DELAPAN
***
JAZZ kuning Ify meluncur dengan lincahnya.
“Fy... ayo donggg... kan baru ini gue punya pacar sekece Oik.” Rupanya Cakka masih belum menyerah. Ia masih sibuk merengek-rengek pada Ify. Hari ini Oik minta diantar belanja peralatan make-up.
“NGGAK! Lo udah dianter juga udah bagus! Budek nih, ntar gue turunin lo, ya?” ancam Ify.
“Fy...”
“Nggaaaaaaaaakkk... cewek lo rese amat sih? Sekali-sekali naik angkot, ‘napa? Gue hari ini mau jalan sama Shilla. Gue kan udah sering ngalah. Setiap kali lo nge-date pake mobil gue. Ntar kalo gue nge-date pake apa?” omel Ify panjang-lebar.
“Ng... emang lo punya pacar?” tanya Cakka polos._.
“Kalo omong aneh-aneh lagi, lo gue turunin baru tau!”
Akhirnya selama sisa perjalanan ke sekolahnya, Cakka cemberut.
Awas tuh si Oik. Bikin Cakka jadi kurang ajar. Lagian, Cakka bego banget sih? Oik itu kan cewek paling genit, matre, dan nakal se-Jakarta Selatan, rutuk Ify dalam hati.
Jazz kuning itu melesat lagi menuju sekolah Ify. Ditekannya tombol ON pada CD player mobilnya. Mengalunlah lagu yang tenar lewat iklan Axe di TV. Ify berjoget-joget sendiri. Telunjuknya menuding-nuding ke atas dan ke bawah.
Tidak sampai lima belas menit, Ify sudah sampai di sekolahnya.
“Pagi, Pak Oni...” sapa Ify ceria ketika memasuki pelataran parkir.
“Wah, si Kuning udah sembuh nih?” balas Pak Oni sambil membantu menginstruksikan Ify parkir.
“Iya nih. Makanya si Kuning nggak boleh terlalu capek, ntar bisa diopname,” ujar Ify sekenanya.
“Ah, bisa aja.”
“Shilla udah dateng?”
“Udah tuh. hari ini datengnya pagi banget. Tumben.”
“Bawa mobil?” Ify celingukan mencari mobil Shilla.
“Nggak tuh, Non. Dianter sopir. Katenye ade bisnis same Non Efy...”
“Ify.”
Pak Oni nyengir. “Maap, ‘e’-nye kebanyakan, ye?”
Ify tertawa melihat tingkah Pak Oni.
“Udeh eh, Pak One. Saye ke keles dule, ye?” goda Ify, dan langsung kabur.
Dari kejauhan terlihat kerumunan cewek fans Rio berjalan bergerombol menuju kelas Ify. Gila, padahal Rio di sekolah sudah kembali dengan dandanan Clark Kent yang berkacamata. Tapi berhubung cewek-cewek itu sudah menyaksikan sendiri wujud asli Rio, mereka nggak peduli.
Ify melangkah masuk kelas. Pemandangan Rio dikerumuni cewek sudah mulai biasa. Gabriel dan Ray dengan senyum bahagia ikut nimbrung rezeki. Dasar cowok. Sementara Rio masih dengan segala kecanggungannya.
“Pagi, Ify,” sapa Rio ketika Ify melewati mejanya.
“Pagi, Yo. Lagi jumpa fans nih?” Ify mengedikkan kepala ke arah cewek-cewek di sekitar Rio.
Rio cuma bisa tersenyum getir.
“Ya udah. Sukses ya.” Ify ngeloyor pergi.
“Eh... Ify!” jerit Rio tiba-tiba.
Langkah Ify terhenti mendadak. “Apa? Kaget gue.”
“Anu... burungnya udah gue kasih nama. Pipi sama Pipo. Lucu, kan?” Dengan sangat gugup tiba-tiba Rio ngomongin parkit di depan semua orang. Dan itu sangat nggak penting.
Ify melongo. “Hah?” Cuma itu yang keluar dari mulutnya.
“I-i-i—iya. Pipi-Pipo. Lucu banget. Ma-ma-ma-kannya rakus. Apa t-tuh nama makanannya?”
“Milet. Mereka emang rakus. Namanya juga burung,” jawab Ify asal.
Sekarang semua mata menatapnya. Aduuuuuuhhhhhhh... dasar Rio bego. Cewek-cewek itu memandang sinis ke arah Ify. Merasa kecolongan. Apa lagi nih kejutan dari Rio? pikir mereka. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba membahas burung.
“Yo, demi keamanan kita berdua, gue ke meja gue dulu. Daahhh...” cepat-cepat Ify kabur dari suasana mencekam yang bikin bulu kuduk berdiri itu.
Shilla yang mendengar semuanya, ikut-ikutan bengong. Dia memandang Rio dan Ify bergantian.
“Heh, sini lo,” tarik Shilla saat Ify melewati bangkunya. Ify terduduk seketika.
“Shilla! Lo tuh, suaranya aja lembut. Narik orang kenceng banget kayak pake tenaga dalem,” omel Ify gemas. Pantatnya sakit didudukkan tiba-tiba di kursi kayu nan keras itu.
“Lo nyembunyiin sesuatu, ya?” Shilla menatap mata Ify sok serius. Meski tetap dengan suara lemah lembutnya.
“Nggak.”
“Nah, tadi? Pipi, Pipo?”
“Gue baru mau cerita. Tapi mulut ember si Rio itu malah berkoar duluan. Liat akibatnya buat gue. Bisa dikutuk gue sama cewek-cewek ajaib itu.”
“Ceritain sekarang dong,” pinta Shilla.
“Nggak bisa lahhhh. Lo nggak liat tuh cewek-cewek pada mau nerkam gue? Pulang sekolah aja. Kita nongkrong di suatu tempat yang nggak ada mata-matanya. Kalo infonya bocor... wahhhh, bisa rugi gue,” Ify berkoar-koar.
Shilla mengangguk setuju. Dalam hati penasaran berat pengen tahu. Burung apa sih yang bikin heboh ini?
Ify bangkit dari duduknya. Ia mengambil gelas air mineral dari dalam tasnya dan buru-buru meneguknya. Dia jadi tegang sendiri. Cewek-cewek itu masih saja berbisik-bisik dan menatapnya iri.
“Udah ah, Shill. Gue balik ke bangku gue. Kasian Alvin. Hopeless. Ntar bunuh diri, lagi.”
Sudah beberapa hari terakhir sejak pertandingan bola, Alvin jadi lesu. Gejalanya sama kayak ayam tetangga kena tetelo. Matanya nanar menatap Rio. Semakin hari semakin nanar. Hobinya sekarang nyanyi lagu-lagu sendu. Apalagi Glenn Fredly. Satu kaset dia hafal. Ify mungkin perlu ke dokter THT kalau sekali lagi Alvin nyanyi satu album non-stop. Kayaknya Alvin ngerasa kalau sekarang namanya sudah nyaris terlupakan oleh cewek-cewek. Yang lebih menyedihkan, Shilla pujaan hatinya pun cuek-cuek aja.
“Hei! Ngelamun melulu! Kesambet setan lewat lho!” Ify menepuk pundak Alvin.
“Semoga hati Shilla sebersih wajahnya yang mulus. Tak tertipu oleh penampilan palsu,” tombol ngaconya langsung menyala.
“Gilingan lo, ya?” Ify mengempas tubuh ke kursi. “Apaan sih, kok nggak jelas gitu?”
“Gue berdoa buat cinta sejati gue.”
“Panas, ya?” canda Ify sambil memegang-megang jidat Alvin.
“Gue yakin, Shilla nggak mungkin tertipu sama penampilan Rio. Ya, kan?”
Ify mengangkat bahu. Rasanya nggak enak kalau harus berbohong terlalu banyak pada Alvin. Kali ini dia memang betul-betul nggak tahu.
“Kira-kira harapan gue berhasil berapa persen?” Alvin masih belum puas.
“Ya tergantung. Lo belajarnya rajin nggak?”
“Ify, lo emang tega sama temen lo yang lagi galau,” rintihnya sok puitis.
“Hahahahaahahah... lo jangan hopeless gitu dong. Harapan lo ada... ada... kira-kira... segede bunga kreditan di bank... hahahahahhaha...” tawa Ify meledak melihat tampang Alvin yang memelas.
“Berapa gede tuh, Fy?”
“Ya, nggak tau... belom pernah kredit di bank sih. Nah, emak lo suka kredit, nggak? Kan ibu-ibu kompleks suka iseng.”
“Itu mah tukang kreditttt!” Alvin histeris sebal.
Ify masih cekikikan. Alvin serius nih.
Sambil mengeluarkan buku-buku pelajarannya, Alvin masih terus sibuk menyanyi lagu sendu. Pas banget jadi ikon orang patah hati. Kayaknya tuh tulussss... banget.
“Vin...” panggil Ify.
“Apa?”
“Diem dong. Ntar lo musti biayain gue ke dokter THT. Mau?”
Bukannya diem, Alvin bernyanyi makin kencang. Mana lagu Glenn nadanya tinggi-tinggi. Suara Alvin makin hancur karena sama sekali nggak bisa mencapai suara tinggi. Ify makin pusing. Masih bagus pengamen jalanan deh. Ini anak sama sekali nggak berbakat di dunia tarik suara, tarik becak mungkin iya.
“Vin... gue masukin lo ke les vokal, ya?” usul Ify mati gaya. Dia benar-benar nggak tahan lagi.
“Boleh deh, Fy. Tapi maunya yang gurunya Glenn atau Rio Febrian, ya?”
PLETAK! Sebatang pensil mengenai jidat Alvin.
“Dasar! Masih untung ada yang mau ngajarin. Gue udah nggak tahan, tau! Suara lo jelek bangettttttt...” Ify menutup kupingnya rapat-rapat.
***
Siang itu macetnya nggak kira-kira. Sudah satu jam Ify dan Shilla maju merayap bersama si Kuning di sekitar Jalan Fatmawati. Niatnya mau ke Citos atau Cilandak Town Square.
“Gila, orang-orang ini pada mau kemana, ya?” keluh Shilla mulai nggak sabar. Mana Ify paling ogah cerita sambil nyetir. Dia kadang-kadang suka sok menegakkan peraturan lalu lintas.
“Pada mau ke Citos juga, kali. Sama kayak kita.”
“Ah, masa sih, Fy? Ada acara, ya.” Kepanasan bikin Shilla jadi bego.
Ify mendelik sebal. “Ya, nggak lah, Shill...”
Tiba-tiba terdengar suara cempreng dari jendela. “Aduh! Sialan... ni si Doel anak Betawi asli... jreng, jreng...”
Pengamen yang satu ini aneh juga. Yang lain sibuk nyanyi lagu Dewa kek, Sheila on 7 kek, Peterpan kek. Itu lho, yang lagunya “kutanya malaaaamm... kutanya siaaaaaangg...” Eh, dia malah nyanyiin lagu si Doel. Ify menoleh ke arah jendela, penasaran sama tampang pengamen nyentrik itu. Tapi... HAH? Tiba-tiba ekspresi Ify berubah kaget.
“Kenapa, Fy? Kenapa? Pengamennya ngeluarin pisau, ya?” Shilla jadi panik. Tangannya langsung merogoh tas, siap-siap mengambil pepper spray.
“Hihihi...” Ify tiba-tiba cekikikan.
“Shill, ini mas bibir jontor yang gue ceritain. Yang di bus itu lho... Ternyata orangnya senorak bibirnya,” bisik Ify seolah takut orang itu tahu. Sementara si mas masih terus berteriak-teriak menyanyikan soundtrack Si Doel Anak Sekolahan.
Ify melirik sekali lagi. Eh, dia senyum dan mengetuk jendela Ify.
Saking penasarannya, Ify membuka jendela sedikit, paling cuma selebar satu jari kelingking. “Bentar, koinnya dicari dulu,” kata Ify lewat ventilasi mini itu.
Tahu-tahu dia mendekatkan bibir jontornya ke lubang jendela. Ify jadi panik. Jangan-jangan bibirnya punya kekuatan mistis. Tangannya siap-siap memencet tombol power window. Kalau berani macam-macam, jepit saja tangan orang itu.
“Eh... Non, Non. Jangan ditutup. Kite kan udah kenal, ye? Waktu di bus, inget kagak?” serunya pada Ify. Shilla kontan cekikikan. Ternyata bukan cuma Ify yang ingat dia, dia juga ingat Ify. Hebat.
“Hah? Iya. Terus kenapa?” cetus Ify judes.
Pede amat ini orang. Pengalaman di bus kan bukannya pengalaman indah. Lagian, siapa juga yang kenal? Cuma se-bus kok dibilang kenal.
“Kagak, Non, maksud Abang... jangan koin doooooong. Pan Abang mau ikutan audisi nih, tau kan idol-idol itu? Liat dong bibir sama suara Abang yang kayak Mick Jagger. Nah... bantuin ongkosnye doooonggg...” rayu si abang norak.
“Ih. Apa hubungannya sama saya?”
“Yeee... Neng begimane. Paling nggak, kalo Abang tenar, Neng jadi orang pertama yang Abang ucapin terima kasih dehhhh... di album perdana juga. Gimane?”
Ify menatap Shilla yang mukanya merah berusaha menahan tawa. Ada juga orang senorak ini di dunia nyata. Tangan Shilla menyelipkan selembar ribuan ke tangan Ify.
“Kasih nihhh... hihihi.. kali aja bener ntar dia tenar. Kita untung juga,” ledek Shilla.
Ify memberikan uang itu lewat celah mini di jendela. “Nih.”
“Gitu dong, Neng... doain Abang di medan lage, ye? Biar Abang kembali selamet,” katanya sambil ngeloyor pergi dan sebelumnya melambai ala penyanyi dangdut yang baru selesai manggung.
Tawa Shilla meledak. Ify yang baru sadar sama kejadian tadi ikutan ngakak.
Empat puluh lima menit kemudian mereka memasuki pelataran parkir Citos. Kaki Ify pegal-pegal kelamaan menginjak pedal kopling.
Mereka kemudian duduk di Starbucks Coffee. Dengan lega Ify melemparkan tubuh ke atas sofa raksasa. “Ahhhhhh... berakhir sudah penderitaan gue.”
“Ayo cepet, info, info...” desak Shilla nggak sabar.
Ify dengan gaya profesor menjelaskan dengan ringkas apa saja yang dia dapat kemarin. Semuanya.
“Wah... serius nih, dia tetangga lo?”
Ify mengangguk semangat. “Yoi. Malahan dia bilang mau main-main ke rumah gue. Tapi belum sih, baru rencana.”
“Asyiiiiiikk... gue boleh dong, ikutan nimbrung?”
“Ya jangan buru-buru nyosor gitu dong, ntar dia kabur. Lo harus ikutin strategi gue, gimana?”
“Strateginya?”
“Biarin dia agak akrab dulu sama gue... nahhhh... baru lo masuk pelan-pelan. Kalo nggak, ntar dia curiga dong? Gawaaattt...” Ify sok serius.
Shilla yang dasarnya kebelet abis cuma bisa iya-iya saja. Pokoknya dia pengen cepat dekat sama Rio. Ify kan profesional, jadi serahkan saja pada ahlinya.
Bibir Ify monyong menyeruput ice chocolate-nya.
“Fy, kok si Alvin nggak diajak? Biasanya kemana pun lo pergi dia ngikut.”
“Kok lo nanya-nanya Alvin? Lo suka, ya, Shill?”
Shilla menatap heran ke arah Ify. “Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Setiap kali gue ngomongin Alvin pasti dituduh naksir. Jangan-jangan lo suka sama Alvin? Gue nggak naksir kok sama dia, kalo lo serius, gue setuju banget kalian jadian.”
“Lho kok jadi lo yang bilang gitu ke gue?” sergah Ify sebal.
“Makanya, jangan aneh-aneh. Jadi, Alvin kemana?”
Ify angkat bahu. “Tau ya, mungkin lagi..”
“Hayo ngaku, lagi apa?”
“Lagi latihan nyanyi. Pengen ikutan idol juga. Paling ntar temenan sama si jontor tadi.”
Shilla percaya aja.
“Fy, ni kalo boleh ya, mau dong gue udah bisa dateng sama Rio di bazar sekolah akhir bulan depaaannn... bisa nggak?”
“Wah! Liat aja ntar, pokoknya gue usahain deh. Sebagai mak comblang profesional, gue usahain dehhh... sueeeeerr!” Ify mengacungkan dua jarinya.
Ify benar-benar nggak habis pikir. Apa yang bikin Shilla jadi kebelet banget sama Rio? Cewek-cewek itu juga. Masa cuma gara-gara waktu pertandingan sepak bola itu sih? Di sekolah Rio sama sekali nggak berubah. Kacamatanya, canggungnya sama cewek. Tapi mereka-mereka ini malah menganggap itu salah satu kelebihan Rio. Misterius. Coba, bela-belain banget, kan? Gabriel dan Ray langsung turun pamor. Tapi mereka tampak asyik-asyik saja membantu Rio. dengan harapan kali aja ada yang kepincut sama mereka.
Tadi siang Dea malah bawa oleh-oleh buat Rio. katanya hadiah kemenangan. Kue cokelat buatan sendiri. Bentuknya sih lumayan, tapi muka Ray dan Gabriel, juga beberapa anak cowok yang ikut mencicipi langsung pucat.
“Kuenya nggak digulain, kali. Hueeeeekk...” kata Obiet waktu itu sambil berlari ke kantin cari minum. Yang lain juga sama.
Tapi Rio? Dengan segala keramah-tamahan dan sifat terlalu baik hatinya tampak berusaha keras menghabiskan kue bagiannya. Wajahnya sudah pucat seperti mau muntah. Tapi dia tampak nggak tega kalau Dea kecewa. Rio memang baik sih. Mungkin itu juga ya, kelebihannya?
“Kok ngelamun, Fy?”
“Nggak, cuma lagi mikirin strategi selanjutnya.”
Ponsel Ify berbunyi. Ada SMS yang masuk.
Hi there! Rio nih, lg dmn? Gw k rmh lo ya? Mau diskusi parkit. Hihihi. Bsn nih nggak ada kerjaan. —Rio—
Ify mengerutkan kening. Diliriknya jam dinding raksasa yang tergantung di situ.
“Kenapa? Siapa, Fy?” berondong Shilla.
“Rio.”
“Haaaaahhhhh??? Yang bener, lo? Liat, liat!”
“Tau nomor HP gue dari mana, lagi? Pasti Nyokap,” gerutu Ify. Mama kadang-kadang suka asal memberi nomor HP Ify ke orang-orang. Apalagi kalau Mama kenal sama orangtuanya.
“Ihhhh... bagus dong, Fy. Bales, bales, bilang ‘iya’. Kan buat langkah selanjutnya. Gue pulang naik taksi deehhhhhhh... biar lo cepet sampe rumah,” cerocos Shilla berapi-api. Gila, ngebet banget nggak sih?
“Iya, iya. Sabaran dikit dong, Shill. Kayak mau nangkep maling aja,” ledeknya.
Yo, gw msh di jln. 1 jam lg. Gmn? Lo dtg aja dlu. Cakka ada di rmh. C u there.
—Ify—
Mereka berdua menghabiskan pesanan mereka dan bergegas pergi. Shilla yang pengin cepat-cepat tahu perkembangannya lewat telepon juga buru-buru pulang. Semakin cepat Ify pulang, semakin cepat ada info.
“Jangan lupa ya, laporan lengkaaaaaappp,” sempat-sempatnya Shilla menjerit kecil dari jendela taksi.
***
Di teras rumah, Cakka dan Rio asyik merakit Gundam. Rio terlihat serius menyusun bagian-bagian kecil robot mini itu.
“Tuhhhh... si pelit pulang,” kata Cakka sambil manyun.
“Apa lo? Dasar selera rendah,” balas Ify.
“Hai, Fy,” sapa Rio. Poninya menjuntai di atas kacamatanya. Mungkin kalau merakit Gundam juga harus pakai kacamata, ya?
“Udah lama?” tanya Ify sambil duduk. “Udah dikasih minum belum sama spesies orang utan ini?” tanyanya lagi.
Rio nyengir. “Baru setengah jam kok.”
“Gue udah kasih dia minum, makan, dessert, permen,” jawab Cakka kesal.
Mama keluar membawa baki minuman.
“Fy, kamu ganti baju dulu gih. Nanti Rio nggak naksir kamu, bau gitu,” ujar mama asal banget. Ify langsung melotot.
“Mama! Apaan sih? Aku tuh ya, mau bau, mau belum mandi, tetep jadi rebutan,” sahut Ify malu sambil ngeloyor pergi. Ada-ada aja deh mama. Rio bisa ge-er. Kan gawat.
Ditariknya celana jins selutut dan tank top singlet warna putih dari lemari. Ganti baju, mencuci muka, dan bergegas lari ke bawah. Sebelum Rio dicekoki yang nggak-nggak sama Mama dan Cakka.
“Yo, diskusi parkit apaan?”
“Iya nih, gue pengen parkit gue jadi banyak kayak punya lo.”
“Ooooo... ya bikinin rumah-rumahan lah, buat bertelur.”
“Gue mau liat dong rumah-rumahannya.” Rio berdiri mengajak Ify ke belakang melihat kandang parkit raksasa cewek itu.
“Kka, gue ke belakang dulu, ya?” pamitnya pada Cakka.
“Awas lo, ntar dikurung di dalem kandang sama nenek sihir cepak itu. Hiiii... dijadiin salah satu koleksinya.”
Ify melotot. Dasar kurang ajar.
“Emang lo punya kandang, Yo?”
“Ya ntar bikin. Tapi kan gue perlu contoh, Fy.”
Ify menunjuk salah satu dari lima rumah-rumahan kecil dengan lubang bulat yang menggantung. Diambilnya satu dan diserahkannya pada Rio.
“Nih, bawa pulang aja.”
“Bener nih? Kok lo baik banget?” Rio berbinar-binar.
“Yeeeee... soalnya gue nggak tega parkit gue disana jadi nggak punya rumah. Pasti mereka bakal demo ke gue minta pulang,” ujar Ify tersipu-sipu. Dimasukkannya rumah kecil itu ke kantong plastik hitam.
“Di rumah lo nggak ada pembantu, Fy?”
“Lagi pulang, anaknya mau kawin minggu depan.”
“Eh, Fy... kita jalan yuk?” kata Rio tiba-tiba.
“Hah?”
“Iyaaa... ini kan malem Minggu. Kita kan pada jomblo, jalan-jalan aja, menikmati kejombloan. Mau, nggak?” tawar Rio semangat.
Ify berpikir sesaat. Boleh juga sih, jarang-jarang bisa malam mingguan sama cowok. Kecuali Alvin. Tapi dia sih nggak keitung. Habisnya Alvin pelit banget, kalau jalan bareng disuruh bayar sendiri-sendiri. Lagian nggak ada ruginya, malah bisa memperlancar misi.
“Oke deh. Kemana?”
“Ya liat ntar aja. Ikuti kata hati. Pokoknya tempat yang asyik-asyik deh, jauh dari romantis, gimana?”
“Boleeeeeeeehhh... siapa takut?”
“Ya udah, gue balik dulu ambil mobil. Lo mandi,” kata Rio.
“Lha, tadi kesini naik apa?”
“Becak.”
Ify cekikikan. Dasar ajaib.
Rio pergi setelah berpamitan pada mama dan Cakka. Dia juga sudah minta izin pada mama akan mengajak Ify jalan-jalan. Mama kontan setuju. Mata mama kentara banget supersenang, walaupun berusaha pura-pura biasa aja. Mama pasti kegirangan akhirnya ada juga cowok yang mengajak Ify malam mingguan, biarpun untuk “menikmati kejombloan” seperti kata Rio.
“Ify, cepet mandi sana. Nanti Rio keburu datang, kan nggak enak kalo dia sampe nunggu,” suruh mama setelah Rio pergi.
Ify cemberut. Kok jadi Mama yang sibuk? Tapi tak urung dia pergi juga ke kamar mandi. Benar juga kalau Rio sempat nunggu bisa gawat. Nanti mama nemenin sambil ngegosip yang nggak-nggak. Hiiiii... mandi ah. Ify membuka shower air hangat. Rambut pendeknya sudah dua hari nggak sempat dicuci, hehe, kan malu kalau Rio tahu. Bibirnya menyiulkan lagu ciptaan sendiri yang sama sekali nggak jelas nadanya apa, dan pasti mengundang protes Cakka yang nggak tahan sama siulan Ify.
“Kenapa sihhhhhh? Rese banget lo, Kka! Tumbuhkan dong jiwa seni lo...” jerit Ify, membalas Cakka yang berteriak-teriak memintanya berhenti bersiul.
“HAH??? Jiwa seni apaan? Kalo denger siulan lo... yang tumbuh bukan jiwa seni, tapi sakit jiwa!!!” gerutu Cakka.
Pintu kamar mandi terbuka. Ify melangkah keluar dengan rambut dibalut handuk. Dia berlari kecil menuju kamarnya. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 18.00. Rio kayaknya tadi nggak bilang deh, mau jemput jam berapa. Ify bergegas ganti baju, takut Rio nongol tiba-tiba dia belum siap.
“Pake baju apa ya?” gumamnya. Ify nggak mau dandan terlalu rapi, mereka kan bukannya mau nge-date. Jalan-jalan menikmati kejombloan nggak bisa dibilang nge-date dong? Tangannya mengobrak-abrik isi lemari karena nggak mau saltum. Bisa berakibat fatal.
Akhirnya ia memilih kemeja stretch bergaya army dan blue jins pas badan dengan lipatan di bawahnya dan agak ngatung. Pakai sandal atau sepatu, ya? Dan pilihan pun jatuh pada sandal tali-tali warna hitam. Sip. Dandanan kayak gini nggak mungkin bikin cowok ge-er. Sentuhan terakhir, gel untuk membuat rambut mencuat.
Tepat pukul 19.00 Rio nongol dengan mobil raksasanya. Ify sedang asyik mengunyah sebatang cokelat di depan TV ketika Rio datang. Dengan gaya supersimpatik cowok itu bertegur sapa dengan mama dan Cakka yang ia temui di teras. Cakka berhasil membujuk Ify untuk meminjaminya si Kuning, karena malam ini Ify dijemput Rio. Setelah segala bujuk rayu dan seribu satu syarat, akhirnya Ify rela meminjamkan si Kuning. Yang jelas bukan demi pacarnya Cakka yang menyebalkan itu, tapi buat Cakka adik semata wayangnya yang nyaris menghabiskan hari ini dengan rayuan gombal supaya dapat pinjaman mobil.
“Kayaknya gue kelamaan ya, Fy? Lo udah kelaperan, ya?” suara Rio membuat Ify terlonjak dan dengan refleks yang sangat nggak penting Ify menelan bulat-bulat sisa cokelatnya.
“Eghhh... glek. Nggak, nggak... gue cuma ngemil. Bentar, bentar, gue minum dulu...” Ify berlari ke dapur dengan tampang aneh. Cokelat sialan itu nyangkut di tenggorokan, membuat muka Ify jadi kayak orang gantung diri. Dalam hati Ify mengumpat Rio yang datang tiba-tiba.
Rio mengikuti langkah Ify ke dapur. “Ya udah, acara pertama makan deh. Nanti lo pingsan lagi.” Rio tersenyum geli melihat ekspresi Ify yang berusaha menelan cokelatnya.
Ify melotot ke arah Rio. Cowok itu terlihat keren tapi santai. T-shirt berwarna hijau tentara dengan sablon bergambar Jeep dan celana jins belelnya bikin dia kelihatan machooooooo...
“Ready to go?” tanya Rio.
“Ya ready laaahhhhh...”
***
Namanya juga malam Minggu. Macet dimana-mana, alhasil Rio dan Ify juga terjebak macet. Padahal baru juga lima belas menit keluar dari kompleks.
“Kayak gini kapan nyampenya? Yo, benernya kita mau kemana sih? Duhhhh, gue kok jadi laper beneran ya?” rengek Ify malu-maluin. Tapi berhubung bukan kencan, nggak perlu jaim dong.
Rio nyengir. Ini anak memang cuek. Tadi katanya nggak lapar, sekarang paniknya sepanik orang kebelet pipis.
“Kita mau jalan-jalan aja... gue juga belum tau sih. Gimana ntar aja, kalo udah sampe daerah Kota,” jawab Rio.
Ify meringis. “Bisa makan dulu, nggak? Gue yang bayar dehhhhhh... kalo nunggu sampe daerah Kota gue bisa collaps. Nanti lo dimarahin nyokap gue, terus kita nggak bisa main lagi.”
Rayuan Ify yang asal membuat Rio ketawa ngakak. Dia benar-benar geli ada cewek kelewat cuek begini, sementara semua cewek yang selalu berkerumun di kelasnya jaim abis. Boro-boro minta diajak makan. Ditawari permen sebutir aja, mendadak sesama rival jadi kompak, menjawab dengan kata “diet”.
“Yo, bukan waktunya ngakak deh.”
“HAHAHAHA...” tawa Rio tambah keras melihat tampang Ify yang keki.
“RIO!!!!!!!”
“Iya, iya. Tuh, tuh, ada warung tenda. Di situ aja, ya?” Rio menepikan mobilnya di depan warung pecel lele yang ada di dekat situ. Ify langsung sumringah. Gila, kenapa keroncongan pas saat-saat begini sih? Bikin malu aja.
“Bang, pecel lelenya dua. Nggak pake lama,” pesan Ify.
Si abang mencemplungkan dua lele ke penggorengan superbesar. Saking apinya juga besar, matangnya cepat banget.
“Minum apa?” tanya abang itu sambil meletakkan dua porsi pecel lele di depan Ify dan Rio.
“Es jeruk, Bang.”
“Nggak ada, Non.”
“Jus alpukat?”
“Apalagi itu, Non... emang nggak jual.”
“Es teh manis deh,” putus Ify kesal.
“Wah, Neng, gula sama esnya lagi habis,” jawab si abang ngeselin.
“Bang, jadi adanya apaan?” Ify bingung campur sebal.
“Teh pahit sama air putih.”
“Yeeeeeee... cuma ada itu kenapa nawarin mesen mau minum apa?” sungut Ify.
“Biar gaya aja,” jawab si abang cuek.
“Ya udah, air putih aja,” ujar Ify.
“Saya juga sama,” sahut Rio.
Si abang pergi mencomot dua gelas dan mengisinya dengan air putih hangat. Lagi-lagi Rio ngakak geli. Matanya sampai berair saking semangatnya tertawa.
Ify baru sadar kalau dari tadi Rio gampang banget tertawa, senyum, meledek, jail. Padahal di sekolah, omong aja susaaaaaaah banget.
“Eh, Rio jangan ketawa melulu, ya. Lagian dari tadi lo gampang banget ketawa. Udah gitu ternyata lo jail juga, ya? Gimana sih? Gue curiga, jangan-jangan lo mengidap split personality lagi. Masa di sekolah beda banget sih?!” semprot Ify.
Rio berusaha menghentikan tawa. Ia menyeruput air putihnya.
“Ify, ada satu hal yang gue nggak ngerti juga. Baru kali ini gue bisa berakrab ria sama cewek sampe selepas ini. Gue punya kelemahan sama cewek. Gue paling nggak bisa dirayu-rayu, dimanja-manjain... pokoknya yang gitu-gitu deh. Gue langsung gugup, nervous. Gue kayaknya punya masalah sama kepercayaan diri gue, selalu nggak pede. Sebenernya dulu sama cowok juga, tapi lama-kelamaan gue bisa juga gampang akrab sama cowok. Karena obrolan gue nyambung,” jelas Rio panjang-lebar. Ia menarik napas panjang, siap-siap melanjutkan ceritanya.
Ify menatap Rio sambil mendengarkan dengan serius. Ify itu bisa sangat serius pada saat-saat dibutuhkan.
“Terus, seumur hidup gue, baru sekali gue punya cewek. Itu pun hasil dijodohin temen gue.”
Ify terkesiap. “Sekarang masih?”
Rio menggeleng. “Nggak. Orang cuma bertahan satu bulan. Dia emang cantik, anggun, dan lain-lain deh. Tapi gue nggak nyambung. Dia juga nggak pernah bisa memulai obrolan yang nyambung. Abis sebulan itu buat diem-dieman. Ih, nggak enak banget. Apalagi kalo udah gitu penyakit nervous gue kambuh. Terus gue kapok deh. Nah, sama lo beda. Gue bisa ngobrol nyambung... eh ehm... dalam artian bukannya.... bukannya—” tiba-tiba Rio kumat.
“Iya, gue ngerti. Gue juga nggak ge-eran kok,” sambar Ify cepat.
Rio tampak lega. “Ya gitu deh, maksud gue kayaknya gue akrab sama lo, asyik banget. Biarpun baru sebentar, tapi gue ngerasa banget punya temen,” lanjut Rio.
Ify mengangkat bahu. “Nyantai aja lagi, Yo. Gue emang terkenal asyik kok. Hehehe...” katanya sambil cengengesan.
“Fiuuuuuh... bagus deh,” kata Rio lega sambil beranjak dan merogoh uang dari kantongnya untuk membayar pecel lele.
“Nih, Bang.”
Abang nyentrik tadi menerima uang Rio. dengan gaya sok pelayan restoran berkelas, dia membungkukkan badan. “Terima kasih, kembali lagi ya...” katanya norak.
“Iya, nanti kalo Abang udah bisa bikin es jeruk,” sahut Ify, masih keki sama insiden minuman tadi.
Rio menghidupkan mesin mobilnya. Arus lalu lintas tampak mulai merayap. Lumayan daripada tadi. “Fy, seru-seruan yuk?”
“Ngapain? Ngerampok bank? Seru tuh... lagi bokek nih. Hehehe...”
“Seru-seruan.... naik Busway yuk?” usul Rio.
“Kemana?”
“Muter-muter aja, nggak usah turun. Lumayan kan jalan-jalan di Jakarta di malam hari tanpa macet.”
“Mobilnya?”
“Parkir aja di Ratu Plaza. Yuk?” ajak Rio semangat.
Ify menimbang-nimbang. Sebenarnya memang hal-hal seperti inilah yang pengen banget dia lakukan bareng teman-temannya. Naik Busway, naik KRL sampe Bogor, ke Taman Mini. Pokoknya hal-hal yang fun dan nggak biasa. Shilla sama Alvin? Mana mau mereka panas-panasan. Ify jadi ikut antusias dengan usul Rio.
“Yuk!”
Rio membelokkan mobilnya ke arah pelataran Ratu Plaza. Dikuncinya setir mobil biar aman.
“Yo, kita titip satpam aja. Biar lebih tenang di jalan. Gimana?”
“Emang bisa?”
“Bisaaaaaa...” jawab Ify sambil menghampiri seorang satpam berkumis tebal yang sedang duduk-duduk di posnya.
“Permisi, Pak,” sapa Ify. Bapak tadi mendongak. “Begini Pak, teman saya ini baru datang dari Amerika, tau kan, Pak, Amerika? Nah, dia ini pengen banget ngerasain naik Busway. Bule kan juga ada yang udiknya. Isn’t it right, Mario my friend?” kata Ify sambil mengedipkan sebelah mata pada Rio, untung dia cepat tanggap dan langsung pura-pura nggak bisa ngomong bahasa Indonesia.
“Oh yes, sir. Can you help us?”
Si Bapak bengong nggak ngerti. “Apa, Non?”
“Iya, Pak, jadi kita mau titip mobil disini. Tolong jagain ya, Pak? Saya mau nganter dia berpariwisata keliling Jakarta. Bapak juga ikut membantu lho....” Ify menyelipkan selembar sepuluh ribuan ke tangan satpam itu.
“Wah! Siap, Non.... saya bangga ikut memajukan pariwisata Indonesia. Puas-puasin aja, Non, kendaraannya akan saya awasi dengan tekad membangun bangsa dan meningkatkan keamanan.” Pak satpam menjawab semangat sampai-sampai kumisnya bergetar. Mungkin dia terharu ikut membantu turis mancanegara. Hehehe.
“Makasih ya, Pak,” jawab Rio refleks.
“Lho, Non? Itu barusan bisa bilang makasih?”
Ify menginjak kaki Rio. “Eh... itu doang bisanya. Baru belajar tadi. Ya, kan?” tatap Ify sambil memberi kode pada Rio.
“Oh... makasih ya, Pak,” ulang Rio sok bego.
“Tuh kan, cuma bisa itu doang. Itu juga dapet ngafalin tadi, Pak, khusus buat Bapak.” Ify harap-harap cemas. Tapi ternyata satpam yang satu ini memang rada tulalit. Dia jadi semakin bangga karena berpikir “si bule” benar-benar berusaha belajar satu baris kalimat bahasa Indonesia cuma demi dia.
“Wahhhh... tengkyu peri mach. Bapak terharu, Non. Bapak bangga melihat kegigihan Non yang juga semangat memajukan pariwisata kita. Non memang anak muda yang bertanggung jawab,” pujinya berlebihan.
Ify meringis. Rio cuma bisa menahan tawa dan berusaha memasang ekspresi lempeng pura-pura ngerti.
“Oke, Pak, kita cabut dulu, ya. Daaaahhh..” Sebelum Ify terharu dan ikutan meneteskan air mata, mereka buru-buru pamitan. Dengan gagahnya satpam tadi melambaikan tangan seolah-olah Ify mau berlaga di medan perang.
Ponsel Ify berbunyi.
“Halo?”
“Ify, gue nih. Shilla,” kata suara di ujung sana.
Ify buru-buru memberi isyarat pada Rio untuk menunggu. Dia bergegas lari ke dekat tiang listrik agak jauh dari Rio.
“Kenapa, Shill?”
“Lo dimana? Susulin kita gih, kita lagi di PS nih. Mau nonton...”
“Nggak bisa. Gue lagi jalan.”
“Lho? Sama siapa, Fy? Kok nggak ngajak gue sama Alvin?” rajuk Shilla.
“Sama Rio.”
“APAAAAAAAAAA??!” jerit Shilla melengking. Kuping Ify langsung berdenging-denging.
“Hus! Jangan kenceng-kenceng. Dia ngajakin gue jalan. Katanya menikmati kejombloan, ya gue mau aja. Lagian kan ini ada untungnya untuk misi lho. Ya nggak?”
Shilla terdiam sesaat. “Nggg... iya sih. EITS! Tapi lo nggak lagi PDKT juga, kan? Hayo!”
“Ih! Kok jadi curigation gitu sama gue. Udah doong... ntar gue telepon lagi deh. Si Rio ngeliatin gue melulu nih... ntar dia curiga.”
Rio menatap Ify dengan pandangan sedikit menyelidik. Ify jadi makin nggak enak. Jangan-jangan obrolan mereka terdengar. Atau jangan-jangan dia dengar Shilla jerit-jerit. Ify melambai pada Rio sambil memberi kode “sebentar lagi”.
“Eh, Ify, Ify, bentar. Pertanyaan terakhir,” serbu Shilla sebelum Ify memutuskan hubungan telepon mereka. “Lo berdua pada mau kemana? Dinner ya?” cecarnya, masih curiga.
“Keliling kota naik Busway!”
“HAH?”
“Daaaaaahhhhh...”
KLIK.
“Sorry ya...” dengan tampang se-innocent mungkin Ify nyengir minta maaf. Tapi Rio santai-santai aja tuh, dia sama sekali nggak terlihat kesal.
“Kecengan?”
Dengan gerakan supercepat Ify menggeleng-geleng kencang saking paniknya. “Nggak. Bukan, bukan...” jawabnya grogi.
“Abis kayaknya panik banget, langsung melesat gitu. Pake acara sembunyi, lagi,” selidik Rio jail. Niat jailnya makin besar karena wajah panik Ify yang langsung merah padam. Bingung mau jawab apa. “Ya, ya, gue nggak nanya lagi dehhhh. Ntar busnya lewat. Sia-sia kan penyamaran kita tadi.”
“Rese. Tadi Shilla, tau!” jawab Ify manyun.
Rio mengerutkan dahi dan berpikir. “Shilla... Shilla... Oooo, gue tau. Temen lo yang feminin berat itu?” cerocos Rio.
Ify menarik napas diam-diam, Shilla memang beruntung banget. Semua cowok tahu dia. Rio yang katanya grogian dan nggak gampang akrab ini saja bisa ingat dia. Ada sedikit perasaan iri berdesir dalam diri Ify. Cepat-cepat dia mengembalikan mood-nya.
“Gimana sih? Kan temen sekelas juga, masa pake ngira-ngira gitu. Emang lo belum kenal?” ucap Ify sok ceria.
“Kayaknya temen cewek sekelas yang gue tau, maksudnya gue kenal, cuma lo sama yang di bangku sekitar gue deh. Itu juga kenal gitu-gitu aja. Trus yang lain-lain itu kan fans gue, jadi mereka yang memperkenalkan diri, gue mana inget sih... hehehe...”
“Idihhhhhhhh... ge-er banget.” Ify menepuk punggung Rio. Kok jadi bisa bercanda begini sih?
“Iyaaaa... aduh, aduh... tuh, tuh busnya, tuhhh. Yuk, yuk.” Mereka melompat masuk ke bus jingga bertuliskan TransJakarta.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar