga bingung mau ngapain. Sejauh ini sih aku lagi ngelamun. Cari inspirasi.”
“Wah, kebetulan dong. Mama ada misi buat kamu.”
Ify langsung bingung dan mendadak pucat. “Mama mau dicomblangin? Aku nggak mau! Masa Mama mau ninggalin Papa,” sungutnya marah.
Mama tersenyum geli. Mentang-mentang mak comblang, denger kata misi langsung jodoh aja pikirannya. “Hus! Asal kamu!”
“Atau buat temen Mama? Wah, jadi Mama menyebarluaskan reputasiku di kalangan ibu-ibu? Aku nggak bisa ah, Ma... klienku khusus remaja, nggak terima ibu-ibu atau bapak-bapak,” cerocos Ify panik.
Mama malah cekikikan geli. “Lagian, siapa bilang ada ibu-ibu yang mau dicomblangin?”
“Tadi katanya...”
“Iya, misi nganterin puding karamel ini dengan selamat ke rumah Tante Tria. Rio tadi kelupaan. Nanti Mama kasih jatah pudingnya banyak deh buat kamu,” mama menatap Ify minta persetujuan.
“Naik apaan, Ma? Panas gini, si Kuning dibawa Cakka nganterin si cewek bensin.”
“Jalan aja. Deket, kan? Biasa juga Rio kesini jalan kaki,” usul mama penuh harap.
“Haaaaaahhhh??? Mama tega banget sih?”
“Ayo dong, Sayang, Mama upahin dehhhh...” Mama memohon.
Ify mengesah sambil memasang tampang malas-malasan. “Bener nih? Oke deh, tapi upahnya terserah aku ya? Aku putusin nanti pas capeknya udah kerasa,” ujar Ify sambil cengengesan, jailnya kumat. “Aku ganti baju dulu deh, kali aja di jalan ada cowok ganteng yang nyangkut. Biar Mama nggak panik terus mikirin aku nggak punya pacar,” sindirnya sambil berjalan ke lemari pakaian.
“Ih, kamu seleranya abang becak ya? Masa nyari yang nyantol di jalanan?” balas mama.
Ify mencibir. “Mama jangan gitu... siapa tau lho, Ma, sore ini Robert Pattinson lagi iseng muter-muter kompleks kita sambil joging memperbesar betis, hehehe. Aku jalan dulu ya, Ma... doain anakmu ini, semoga selamat di medan perang. Hehehe.”
“Ati-ati. Awas kalo pudingnya gompal.”
Ify menenteng bungkusan plastik berisi puding. Hari ini benar-benar panas, matahari dengan lantang memancarkan sinarnya. Baru jalan sekitar sepuluh meter, T-shirt putih Ify sudah banjir keringat, rasanya kayak dipanggang di oven (kayak yang udah pernah nyoba dipanggang di oven aja). Rumah Rio kira-kira lima ratus meter dari rumah Ify, sebenarnya lumayan jauh juga. Tapi naik becak juga tanggung, mana abang becak di kompleks genit semua. Hiii... mendingan kepanasan jalan kaki daripada digodain tukang becak. Ify mengusap keringat di dahinya.Tenggorokannya sudah mulai kering kehausan.
“Mbak Tin, teh botol dooooongg...” Ify berhenti di warung kenalannya. Lidahnya melet-melet kepanasan sementara tangannya mengipas-ngipas kegerahan. Sebotol minuman dingin pasti langsung segaaaarrr...
“Lho, mau kemana toh, Neng Ify? Kok jalan kaki siang-siang?” tanya Mbak Tin dengan logat Jawa medok sambil menyerahkan botol minuman. “Lagi program diet ya? Bener tuh, Neng, katanya bisa membakar kalori. Tapi ndak takut jadi item?” cerocosnya.
“Glek...glekkk... mmm... ennak ajah. Mbak Tin nggak liat nih, saya pake sendal jepit, muka ditekuk sepuluh? Mana ada olahraga pake sendal jepit? Ke pasar iya.”
“Abis mau kemana toh?” tanyanya masih penasaran.
“Disuruh Mama kesono noh, rumah ujung. Tetangga baru, mana bawa puding berat nan rapuh ini, lagi. Aduuuuuuuhhhhhh... panassssssssss.” Ify mencomot sebotol lagi. Rasanya dia sanggup minum langsung satu kerat. Ini juga gara-gara Cakka, awas aja kalau pulang nanti. Ify mau suruh dia jalan mondar-mandir biar capeknya sama. Diteguknya botol kedua dengan sekali teguk. GLEK.
“Wah... ke rumahnya Mas Rio, ya?” tiba-tiba Mbak Tin antusias. Sampe-sampe konde raksasanya lepas saking hebatnya gerakan nongol dari pintu warungnya. Ify suka heran, Mbak Tin ini masih lumayan muda-tiga puluhan deh, tapi tiap hari pakai kondeeeee melulu. Konde raksasa pula, kayaknya beraaaaaaat banget. Kadang-kadang Ify suka ikut pegel lihat Mbak Tin dengan semangat empat lima bersama konde di kepalanya setiap hari. Mbak Tin pasti menang kalau ada olimpiade angkat konde, hehehe. Terus, kok sempet-sempetnya dia kondean tiap hari. Sementara jam setengah enam pagi warungnya udah buka. Jadi, bayangin jam berapa dia harus bangun, mandi, dandan, terus pake konde.
“Emangnya si Mbak kenal?”
“Ya ndak sih, Neng... tapi Mbak Tin tau. Lha wong cowok guanteng gitu. Yo cepet tenarnya. Omong-omong, Neng Ify? Hayoooo, mau kencan, ya??? Waduh, selamat ya, Neng, padahal Mbak Tin juga kesengem lho,” kata Mbak Tin semangat banget mengguncang-guncang bahu Ify heboh.
“Ih, asal! Saya ini disuruh nganter puding sama Mama. Mana ada sih, Mbak, orang nge-date ceweknya jalan kaki sampe banjir keringet kayak abis kecebur empang? Harusnya cowoknya yang jemput, kali,” sungut Ify sambil terus menyeka keringatnya yang bercucuran. Untung rumah Rio tinggal kira-kira seratus meter lagi. Kalo lebih jauh, Ify bisa pulang naik ambulans. Kakinya serasa sebesar talas Bogor. Apa yang lebih sadis daripada jalan kaki siang bolong di Jakarta? Belum lagi kalau nanti tiba-tiba Rio betul-betul ge-er. Tidaaaaaaakkkkk...
“Wah, jadi Rio belum punya pacar dong?” Mendadak Mbak Tin kegirangan.
“Mana tau!”
“Naaaaaahhh... gimana kalo si Mbak aja yang nganter pudingnya ke rumah Mas Rio?” usul Mbak Tin. Tampangnya ngotot banget, penuh harap.
“Trus aku?”
“Neng Ify tolong jagain warung saya sebentar. Gimana?”
Ify melotot. Dasar centil. “Ihhh... nggak mau ah. Lagian tinggal deket, ntar saya salamin aja deh ke Mas Rio, ya?” Ify membayar minumannya dan buru-buru ngeloyor pergi sebelum Mbak Tin lebih maksa lagi. Hihihi, lucu juga si Rio punya fans. Mbak Tin, lagi. Dia kan terkenal suka mengejar-ngejar cowok kompleks. Dulu Obiet, sepupu Ify yang datang dari Jogja juga kena dikejar-kejar Mbak Tin. Malah waktu Obiet mau pulang ke Jogja, entah tau dari mana, Mbak Tin datang ke rumah khusus buat ngasih segudang oleh-oleh buat Obiet. Pastinya semua oleh-oleh itu barang dari warungnya. Mulai dari kerupuk kanji, air mineral, biskuit, pokoknya banyak. Karena nggak enak, terpaksa Obiet bawa. Jadilah Obiet mirip orang mudik Lebaran.
“Bener ya, Neeeeenggg... salam buat Mas Rio. Dari Zus Tiiiiiiinnnnnnn...” jerit Mbak Tin dari kejauhan. Ify kabur sambil mengangguk kencang-kencang dan terus cekikikan.
Rumah Rio besar dan artistik. Tipikal rumah zaman sekarang, bergaya minimalis dengan kombinasi tembok dan kayu. Di halamannya terdapat taman bunga yang tertata rapi dan rindang oleh pohon-pohon hias. Asri. Ify jadi ingat angan-angannya yang ingin punya rumah bergaya modern seperti itu. Ditekannya bel yang terpasang di tembok garasi. Tak lama keluar seorang lelaki setengah baya, pembantu Rio.
“Cari siapa, Neng?” tanyanya sopan.
“Emmm... Rio-nya ada, Mang?” Ify masih sibuk kipas-kipas dengan telapak tangannya. Rasanya panas hari itu belum habis-habis. Wajah Ify sudah merah padam.
“Masuk, Neng. Den Rio-nya ada di dalem.”
“Tante Tria?” tanya Ify agar ia tidak terkesan datang mencari Rio.
“Ibu ada, Neng. Sedang di ruang tamu, nonton TV.” Lelaki itu membukakan pintu pagar. Kimba berlari-lari keluar menghampiri Ify sambil menggoyang-goyangkan ekor penuh semangat. Kalau diperhatikan, Kimba agak-agak mirip Rio. mungkin benar ya kata orang, binatang peliharaan cenderung mirip tuannya. Ify masuk lewat pintu depan rumah Rio.
Makin ke dalam rumah Rio terlihat semakin indah. Tante Tria memang berjiwa seni. Patung-patung kayu dan hiasan-hiasan etnis dan unik tertata rapi di sekitar teras yang sejuk. Saat memasuki ruang depan, terpajang foto keluarga berukuran besar. Disitu Rio masih kecil, mukanya lucu banget. Di sampingnya ada foto Rio yang dipigura, sedang berdiri gagah di samping Jeep Willis yang penuh lumpur. Sepertinya habis offroad. Lalu ada foto cewek berambut panjang yang cantik. Mungkin adik atau kakak Rio.
“Sore, Tante...” Ify menyapa canggung. Tante Tria sedang asyik duduk di depan TV.
“Eh... Ify. Sini, sini, masuk. Duuuhhh... tumben. Naik apa?” Tante Tria menepuk-nepuk sofa mengajak Ify duduk di sebelahnya.
“Jalan kaki, Tan,” jawab Ify sambil meringis. Andai Tante tau perjuanganku sampai sini, kata Ify dalam hati sambil tetap tersenyum manis.
“Hah? Panas-panas begini? Aduh. Pasti haus, ya? Mau minum apa?”
“Nggak usah, Tan, aku baru aja mampir ke warung Mbak Tin. Ini, Mama titip puding karamel. Dijamin mulus deh, Tan, tadi aku jalannya pelan-pelan ala peragawati.”
“Aduhhhh.. repot-repot. Makasih ya, Sayang. Oh, itu Rio di kamar, ke sana aja. Kamar Rio tembus ke belakang kok.”
“Eh, anu, aku mau langsung pulang kok, Tante,” tolak Ify halus. Mengetuk kamar Rio? Ya ampun!
“Lho, jangan gitu dong. Masa nggak ketemu Rio dulu,” rayu Tante Tria.
Ify yang tadinya mau pamit, dengan malas-malasan berjalan ke kamar Rio. Bisa gawat kalau Rio sampai ge-er. Diketuknya pintu kayu kamar Rio.
“Masuuuuuuuukkkk...” terdengar jawaban dari dalam kamar.
“Hai, Yo.”
“Ify?” Rio yang sedang berguling-guling di kasur langsung bangun.
“Cieeeeeeehhhh... baru juga bentar. Udah kangen ya, sampe disusulin ke rumah?” suara Gabriel tiba-tiba terdengar di balik pintu, lalu dia masuk disusul Ray di belakangnya.
“Heh! Kutu kembar, pada ngapain di sini?” Ify ikutan kaget, serasa tertangkap basah.
“Masuk, Fy, masuk.” Rio melempar “barang-barang cowok” yang berserakan di kasur.
Nggak perlu lama-lama bercanggung ria, Ify langsung cuek duduk di pinggiran kasur. “Lagi pada baca buku porno, ya?” selidiknya jail.
“Enak aja. Kita lelaki suci, tau!” jawab Ray.
“Hehehehe... model kayak lo-lo gini suci? Suci Susilowati, kali,” cetusnya sambil melempar bantal ke arah Ray.
“Ih... kok kaos kaki ada di dalem buku sihhhh????” teriak Ify saat melihat buku terbuka yang ada di atas tempat tidur.
“Emmmm, pembatas buku gue ilang.” Rio garuk-garuk kepala malu.
Ponsel Ify tiba-tiba berbunyi. Diliriknya layar HP-nya, nomor tak dikenal. Dia berharap semoga yang menelepon calon klien. Sejak semua cewek naksir Rio, udah lama dia nggak dapat orderan.
“Halo?”
“Halo, ini Ify?” sahut suara di seberang sana.
“Iya, siapa nih?” Ify meletakkan telunjuknya di depan bibir, menyuruh tiga cowok itu diam.
“Emmm....ini Zevana. Gue anak IPA 1. Tapi kayaknya sih lo nggak kenal gue deh,” jawabnya.
“Mmm... gue tau elo sih. Tapi, lo pasti perlu bantuan gue ya?”
“Lho, kok tau?”
“Tau dooonggg... gue kan udah pro banget. Siapa orangnya? Gue bisa bantu asal jangan...” Ify langsung berhenti bicara. Rio, Gabriel, Ray terlihat menguping penasaran. Dia mengurungkan niat untuk menyebut-nyebut nama Rio.
“Asal jangan apa?” tanya Zevana ingin tahu.
“Nggak, nggak. Siapa, siapa? Sebut aja."
“Ri-Ri,” Zevana terbata-bata.
Jantung Ify berdegup kencang, pasti Ri-Yo lagi. Hancur sudah harapannya dapat order tambahan.
“Rizky,” ucap Zevana.
“Haaaaahhhhh? Siapa?” Ify mengorek-ngorek kupingnya nggak percaya. Takut salah dengar.
“Rizky. Rizky Coboy Junior, anak IPA 2. Tau, kan?” Zevana menjawab malu-malu.
Siapa yang nggak kenal Rizky? Cowok teraneh seantero sekolah, berasa paling gaya. Rambutnya keriting kelimis disisir ke belakang. Celana cut bray, atasan ketat, dan rambut kelimisnya yang mungkin perlu sebotol gel berefek basah setiap harinya. Hiiii... si Zevana apa nggak salah? Tapi Zevana nggak kalah nyentrik sih, maksudnya nggak kalah aneh. Rambut dipotong bob sekuping, poni rata, plus anting bulet raksasa segede ban sepeda, belum lagi kacamata kucingnya. Aduh. Lagian buat apa dipikirin, yang penting dapet job. Nggak masalah, malah mereka bisa jadi pasangan tenar di sekolah, saking sama-sama anehnya.
“Gue terima deh, Zev,” jawab Ify mantap.
“Asyiiiiikkkkkkk... lo mau apa, Fy?”
“Hehe... gampang deh, besok kita ketemu di sekolah. Gue mikir dulu.”
“Jangan mahal-mahal ya,” ucap Zevana sebelum menutup telepon.
Ify cengar-cengir sendiri. Senangnya. Akhirnya ada juga yang nggak naksir Rio. Biarpun nekat namanya kalau Zevana ikut naksir Rio.
“Siapa sih? Udahannya kok lo jadi cengengesan gitu?” Gabriel penasaran.
“Cihuuuuuyyyyyy... akhirnya klien gue dateng lagi!” Ify mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke udara.
“Hah, jadi bener ya, Fy, kalo lo punya usaha mak comblang?” tanya Rio sambil melempar sebatang cokelat ke arah Ify. Hup... langsung ditangkap.
“Iya, emang lo belum tau?” Ify membusungkan dada. “Gue paling top, lho...” katanya bangga.
“Oh ya? Kok dapet klien satu aja girang banget?” tanyanya lagi sambil duduk disamping Ify yang asyik cengar-cengir sendiri karena kegirangan.
“Gara-gara lo! Tau nggak, sejak aksi Superman lo, ngelepas kacamata trus tiba-tiba jadi jago main bola, semua cewek minta dicomblangin sama lo. Sampe-sampe gue punya daftar waiting list-nya, tau. Merugikan sekali tuhhhhh!!!” omelnya panjang-lebar.
Rio terbengong-bengong karena tidak tahu-menahu. Mana Ify ngomong sambil ngunyah cokelat, omongannya makin nggak jelas.
“Tapi lo mau deket sama gue sekarang bukan gara-gara lo lagi terima order, kan?” pertanyaan Rio membuat Ify terdiam sesaat.
“Bukan…” gelengnya pelan.
***
source: MISS CUPID, Mia Arsjad
MISS CUPID - 8
DELAPAN
***
JAZZ kuning Ify meluncur dengan lincahnya.
“Fy... ayo donggg... kan baru ini gue punya pacar sekece Oik.” Rupanya Cakka masih belum menyerah. Ia masih sibuk merengek-rengek pada Ify. Hari ini Oik minta diantar belanja peralatan make-up.
“NGGAK! Lo udah dianter juga udah bagus! Budek nih, ntar gue turunin lo, ya?” ancam Ify.
“Fy...”
“Nggaaaaaaaaakkk... cewek lo rese amat sih? Sekali-sekali naik angkot, ‘napa? Gue hari ini mau jalan sama Shilla. Gue kan udah sering ngalah. Setiap kali lo nge-date pake mobil gue. Ntar kalo gue nge-date pake apa?” omel Ify panjang-lebar.
“Ng... emang lo punya pacar?” tanya Cakka polos._.
“Kalo omong aneh-aneh lagi, lo gue turunin baru tau!”
Akhirnya selama sisa perjalanan ke sekolahnya, Cakka cemberut.
Awas tuh si Oik. Bikin Cakka jadi kurang ajar. Lagian, Cakka bego banget sih? Oik itu kan cewek paling genit, matre, dan nakal se-Jakarta Selatan, rutuk Ify dalam hati.
Jazz kuning itu melesat lagi menuju sekolah Ify. Ditekannya tombol ON pada CD player mobilnya. Mengalunlah lagu yang tenar lewat iklan Axe di TV. Ify berjoget-joget sendiri. Telunjuknya menuding-nuding ke atas dan ke bawah.
Tidak sampai lima belas menit, Ify sudah sampai di sekolahnya.
“Pagi, Pak Oni...” sapa Ify ceria ketika memasuki pelataran parkir.
“Wah, si Kuning udah sembuh nih?” balas Pak Oni sambil membantu menginstruksikan Ify parkir.
“Iya nih. Makanya si Kuning nggak boleh terlalu capek, ntar bisa diopname,” ujar Ify sekenanya.
“Ah, bisa aja.”
“Shilla udah dateng?”
“Udah tuh. hari ini datengnya pagi banget. Tumben.”
“Bawa mobil?” Ify celingukan mencari mobil Shilla.
“Nggak tuh, Non. Dianter sopir. Katenye ade bisnis same Non Efy...”
“Ify.”
Pak Oni nyengir. “Maap, ‘e’-nye kebanyakan, ye?”
Ify tertawa melihat tingkah Pak Oni.
“Udeh eh, Pak One. Saye ke keles dule, ye?” goda Ify, dan langsung kabur.
Dari kejauhan terlihat kerumunan cewek fans Rio berjalan bergerombol menuju kelas Ify. Gila, padahal Rio di sekolah sudah kembali dengan dandanan Clark Kent yang berkacamata. Tapi berhubung cewek-cewek itu sudah menyaksikan sendiri wujud asli Rio, mereka nggak peduli.
Ify melangkah masuk kelas. Pemandangan Rio dikerumuni cewek sudah mulai biasa. Gabriel dan Ray dengan senyum bahagia ikut nimbrung rezeki. Dasar cowok. Sementara Rio masih dengan segala kecanggungannya.
“Pagi, Ify,” sapa Rio ketika Ify melewati mejanya.
“Pagi, Yo. Lagi jumpa fans nih?” Ify mengedikkan kepala ke arah cewek-cewek di sekitar Rio.
Rio cuma bisa tersenyum getir.
“Ya udah. Sukses ya.” Ify ngeloyor pergi.
“Eh... Ify!” jerit Rio tiba-tiba.
Langkah Ify terhenti mendadak. “Apa? Kaget gue.”
“Anu... burungnya udah gue kasih nama. Pipi sama Pipo. Lucu, kan?” Dengan sangat gugup tiba-tiba Rio ngomongin parkit di depan semua orang. Dan itu sangat nggak penting.
Ify melongo. “Hah?” Cuma itu yang keluar dari mulutnya.
“I-i-i—iya. Pipi-Pipo. Lucu banget. Ma-ma-ma-kannya rakus. Apa t-tuh nama makanannya?”
“Milet. Mereka emang rakus. Namanya juga burung,” jawab Ify asal.
Sekarang semua mata menatapnya. Aduuuuuuhhhhhhh... dasar Rio bego. Cewek-cewek itu memandang sinis ke arah Ify. Merasa kecolongan. Apa lagi nih kejutan dari Rio? pikir mereka. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba membahas burung.
“Yo, demi keamanan kita berdua, gue ke meja gue dulu. Daahhh...” cepat-cepat Ify kabur dari suasana mencekam yang bikin bulu kuduk berdiri itu.
Shilla yang mendengar semuanya, ikut-ikutan bengong. Dia memandang Rio dan Ify bergantian.
“Heh, sini lo,” tarik Shilla saat Ify melewati bangkunya. Ify terduduk seketika.
“Shilla! Lo tuh, suaranya aja lembut. Narik orang kenceng banget kayak pake tenaga dalem,” omel Ify gemas. Pantatnya sakit didudukkan tiba-tiba di kursi kayu nan keras itu.
“Lo nyembunyiin sesuatu, ya?” Shilla menatap mata Ify sok serius. Meski tetap dengan suara lemah lembutnya.
“Nggak.”
“Nah, tadi? Pipi, Pipo?”
“Gue baru mau cerita. Tapi mulut ember si Rio itu malah berkoar duluan. Liat akibatnya buat gue. Bisa dikutuk gue sama cewek-cewek ajaib itu.”
“Ceritain sekarang dong,” pinta Shilla.
“Nggak bisa lahhhh. Lo nggak liat tuh cewek-cewek pada mau nerkam gue? Pulang sekolah aja. Kita nongkrong di suatu tempat yang nggak ada mata-matanya. Kalo infonya bocor... wahhhh, bisa rugi gue,” Ify berkoar-koar.
Shilla mengangguk setuju. Dalam hati penasaran berat pengen tahu. Burung apa sih yang bikin heboh ini?
Ify bangkit dari duduknya. Ia mengambil gelas air mineral dari dalam tasnya dan buru-buru meneguknya. Dia jadi tegang sendiri. Cewek-cewek itu masih saja berbisik-bisik dan menatapnya iri.
“Udah ah, Shill. Gue balik ke bangku gue. Kasian Alvin. Hopeless. Ntar bunuh diri, lagi.”
Sudah beberapa hari terakhir sejak pertandingan bola, Alvin jadi lesu. Gejalanya sama kayak ayam tetangga kena tetelo. Matanya nanar menatap Rio. Semakin hari semakin nanar. Hobinya sekarang nyanyi lagu-lagu sendu. Apalagi Glenn Fredly. Satu kaset dia hafal. Ify mungkin perlu ke dokter THT kalau sekali lagi Alvin nyanyi satu album non-stop. Kayaknya Alvin ngerasa kalau sekarang namanya sudah nyaris terlupakan oleh cewek-cewek. Yang lebih menyedihkan, Shilla pujaan hatinya pun cuek-cuek aja.
“Hei! Ngelamun melulu! Kesambet setan lewat lho!” Ify menepuk pundak Alvin.
“Semoga hati Shilla sebersih wajahnya yang mulus. Tak tertipu oleh penampilan palsu,” tombol ngaconya langsung menyala.
“Gilingan lo, ya?” Ify mengempas tubuh ke kursi. “Apaan sih, kok nggak jelas gitu?”
“Gue berdoa buat cinta sejati gue.”
“Panas, ya?” canda Ify sambil memegang-megang jidat Alvin.
“Gue yakin, Shilla nggak mungkin tertipu sama penampilan Rio. Ya, kan?”
Ify mengangkat bahu. Rasanya nggak enak kalau harus berbohong terlalu banyak pada Alvin. Kali ini dia memang betul-betul nggak tahu.
“Kira-kira harapan gue berhasil berapa persen?” Alvin masih belum puas.
“Ya tergantung. Lo belajarnya rajin nggak?”
“Ify, lo emang tega sama temen lo yang lagi galau,” rintihnya sok puitis.
“Hahahahaahahah... lo jangan hopeless gitu dong. Harapan lo ada... ada... kira-kira... segede bunga kreditan di bank... hahahahahhaha...” tawa Ify meledak melihat tampang Alvin yang memelas.
“Berapa gede tuh, Fy?”
“Ya, nggak tau... belom pernah kredit di bank sih. Nah, emak lo suka kredit, nggak? Kan ibu-ibu kompleks suka iseng.”
“Itu mah tukang kreditttt!” Alvin histeris sebal.
Ify masih cekikikan. Alvin serius nih.
Sambil mengeluarkan buku-buku pelajarannya, Alvin masih terus sibuk menyanyi lagu sendu. Pas banget jadi ikon orang patah hati. Kayaknya tuh tulussss... banget.
“Vin...” panggil Ify.
“Apa?”
“Diem dong. Ntar lo musti biayain gue ke dokter THT. Mau?”
Bukannya diem, Alvin bernyanyi makin kencang. Mana lagu Glenn nadanya tinggi-tinggi. Suara Alvin makin hancur karena sama sekali nggak bisa mencapai suara tinggi. Ify makin pusing. Masih bagus pengamen jalanan deh. Ini anak sama sekali nggak berbakat di dunia tarik suara, tarik becak mungkin iya.
“Vin... gue masukin lo ke les vokal, ya?” usul Ify mati gaya. Dia benar-benar nggak tahan lagi.
“Boleh deh, Fy. Tapi maunya yang gurunya Glenn atau Rio Febrian, ya?”
PLETAK! Sebatang pensil mengenai jidat Alvin.
“Dasar! Masih untung ada yang mau ngajarin. Gue udah nggak tahan, tau! Suara lo jelek bangettttttt...” Ify menutup kupingnya rapat-rapat.
***
Siang itu macetnya nggak kira-kira. Sudah satu jam Ify dan Shilla maju merayap bersama si Kuning di sekitar Jalan Fatmawati. Niatnya mau ke Citos atau Cilandak Town Square.
“Gila, orang-orang ini pada mau kemana, ya?” keluh Shilla mulai nggak sabar. Mana Ify paling ogah cerita sambil nyetir. Dia kadang-kadang suka sok menegakkan peraturan lalu lintas.
“Pada mau ke Citos juga, kali. Sama kayak kita.”
“Ah, masa sih, Fy? Ada acara, ya.” Kepanasan bikin Shilla jadi bego.
Ify mendelik sebal. “Ya, nggak lah, Shill...”
Tiba-tiba terdengar suara cempreng dari jendela. “Aduh! Sialan... ni si Doel anak Betawi asli... jreng, jreng...”
Pengamen yang satu ini aneh juga. Yang lain sibuk nyanyi lagu Dewa kek, Sheila on 7 kek, Peterpan kek. Itu lho, yang lagunya “kutanya malaaaamm... kutanya siaaaaaangg...” Eh, dia malah nyanyiin lagu si Doel. Ify menoleh ke arah jendela, penasaran sama tampang pengamen nyentrik itu. Tapi... HAH? Tiba-tiba ekspresi Ify berubah kaget.
“Kenapa, Fy? Kenapa? Pengamennya ngeluarin pisau, ya?” Shilla jadi panik. Tangannya langsung merogoh tas, siap-siap mengambil pepper spray.
“Hihihi...” Ify tiba-tiba cekikikan.
“Shill, ini mas bibir jontor yang gue ceritain. Yang di bus itu lho... Ternyata orangnya senorak bibirnya,” bisik Ify seolah takut orang itu tahu. Sementara si mas masih terus berteriak-teriak menyanyikan soundtrack Si Doel Anak Sekolahan.
Ify melirik sekali lagi. Eh, dia senyum dan mengetuk jendela Ify.
Saking penasarannya, Ify membuka jendela sedikit, paling cuma selebar satu jari kelingking. “Bentar, koinnya dicari dulu,” kata Ify lewat ventilasi mini itu.
Tahu-tahu dia mendekatkan bibir jontornya ke lubang jendela. Ify jadi panik. Jangan-jangan bibirnya punya kekuatan mistis. Tangannya siap-siap memencet tombol power window. Kalau berani macam-macam, jepit saja tangan orang itu.
“Eh... Non, Non. Jangan ditutup. Kite kan udah kenal, ye? Waktu di bus, inget kagak?” serunya pada Ify. Shilla kontan cekikikan. Ternyata bukan cuma Ify yang ingat dia, dia juga ingat Ify. Hebat.
“Hah? Iya. Terus kenapa?” cetus Ify judes.
Pede amat ini orang. Pengalaman di bus kan bukannya pengalaman indah. Lagian, siapa juga yang kenal? Cuma se-bus kok dibilang kenal.
“Kagak, Non, maksud Abang... jangan koin doooooong. Pan Abang mau ikutan audisi nih, tau kan idol-idol itu? Liat dong bibir sama suara Abang yang kayak Mick Jagger. Nah... bantuin ongkosnye doooonggg...” rayu si abang norak.
“Ih. Apa hubungannya sama saya?”
“Yeee... Neng begimane. Paling nggak, kalo Abang tenar, Neng jadi orang pertama yang Abang ucapin terima kasih dehhhh... di album perdana juga. Gimane?”
Ify menatap Shilla yang mukanya merah berusaha menahan tawa. Ada juga orang senorak ini di dunia nyata. Tangan Shilla menyelipkan selembar ribuan ke tangan Ify.
“Kasih nihhh... hihihi.. kali aja bener ntar dia tenar. Kita untung juga,” ledek Shilla.
Ify memberikan uang itu lewat celah mini di jendela. “Nih.”
“Gitu dong, Neng... doain Abang di medan lage, ye? Biar Abang kembali selamet,” katanya sambil ngeloyor pergi dan sebelumnya melambai ala penyanyi dangdut yang baru selesai manggung.
Tawa Shilla meledak. Ify yang baru sadar sama kejadian tadi ikutan ngakak.
Empat puluh lima menit kemudian mereka memasuki pelataran parkir Citos. Kaki Ify pegal-pegal kelamaan menginjak pedal kopling.
Mereka kemudian duduk di Starbucks Coffee. Dengan lega Ify melemparkan tubuh ke atas sofa raksasa. “Ahhhhhh... berakhir sudah penderitaan gue.”
“Ayo cepet, info, info...” desak Shilla nggak sabar.
Ify dengan gaya profesor menjelaskan dengan ringkas apa saja yang dia dapat kemarin. Semuanya.
“Wah... serius nih, dia tetangga lo?”
Ify mengangguk semangat. “Yoi. Malahan dia bilang mau main-main ke rumah gue. Tapi belum sih, baru rencana.”
“Asyiiiiiikk... gue boleh dong, ikutan nimbrung?”
“Ya jangan buru-buru nyosor gitu dong, ntar dia kabur. Lo harus ikutin strategi gue, gimana?”
“Strateginya?”
“Biarin dia agak akrab dulu sama gue... nahhhh... baru lo masuk pelan-pelan. Kalo nggak, ntar dia curiga dong? Gawaaattt...” Ify sok serius.
Shilla yang dasarnya kebelet abis cuma bisa iya-iya saja. Pokoknya dia pengen cepat dekat sama Rio. Ify kan profesional, jadi serahkan saja pada ahlinya.
Bibir Ify monyong menyeruput ice chocolate-nya.
“Fy, kok si Alvin nggak diajak? Biasanya kemana pun lo pergi dia ngikut.”
“Kok lo nanya-nanya Alvin? Lo suka, ya, Shill?”
Shilla menatap heran ke arah Ify. “Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Setiap kali gue ngomongin Alvin pasti dituduh naksir. Jangan-jangan lo suka sama Alvin? Gue nggak naksir kok sama dia, kalo lo serius, gue setuju banget kalian jadian.”
“Lho kok jadi lo yang bilang gitu ke gue?” sergah Ify sebal.
“Makanya, jangan aneh-aneh. Jadi, Alvin kemana?”
Ify angkat bahu. “Tau ya, mungkin lagi..”
“Hayo ngaku, lagi apa?”
“Lagi latihan nyanyi. Pengen ikutan idol juga. Paling ntar temenan sama si jontor tadi.”
Shilla percaya aja.
“Fy, ni kalo boleh ya, mau dong gue udah bisa dateng sama Rio di bazar sekolah akhir bulan depaaannn... bisa nggak?”
“Wah! Liat aja ntar, pokoknya gue usahain deh. Sebagai mak comblang profesional, gue usahain dehhh... sueeeeerr!” Ify mengacungkan dua jarinya.
Ify benar-benar nggak habis pikir. Apa yang bikin Shilla jadi kebelet banget sama Rio? Cewek-cewek itu juga. Masa cuma gara-gara waktu pertandingan sepak bola itu sih? Di sekolah Rio sama sekali nggak berubah. Kacamatanya, canggungnya sama cewek. Tapi mereka-mereka ini malah menganggap itu salah satu kelebihan Rio. Misterius. Coba, bela-belain banget, kan? Gabriel dan Ray langsung turun pamor. Tapi mereka tampak asyik-asyik saja membantu Rio. dengan harapan kali aja ada yang kepincut sama mereka.
Tadi siang Dea malah bawa oleh-oleh buat Rio. katanya hadiah kemenangan. Kue cokelat buatan sendiri. Bentuknya sih lumayan, tapi muka Ray dan Gabriel, juga beberapa anak cowok yang ikut mencicipi langsung pucat.
“Kuenya nggak digulain, kali. Hueeeeekk...” kata Obiet waktu itu sambil berlari ke kantin cari minum. Yang lain juga sama.
Tapi Rio? Dengan segala keramah-tamahan dan sifat terlalu baik hatinya tampak berusaha keras menghabiskan kue bagiannya. Wajahnya sudah pucat seperti mau muntah. Tapi dia tampak nggak tega kalau Dea kecewa. Rio memang baik sih. Mungkin itu juga ya, kelebihannya?
“Kok ngelamun, Fy?”
“Nggak, cuma lagi mikirin strategi selanjutnya.”
Ponsel Ify berbunyi. Ada SMS yang masuk.
Hi there! Rio nih, lg dmn? Gw k rmh lo ya? Mau diskusi parkit. Hihihi. Bsn nih nggak ada kerjaan. —Rio—
Ify mengerutkan kening. Diliriknya jam dinding raksasa yang tergantung di situ.
“Kenapa? Siapa, Fy?” berondong Shilla.
“Rio.”
“Haaaaahhhhh??? Yang bener, lo? Liat, liat!”
“Tau nomor HP gue dari mana, lagi? Pasti Nyokap,” gerutu Ify. Mama kadang-kadang suka asal memberi nomor HP Ify ke orang-orang. Apalagi kalau Mama kenal sama orangtuanya.
“Ihhhh... bagus dong, Fy. Bales, bales, bilang ‘iya’. Kan buat langkah selanjutnya. Gue pulang naik taksi deehhhhhhh... biar lo cepet sampe rumah,” cerocos Shilla berapi-api. Gila, ngebet banget nggak sih?
“Iya, iya. Sabaran dikit dong, Shill. Kayak mau nangkep maling aja,” ledeknya.
Yo, gw msh di jln. 1 jam lg. Gmn? Lo dtg aja dlu. Cakka ada di rmh. C u there.
—Ify—
Mereka berdua menghabiskan pesanan mereka dan bergegas pergi. Shilla yang pengin cepat-cepat tahu perkembangannya lewat telepon juga buru-buru pulang. Semakin cepat Ify pulang, semakin cepat ada info.
“Jangan lupa ya, laporan lengkaaaaaappp,” sempat-sempatnya Shilla menjerit kecil dari jendela taksi.
***
Di teras rumah, Cakka dan Rio asyik merakit Gundam. Rio terlihat serius menyusun bagian-bagian kecil robot mini itu.
“Tuhhhh... si pelit pulang,” kata Cakka sambil manyun.
“Apa lo? Dasar selera rendah,” balas Ify.
“Hai, Fy,” sapa Rio. Poninya menjuntai di atas kacamatanya. Mungkin kalau merakit Gundam juga harus pakai kacamata, ya?
“Udah lama?” tanya Ify sambil duduk. “Udah dikasih minum belum sama spesies orang utan ini?” tanyanya lagi.
Rio nyengir. “Baru setengah jam kok.”
“Gue udah kasih dia minum, makan, dessert, permen,” jawab Cakka kesal.
Mama keluar membawa baki minuman.
“Fy, kamu ganti baju dulu gih. Nanti Rio nggak naksir kamu, bau gitu,” ujar mama asal banget. Ify langsung melotot.
“Mama! Apaan sih? Aku tuh ya, mau bau, mau belum mandi, tetep jadi rebutan,” sahut Ify malu sambil ngeloyor pergi. Ada-ada aja deh mama. Rio bisa ge-er. Kan gawat.
Ditariknya celana jins selutut dan tank top singlet warna putih dari lemari. Ganti baju, mencuci muka, dan bergegas lari ke bawah. Sebelum Rio dicekoki yang nggak-nggak sama Mama dan Cakka.
“Yo, diskusi parkit apaan?”
“Iya nih, gue pengen parkit gue jadi banyak kayak punya lo.”
“Ooooo... ya bikinin rumah-rumahan lah, buat bertelur.”
“Gue mau liat dong rumah-rumahannya.” Rio berdiri mengajak Ify ke belakang melihat kandang parkit raksasa cewek itu.
“Kka, gue ke belakang dulu, ya?” pamitnya pada Cakka.
“Awas lo, ntar dikurung di dalem kandang sama nenek sihir cepak itu. Hiiii... dijadiin salah satu koleksinya.”
Ify melotot. Dasar kurang ajar.
“Emang lo punya kandang, Yo?”
“Ya ntar bikin. Tapi kan gue perlu contoh, Fy.”
Ify menunjuk salah satu dari lima rumah-rumahan kecil dengan lubang bulat yang menggantung. Diambilnya satu dan diserahkannya pada Rio.
“Nih, bawa pulang aja.”
“Bener nih? Kok lo baik banget?” Rio berbinar-binar.
“Yeeeee... soalnya gue nggak tega parkit gue disana jadi nggak punya rumah. Pasti mereka bakal demo ke gue minta pulang,” ujar Ify tersipu-sipu. Dimasukkannya rumah kecil itu ke kantong plastik hitam.
“Di rumah lo nggak ada pembantu, Fy?”
“Lagi pulang, anaknya mau kawin minggu depan.”
“Eh, Fy... kita jalan yuk?” kata Rio tiba-tiba.
“Hah?”
“Iyaaa... ini kan malem Minggu. Kita kan pada jomblo, jalan-jalan aja, menikmati kejombloan. Mau, nggak?” tawar Rio semangat.
Ify berpikir sesaat. Boleh juga sih, jarang-jarang bisa malam mingguan sama cowok. Kecuali Alvin. Tapi dia sih nggak keitung. Habisnya Alvin pelit banget, kalau jalan bareng disuruh bayar sendiri-sendiri. Lagian nggak ada ruginya, malah bisa memperlancar misi.
“Oke deh. Kemana?”
“Ya liat ntar aja. Ikuti kata hati. Pokoknya tempat yang asyik-asyik deh, jauh dari romantis, gimana?”
“Boleeeeeeeehhh... siapa takut?”
“Ya udah, gue balik dulu ambil mobil. Lo mandi,” kata Rio.
“Lha, tadi kesini naik apa?”
“Becak.”
Ify cekikikan. Dasar ajaib.
Rio pergi setelah berpamitan pada mama dan Cakka. Dia juga sudah minta izin pada mama akan mengajak Ify jalan-jalan. Mama kontan setuju. Mata mama kentara banget supersenang, walaupun berusaha pura-pura biasa aja. Mama pasti kegirangan akhirnya ada juga cowok yang mengajak Ify malam mingguan, biarpun untuk “menikmati kejombloan” seperti kata Rio.
“Ify, cepet mandi sana. Nanti Rio keburu datang, kan nggak enak kalo dia sampe nunggu,” suruh mama setelah Rio pergi.
Ify cemberut. Kok jadi Mama yang sibuk? Tapi tak urung dia pergi juga ke kamar mandi. Benar juga kalau Rio sempat nunggu bisa gawat. Nanti mama nemenin sambil ngegosip yang nggak-nggak. Hiiiii... mandi ah. Ify membuka shower air hangat. Rambut pendeknya sudah dua hari nggak sempat dicuci, hehe, kan malu kalau Rio tahu. Bibirnya menyiulkan lagu ciptaan sendiri yang sama sekali nggak jelas nadanya apa, dan pasti mengundang protes Cakka yang nggak tahan sama siulan Ify.
“Kenapa sihhhhhh? Rese banget lo, Kka! Tumbuhkan dong jiwa seni lo...” jerit Ify, membalas Cakka yang berteriak-teriak memintanya berhenti bersiul.
“HAH??? Jiwa seni apaan? Kalo denger siulan lo... yang tumbuh bukan jiwa seni, tapi sakit jiwa!!!” gerutu Cakka.
Pintu kamar mandi terbuka. Ify melangkah keluar dengan rambut dibalut handuk. Dia berlari kecil menuju kamarnya. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 18.00. Rio kayaknya tadi nggak bilang deh, mau jemput jam berapa. Ify bergegas ganti baju, takut Rio nongol tiba-tiba dia belum siap.
“Pake baju apa ya?” gumamnya. Ify nggak mau dandan terlalu rapi, mereka kan bukannya mau nge-date. Jalan-jalan menikmati kejombloan nggak bisa dibilang nge-date dong? Tangannya mengobrak-abrik isi lemari karena nggak mau saltum. Bisa berakibat fatal.
Akhirnya ia memilih kemeja stretch bergaya army dan blue jins pas badan dengan lipatan di bawahnya dan agak ngatung. Pakai sandal atau sepatu, ya? Dan pilihan pun jatuh pada sandal tali-tali warna hitam. Sip. Dandanan kayak gini nggak mungkin bikin cowok ge-er. Sentuhan terakhir, gel untuk membuat rambut mencuat.
Tepat pukul 19.00 Rio nongol dengan mobil raksasanya. Ify sedang asyik mengunyah sebatang cokelat di depan TV ketika Rio datang. Dengan gaya supersimpatik cowok itu bertegur sapa dengan mama dan Cakka yang ia temui di teras. Cakka berhasil membujuk Ify untuk meminjaminya si Kuning, karena malam ini Ify dijemput Rio. Setelah segala bujuk rayu dan seribu satu syarat, akhirnya Ify rela meminjamkan si Kuning. Yang jelas bukan demi pacarnya Cakka yang menyebalkan itu, tapi buat Cakka adik semata wayangnya yang nyaris menghabiskan hari ini dengan rayuan gombal supaya dapat pinjaman mobil.
“Kayaknya gue kelamaan ya, Fy? Lo udah kelaperan, ya?” suara Rio membuat Ify terlonjak dan dengan refleks yang sangat nggak penting Ify menelan bulat-bulat sisa cokelatnya.
“Eghhh... glek. Nggak, nggak... gue cuma ngemil. Bentar, bentar, gue minum dulu...” Ify berlari ke dapur dengan tampang aneh. Cokelat sialan itu nyangkut di tenggorokan, membuat muka Ify jadi kayak orang gantung diri. Dalam hati Ify mengumpat Rio yang datang tiba-tiba.
Rio mengikuti langkah Ify ke dapur. “Ya udah, acara pertama makan deh. Nanti lo pingsan lagi.” Rio tersenyum geli melihat ekspresi Ify yang berusaha menelan cokelatnya.
Ify melotot ke arah Rio. Cowok itu terlihat keren tapi santai. T-shirt berwarna hijau tentara dengan sablon bergambar Jeep dan celana jins belelnya bikin dia kelihatan machooooooo...
“Ready to go?” tanya Rio.
“Ya ready laaahhhhh...”
***
Namanya juga malam Minggu. Macet dimana-mana, alhasil Rio dan Ify juga terjebak macet. Padahal baru juga lima belas menit keluar dari kompleks.
“Kayak gini kapan nyampenya? Yo, benernya kita mau kemana sih? Duhhhh, gue kok jadi laper beneran ya?” rengek Ify malu-maluin. Tapi berhubung bukan kencan, nggak perlu jaim dong.
Rio nyengir. Ini anak memang cuek. Tadi katanya nggak lapar, sekarang paniknya sepanik orang kebelet pipis.
“Kita mau jalan-jalan aja... gue juga belum tau sih. Gimana ntar aja, kalo udah sampe daerah Kota,” jawab Rio.
Ify meringis. “Bisa makan dulu, nggak? Gue yang bayar dehhhhhh... kalo nunggu sampe daerah Kota gue bisa collaps. Nanti lo dimarahin nyokap gue, terus kita nggak bisa main lagi.”
Rayuan Ify yang asal membuat Rio ketawa ngakak. Dia benar-benar geli ada cewek kelewat cuek begini, sementara semua cewek yang selalu berkerumun di kelasnya jaim abis. Boro-boro minta diajak makan. Ditawari permen sebutir aja, mendadak sesama rival jadi kompak, menjawab dengan kata “diet”.
“Yo, bukan waktunya ngakak deh.”
“HAHAHAHA...” tawa Rio tambah keras melihat tampang Ify yang keki.
“RIO!!!!!!!”
“Iya, iya. Tuh, tuh, ada warung tenda. Di situ aja, ya?” Rio menepikan mobilnya di depan warung pecel lele yang ada di dekat situ. Ify langsung sumringah. Gila, kenapa keroncongan pas saat-saat begini sih? Bikin malu aja.
“Bang, pecel lelenya dua. Nggak pake lama,” pesan Ify.
Si abang mencemplungkan dua lele ke penggorengan superbesar. Saking apinya juga besar, matangnya cepat banget.
“Minum apa?” tanya abang itu sambil meletakkan dua porsi pecel lele di depan Ify dan Rio.
“Es jeruk, Bang.”
“Nggak ada, Non.”
“Jus alpukat?”
“Apalagi itu, Non... emang nggak jual.”
“Es teh manis deh,” putus Ify kesal.
“Wah, Neng, gula sama esnya lagi habis,” jawab si abang ngeselin.
“Bang, jadi adanya apaan?” Ify bingung campur sebal.
“Teh pahit sama air putih.”
“Yeeeeeee... cuma ada itu kenapa nawarin mesen mau minum apa?” sungut Ify.
“Biar gaya aja,” jawab si abang cuek.
“Ya udah, air putih aja,” ujar Ify.
“Saya juga sama,” sahut Rio.
Si abang pergi mencomot dua gelas dan mengisinya dengan air putih hangat. Lagi-lagi Rio ngakak geli. Matanya sampai berair saking semangatnya tertawa.
Ify baru sadar kalau dari tadi Rio gampang banget tertawa, senyum, meledek, jail. Padahal di sekolah, omong aja susaaaaaaah banget.
“Eh, Rio jangan ketawa melulu, ya. Lagian dari tadi lo gampang banget ketawa. Udah gitu ternyata lo jail juga, ya? Gimana sih? Gue curiga, jangan-jangan lo mengidap split personality lagi. Masa di sekolah beda banget sih?!” semprot Ify.
Rio berusaha menghentikan tawa. Ia menyeruput air putihnya.
“Ify, ada satu hal yang gue nggak ngerti juga. Baru kali ini gue bisa berakrab ria sama cewek sampe selepas ini. Gue punya kelemahan sama cewek. Gue paling nggak bisa dirayu-rayu, dimanja-manjain... pokoknya yang gitu-gitu deh. Gue langsung gugup, nervous. Gue kayaknya punya masalah sama kepercayaan diri gue, selalu nggak pede. Sebenernya dulu sama cowok juga, tapi lama-kelamaan gue bisa juga gampang akrab sama cowok. Karena obrolan gue nyambung,” jelas Rio panjang-lebar. Ia menarik napas panjang, siap-siap melanjutkan ceritanya.
Ify menatap Rio sambil mendengarkan dengan serius. Ify itu bisa sangat serius pada saat-saat dibutuhkan.
“Terus, seumur hidup gue, baru sekali gue punya cewek. Itu pun hasil dijodohin temen gue.”
Ify terkesiap. “Sekarang masih?”
Rio menggeleng. “Nggak. Orang cuma bertahan satu bulan. Dia emang cantik, anggun, dan lain-lain deh. Tapi gue nggak nyambung. Dia juga nggak pernah bisa memulai obrolan yang nyambung. Abis sebulan itu buat diem-dieman. Ih, nggak enak banget. Apalagi kalo udah gitu penyakit nervous gue kambuh. Terus gue kapok deh. Nah, sama lo beda. Gue bisa ngobrol nyambung... eh ehm... dalam artian bukannya.... bukannya—” tiba-tiba Rio kumat.
“Iya, gue ngerti. Gue juga nggak ge-eran kok,” sambar Ify cepat.
Rio tampak lega. “Ya gitu deh, maksud gue kayaknya gue akrab sama lo, asyik banget. Biarpun baru sebentar, tapi gue ngerasa banget punya temen,” lanjut Rio.
Ify mengangkat bahu. “Nyantai aja lagi, Yo. Gue emang terkenal asyik kok. Hehehe...” katanya sambil cengengesan.
“Fiuuuuuh... bagus deh,” kata Rio lega sambil beranjak dan merogoh uang dari kantongnya untuk membayar pecel lele.
“Nih, Bang.”
Abang nyentrik tadi menerima uang Rio. dengan gaya sok pelayan restoran berkelas, dia membungkukkan badan. “Terima kasih, kembali lagi ya...” katanya norak.
“Iya, nanti kalo Abang udah bisa bikin es jeruk,” sahut Ify, masih keki sama insiden minuman tadi.
Rio menghidupkan mesin mobilnya. Arus lalu lintas tampak mulai merayap. Lumayan daripada tadi. “Fy, seru-seruan yuk?”
“Ngapain? Ngerampok bank? Seru tuh... lagi bokek nih. Hehehe...”
“Seru-seruan.... naik Busway yuk?” usul Rio.
“Kemana?”
“Muter-muter aja, nggak usah turun. Lumayan kan jalan-jalan di Jakarta di malam hari tanpa macet.”
“Mobilnya?”
“Parkir aja di Ratu Plaza. Yuk?” ajak Rio semangat.
Ify menimbang-nimbang. Sebenarnya memang hal-hal seperti inilah yang pengen banget dia lakukan bareng teman-temannya. Naik Busway, naik KRL sampe Bogor, ke Taman Mini. Pokoknya hal-hal yang fun dan nggak biasa. Shilla sama Alvin? Mana mau mereka panas-panasan. Ify jadi ikut antusias dengan usul Rio.
“Yuk!”
Rio membelokkan mobilnya ke arah pelataran Ratu Plaza. Dikuncinya setir mobil biar aman.
“Yo, kita titip satpam aja. Biar lebih tenang di jalan. Gimana?”
“Emang bisa?”
“Bisaaaaaa...” jawab Ify sambil menghampiri seorang satpam berkumis tebal yang sedang duduk-duduk di posnya.
“Permisi, Pak,” sapa Ify. Bapak tadi mendongak. “Begini Pak, teman saya ini baru datang dari Amerika, tau kan, Pak, Amerika? Nah, dia ini pengen banget ngerasain naik Busway. Bule kan juga ada yang udiknya. Isn’t it right, Mario my friend?” kata Ify sambil mengedipkan sebelah mata pada Rio, untung dia cepat tanggap dan langsung pura-pura nggak bisa ngomong bahasa Indonesia.
“Oh yes, sir. Can you help us?”
Si Bapak bengong nggak ngerti. “Apa, Non?”
“Iya, Pak, jadi kita mau titip mobil disini. Tolong jagain ya, Pak? Saya mau nganter dia berpariwisata keliling Jakarta. Bapak juga ikut membantu lho....” Ify menyelipkan selembar sepuluh ribuan ke tangan satpam itu.
“Wah! Siap, Non.... saya bangga ikut memajukan pariwisata Indonesia. Puas-puasin aja, Non, kendaraannya akan saya awasi dengan tekad membangun bangsa dan meningkatkan keamanan.” Pak satpam menjawab semangat sampai-sampai kumisnya bergetar. Mungkin dia terharu ikut membantu turis mancanegara. Hehehe.
“Makasih ya, Pak,” jawab Rio refleks.
“Lho, Non? Itu barusan bisa bilang makasih?”
Ify menginjak kaki Rio. “Eh... itu doang bisanya. Baru belajar tadi. Ya, kan?” tatap Ify sambil memberi kode pada Rio.
“Oh... makasih ya, Pak,” ulang Rio sok bego.
“Tuh kan, cuma bisa itu doang. Itu juga dapet ngafalin tadi, Pak, khusus buat Bapak.” Ify harap-harap cemas. Tapi ternyata satpam yang satu ini memang rada tulalit. Dia jadi semakin bangga karena berpikir “si bule” benar-benar berusaha belajar satu baris kalimat bahasa Indonesia cuma demi dia.
“Wahhhh... tengkyu peri mach. Bapak terharu, Non. Bapak bangga melihat kegigihan Non yang juga semangat memajukan pariwisata kita. Non memang anak muda yang bertanggung jawab,” pujinya berlebihan.
Ify meringis. Rio cuma bisa menahan tawa dan berusaha memasang ekspresi lempeng pura-pura ngerti.
“Oke, Pak, kita cabut dulu, ya. Daaaahhh..” Sebelum Ify terharu dan ikutan meneteskan air mata, mereka buru-buru pamitan. Dengan gagahnya satpam tadi melambaikan tangan seolah-olah Ify mau berlaga di medan perang.
Ponsel Ify berbunyi.
“Halo?”
“Ify, gue nih. Shilla,” kata suara di ujung sana.
Ify buru-buru memberi isyarat pada Rio untuk menunggu. Dia bergegas lari ke dekat tiang listrik agak jauh dari Rio.
“Kenapa, Shill?”
“Lo dimana? Susulin kita gih, kita lagi di PS nih. Mau nonton...”
“Nggak bisa. Gue lagi jalan.”
“Lho? Sama siapa, Fy? Kok nggak ngajak gue sama Alvin?” rajuk Shilla.
“Sama Rio.”
“APAAAAAAAAAA??!” jerit Shilla melengking. Kuping Ify langsung berdenging-denging.
“Hus! Jangan kenceng-kenceng. Dia ngajakin gue jalan. Katanya menikmati kejombloan, ya gue mau aja. Lagian kan ini ada untungnya untuk misi lho. Ya nggak?”
Shilla terdiam sesaat. “Nggg... iya sih. EITS! Tapi lo nggak lagi PDKT juga, kan? Hayo!”
“Ih! Kok jadi curigation gitu sama gue. Udah doong... ntar gue telepon lagi deh. Si Rio ngeliatin gue melulu nih... ntar dia curiga.”
Rio menatap Ify dengan pandangan sedikit menyelidik. Ify jadi makin nggak enak. Jangan-jangan obrolan mereka terdengar. Atau jangan-jangan dia dengar Shilla jerit-jerit. Ify melambai pada Rio sambil memberi kode “sebentar lagi”.
“Eh, Ify, Ify, bentar. Pertanyaan terakhir,” serbu Shilla sebelum Ify memutuskan hubungan telepon mereka. “Lo berdua pada mau kemana? Dinner ya?” cecarnya, masih curiga.
“Keliling kota naik Busway!”
“HAH?”
“Daaaaaahhhhh...”
KLIK.
“Sorry ya...” dengan tampang se-innocent mungkin Ify nyengir minta maaf. Tapi Rio santai-santai aja tuh, dia sama sekali nggak terlihat kesal.
“Kecengan?”
Dengan gerakan supercepat Ify menggeleng-geleng kencang saking paniknya. “Nggak. Bukan, bukan...” jawabnya grogi.
“Abis kayaknya panik banget, langsung melesat gitu. Pake acara sembunyi, lagi,” selidik Rio jail. Niat jailnya makin besar karena wajah panik Ify yang langsung merah padam. Bingung mau jawab apa. “Ya, ya, gue nggak nanya lagi dehhhh. Ntar busnya lewat. Sia-sia kan penyamaran kita tadi.”
“Rese. Tadi Shilla, tau!” jawab Ify manyun.
Rio mengerutkan dahi dan berpikir. “Shilla... Shilla... Oooo, gue tau. Temen lo yang feminin berat itu?” cerocos Rio.
Ify menarik napas diam-diam, Shilla memang beruntung banget. Semua cowok tahu dia. Rio yang katanya grogian dan nggak gampang akrab ini saja bisa ingat dia. Ada sedikit perasaan iri berdesir dalam diri Ify. Cepat-cepat dia mengembalikan mood-nya.
“Gimana sih? Kan temen sekelas juga, masa pake ngira-ngira gitu. Emang lo belum kenal?” ucap Ify sok ceria.
“Kayaknya temen cewek sekelas yang gue tau, maksudnya gue kenal, cuma lo sama yang di bangku sekitar gue deh. Itu juga kenal gitu-gitu aja. Trus yang lain-lain itu kan fans gue, jadi mereka yang memperkenalkan diri, gue mana inget sih... hehehe...”
“Idihhhhhhhh... ge-er banget.” Ify menepuk punggung Rio. Kok jadi bisa bercanda begini sih?
“Iyaaaa... aduh, aduh... tuh, tuh busnya, tuhhh. Yuk, yuk.” Mereka melompat masuk ke bus jingga bertuliskan TransJakarta.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
Langganan:
Postingan (Atom)