TUJUH
***
“YANG bener kamu?” tanya mama nggak percaya.
“Sueeeeeeerrr...” Ify mengacungkan dua jarinya.
“Siapa sih cowok itu? Kok Shilla sampe butuh bantuan segala? Keren banget, Fy? Mama pernah liat, nggak?” Mama penasaran berat.
Ify melahap pisang kejunya. “Mmmmammaa khayaknyha bhelum phernah lhiat dheehh... nyam... nyam...” jawabnya dengan mulut penuh. “Dia tuh anak baru. Dulu pemalu, tau-tau jadi keren. Kayak Superman gitu, Ma... dari Clark Kent jadi Superman. Berubaaaahhh!” cerita Ify berapi-api.
Mama cekikikan melihat gaya anaknya yang penuh semangat.
“Fy... emang jadi bisa terbang?” kata mama rese.
“MAMA... bukaaaann. Jadi bisa main bola. Ah, yang itu nggak usah dibahas deh.”
“Trus trus?” Mama masih penasaran.
“Ya gitu. Orderan lain aku tolak. Sama Shilla aku diancem siihhh... huh.”
“Kok kamu nggak naksir?”
“Maaaaa... duh. Makasih banget kalo aku musti ikut rebutan kayak di pasar gitu. Si Agni aja ikutan.”
“Agni centil itu?”
Ify mengangguk. Tuh kan, Mama aja takjub.
“Ma, omong-omong ni pisang keju banyak gini, ditata-tata, lagi. Buat apa sih? Buat aku sendirian?” Ify menatap bingung berbagai macam makanan yang tertata di ruang tengah.
“Ya bukanlah. Lagian masa kamu segembul itu? Wah, bisa bangkrut Mama.”
“Kalo gitu kenapa dong?”
“Emang Mama belum cerita?”
Ify menggeleng sambil merebahkan kepala dengan manja di pangkuan Mama.
“Temen Mama kan ada yang baru dateng dari Amerika. Sekarang tinggal di kompleks sini.”
“Oh, ya? Bule, Ma?” Ify langsung semangat.
“Bukan sih. Tapi adiknya menikah sama bule, jadi waktu itu dia kerja di perusahaan iparnya itu.” Mama mengusap rambut Ify. “Emang kamu pengen dapet bule?” goda mama.
Ify memanyunkan bibir.
“Omong-omong, siapa nama cowok itu, Fy?”
“Rio.”
“Lucu amat namanya. Pasti manggilnya ‘Yo’...” Mama aja sampe tau panggilan Ify buat Rio.
Ify melahap potongan terakhir pisang kejunya. “Cakka mana sih, Ma?”
“Mama suruh jaga di depan. Temen Mama kan belum tau jalan.”
Ify beranjak dari sofa.
TING TONG!
“Nah, itu pasti dia.”
Mama menarik tangan Ify ke depan pintu. Cakka datang dari halaman bersama seorang wanita cantik seusia Mama. Dandanannya modern sekali. Ify sampai terkagum-kagum dan langsung bercita-cita bakal tetap gaya walaupun sudah tua nanti.
“Bianca, apa kabar?” wanita itu memeluk Mama.
“Baik. Sudah lama ya? Kamu sendiri gimana, Tria?” balas mama.
Tante Tria. Itu toh namanya. Cantik banget. Tinggi, lagi.
“Kamu udah kenal Cakka, kan? Nah, ini kakaknya Ify. Kelas dua SMA.”
Ify menjawab tangan Tante Tria. “Ify, Tante,” ucap Ify manis.
“Sekolah dimana?”
“Tri Persada, Tan.”
“Wah, anak Tante juga. Sekelas nggak, ya? Dia juga kelas dua. Tuh, dia lagi ambil oleh-oleh di mobil.” Tante Tria terlihat senang karena Ify dan anaknya satu sekolah.
Perasaan Ify jadi aneh. Anak baru, dari Amrik, jangan-jangan...
Ify menatap cowok yang berjalan ke arah mereka sambil menenteng kantong oleh-oleh.
“Rio?” Muka Ify langsung jadi bloon.
“Ify?” Rio nggak kalah bloon.
“Kalian udah kenal?” Tante Tria tambah senang.
Rio? Mama langsung tersenyum geli. Topik gosipnya nongol di depan pintu. Ify jadi salah tingkah. Rio selalu penuh kejutan.
“Ify, ajak Rio ke belakang deh, liat-liat taman,” usul mama aneh.
Liat-liat taman? Sejak kapan ada tradisi ngajak tamu liat-liat taman di rumah ini?
“Yo, rumah lo deket gue?” cetus Ify, bingung harus ngomong apa.
Rio mengangguk. “Iya.”
“Kok lo nggak pernah bilang sih? Kaget gue, tiba-tiba lo nongol di rumah gue,” sahutnya jujur.
Rio nyengir kuda. Memangnya Ify pikir dia nggak kaget, apa? “Sebenernya gue pengen kenalan sama tetangga dari kemaren-kemaren. Tapi kata Nyokap barengan aja, lagian dia kan paling hobi bawa oleh-oleh. Belakangan dia bilang punya temen tinggal di sini,” jelas Rio panjang-lebar. “Lagian kalo tau lo tinggal disini, gue udah punya temen main. Adik lo cowok, lagi, fun kan, kalo gue punya temen sekompleks,” sesalnya.
Ify memandang Rio heran. Dia kelihatan tidak secanggung di sekolah. Tanpa seragam, lagi-lagi dia terlihat keren. Hari ini dia tidak memakai kacamatanya. Ups, Ify jadi teringat Shilla. Ini dia nih bintang jatuh. Rio anak kenalan Mama, mau main ke rumah karena ada Cakka. Tetangga lagi. Ify bisa lebih cepat ngejalanin misinya. Sippp...
“Yo, kacamata lo mana? Trus, lo kok bisa main bola nggak pake kacamata? Kacamata gaya, ya?”
“Enak aja. Ini kacamata minus. Tapi karena minusnya masih kecil, kalo nggak baca tulisan di papan tulis, gue masih bisa liat.”
“Ooooooooo...” Ify ber-O ria.
“Trus, ngapain dipake melulu?”
Rio nyengir. “Ya, males aja pake-lepas-pake. Bisa lecet idung gue,” candanya.
“Bercanda ya? Hehehehe...”
Rio jadi salah tingkah. Ify emang lucu banget, rambut cepak rancung-rancung, kulit item manis, gigi rapi. Cuma bawelnya, aduh, nggak tahaaaaaaaaaaannn...
“Liat apa, Yo?” rupanya Ify sadar lagi diliatin.
“Nggak... lo lucu juga, ya,” jawabnya polos.
Pipi Ify seketika memerah. Dasar asal.
Mereka duduk di kursi taman, di depan kandang burung raksasa milik Ify. Isinya parkit semua, dari warna putih sampai biru keunguan ada. Jumlahnya ada, kali, seratus.
“Banyak amat burung lo, Fy.” Takjub juga Rio melihat parkit berisik sebanyak itu.
“Lo perhatiin deh, Yo, parkit tu lucuuuuuu... banget. Pipinya tembem, ada buletan itemnya. Gemeeesss... pengen nyubit.” Kalau ngomongin parkit, Ify bisa lepas kontrol. Tapi dia memang pecinta binatang.
“Iya, ya, lucu. Gue minta dong sepasang. Gue suka banget binatang.” Rio menatap lekat-lekat burung-burung kecil itu. Memang lucu.
Ify bingung. Cuek amat minta koleksi parkit kesayangannya? Beda banget sama Rio yang di sekolah.
“Em... emmm... lo mau minta sepasang?”
Rio mengangguk sambil terus menatap parkit-parkit kecil yang berseliweran di dalam kandang. Tampaknya Rio benar-benar serius sayang binatang. Mungkin nggak ada salahnya juga sih Ify kasih dia sepasang.
“Boleh deh, tapi gue yang pilihin warnanya. Nggak boleh milih sendiri,” putusnya.
Rio tersenyum girang. Ify lucu banget. Dia sayang, tapi masih juga mau memberinya sepasang.
Lima menit kemudian Ify sudah berkutat di dalam kandang burung, berjuang menangkap sepasang burung untuk Rio.
***
“Jadi, cowok itu Rio anaknya Tante Tria?”
“Ternyata, Ma...” jawab Ify, masih shock. “Dan Ify udah ngasih parkit Ify sepasang. Hiks, hiks,” isaknya lucu.
Cakka menepuk bahu Ify. “Berlebihan deh. Mama malah seneng, tau. Lo kan udah dioleh-olehin jaket Mango, jadi balesannya parkit lo itu. Ya nggak, Ma?” celetuknya asal.
“Enak aja, parkit gue nggak ternilai harganya tau!”
“Tapi Mama suka sama anaknya Tante Tria. Anaknya sopan. Ganteng, lagi,” puji Mama sambil mengedip penuh arti ke arah Ify.
Ify mengangkat cangkir bekas minum tamu mereka dari atas meja lalu mendelik ke arah Mama. “Maksud Mama? Kok Mama ngedipin Ify segala?”
“Masa nggak ngerti? Atau lo pura-pura nggak ngerti? Maksud Mama, boleh juga tuh jadi calon menantu...” sambar Cakka yakin.
Sebuah serbet langsung melayang ke arah Cakka. “Jangan ikut campur deh, bawel. Mau nggak gue pinjemin mobil lagi lo?”
“Emang gitu artinya kok. Iya kan, Ma?” balas Cakka cengengesan sambil melempar balik serbet yang sempat nemplok di jidatnya.
“Rese ah!” tangan mungil Ify menepis serbet yang hampir mendarat di mukanya.
“Udah, udah, kok malah ribut sih?” lerai mama. “Tapi Cakka bener lho, Fy. Rio tipe cowok idaman mertua kok.”
“Mamaaaaaaa...”
***
Suara Britney Spears dengan Toxic-nya mengentak-entak di kamar Ify. Anak itu berjingkrak-jingkrak di depan kaca. Maksudnya mau meniru dance Britney, tapi hasilnya lebih mirip Wau-wau. Itu lho, sejenis orang utan.
“Baby can’t you see... I’m calling.... yeaaaahhh...” jeritnya menggila.
Bobsey, anjing old english peliharaan Ify, melolong panik minta ampun. Soalnya kandangnya tepat di bawah kamar Ify.
KRIIIIIIIIIIINGGG...
Ify mengecilkan volume CD player-nya, lalu menyambar gagang telepon paralel dari atas meja komputer.
“Ganggu aja... Halo?”
“Ify?” terdengar suara cewek yang sedikit asing.
“Iya. Siapa nih?”
“Gue... mm... gue Oliv,” jawab suara di seberang sana.
Ify membulatkan mata. “Oliv?”
“Iya, gue anak IPA 2.”
Arah pembicaraan yang seperti ini sudah tidak mengherankan buat Ify. Kalau ada orang tak dikenal menelepon dia, tujuannya sangat gampang ditebak.
“Perlu bantuan gue?” tembak Ify langsung.
Suara tersedak terdengar dari seberang sana. Kaget juga ditembak langsung gitu.
“Kok lo tau?” Biarpun kaget Oliv tetap ngotot penasaran.
“Hehehe... gue kan profesional. Lo nggak salah deh minta bantuan sama tangan ahli kayak gue. Ibaratnya, saking profesionalnya gue bisa lho nyomblangin tikus got sama tikus mondok.” Benar-benar kalimat iklan yang sama sekali nggak menarik. Masa orang disamain sama tikus mondok.
Mau nggak mau Oliv terkikik geli. Mak comblangnya lucu juga. Biasanya kan profesi yang berbau emak-emak (dukun maksudnya) nyeremin. Tapi yang satu ini memang lain.
“Jadi?”
“Emmm... sebenernya, Fy, yang gue taksir anak kelas lo,” lanjut Oliv ragu-ragu.
Seketika perut Ify mulas. Ini sih sudah pasti...
“Rio.” Akhirnya nama itu keluar juga dari mulut Oliv.
Tarikan napas Ify langsung panjang sepanjang gerbong kereta api. Buang napas...
“Liv, kayaknya agak susah deh,” jawab Ify jujur.
Desahan kecewa terdengar dari Oliv. “Emangnya dia udah punya pacar, ya?”
“Nggak sih. Tapi lo termasuk dalam waiting list cewek-cewek yang minta tolong gue.”
“Semua targetnya Rio?”
“Ya iyalaaaaahh... kalo target lo orang lain udah dari tadi deal. Kebetulan gue lagi butuh jepit kecil-kecil. Hehehhe.” Dasar nggak tahu malu.
“Emang nggak ada cowok lain ya, Liv? Gabriel, Gabriel? Nggak tertarik? Dia kan kapten benerannya. Rio kan cuma stuntman.” Ify mempromosikan stoknya. Dia memang lagi pengin banget jepit rambut kecil-kecil aneka warna yang dia lihat di toko aksesori.
“Gimana ya? Gue sukanya Rio. Gabriel kayaknya udah nggak trendi deh,” tiba-tiba Oliv jadi norak. Apaan coba, “udah nggak trendi”? Tank top iya, ada nggak trendinya. Ini Gabriel, coba? Kasihan Gabriel, pamornya langsung surut.
“Kalo Alvin?” seloroh Ify spontan. Entah kenapa dia teringat Alvin yang lagi uring-uringan pengen jadian sama Shilla. Siapa tau kalo dia bisa jodohin Alvin sama cewek lain seperti Oliv, Alvin bisa ngelupain Shilla. Kalau dilihat dari kadar kenorakannya, kayaknya mereka berdua cocok.
“Alvin? Alvin yang mana?” Oliv terdengar heran.
“Alvin yang duduk sebangku sama gue. Emmm, itu lho, yang modis banget.”
Oliv terdiam sejenak. “Yang dandanannya heboh itu ya?”
Ify terbatuk kecil karena kaget. “Heboh?”
“Iya, yang norak itu, kan? Yang selalu megang-megang rambut tiap lima detik? Nggak mau ah! Sok kecakepan,” tolak Oliv sadis.
Rasanya kalau Ify lupa dia yang pertama-tama menawarkan Alvin, pengen banget Ify menyumpal mulut cewek sadis ini. Tega-teganya dia menghina-hina Alvin di depan sahabatnya. Biarpun bener Alvin norak (ups), tapi kan itu demi orang lain juga. Maksudnya biar enak dipandang.
“Ya, kalo gitu gue nggak bisa bantu. Sori, ya?” Melayang sudah jepit warna-warninya.
Telepon ditutup.
“Fiuuhhh...” Ify membanting badan ke kasurnya yang empuk. Lalu berbaring menghadap jendela. Ujung pohon palem bergoyang-goyang ditiup angin.
Diraihnya Momo, boneka sapi kesayangannya yang belang-belang dan gendut. “Momo... lo aja deh yang gue jodohin. Gue cariin sapi jantan, ya? Ya? Mau yang mukanya kayak Rio?”
Momo cuma menatap Ify lucu dengan mata plastiknya yang juling.
“Emangnya Momo mau kamu jodohin sama siapa? Sapinya Mang Eman?” Ternyata mama sudah berdiri di depan pintu sambil senyum-senyum melihat Ify bicara sendiri. Saking seriusnya, Ify sampai tidak mendengar waktu mama membuka pintu kamarnya.
“Mama! Ngintip aku ya???” Wajah Ify merah padam.
Mama duduk di pinggir kasur Ify yang berlapis seprai bergambar bintang-bintang biru muda. “Anak Mama kok kayak orang stres? Ngomong sama Momo. Mama buka pintu aja kamu sampe nggak denger.”
“Ah, waktu kecil kan aku suka ngomong sama Pucay, Tomti, Hubi, Kinkin, Curmimo...” Ify menyebut sederet panjang nama-nama bonekanya.
“Iya, iya, Mama tahu.”
“Ma, Ma, tau nggak yang telepon tadi?”
“Mama tau. Order Rio lagi, kan?” senyumnya sambil menyentil hidung Ify.
“Mamaaaaa... ngupingnya lama banget sihhhhh...”
Mama terkikik-kikik geli.
Dilemparnya Momo ke pinggiran kasur. Ify meraih bantal raksasa berwarna biru laut dan merebahkan kepalanya.
“Bisa seret nih upeti bulan ini... masa semuanya pengennya Rio,” keluhnya pada mama.
“Yeeee... terserah dong, Fy. Masa orang-orang mau naksir Rio nggak boleh?”
“Bukannya nggak boleh. Tapi cowok lain kan masih banyak, Maaa..”
Mama memandangi putrinya. Wajah imut Ify cemberut, kedua pipinya memerah karena terlalu bersemangat. Ify memang lincah dan agak tomboy, tapi dia lucu, manis, gayanya juga selalu trendi. Selera fashion Ify juga oke banget.
“Ma? Kenapa ngeliatin Ify?”
“Sayang, kenapa sih nggak kamu aja yang naksir Rio? Mama setuju lho. Anaknya kayaknya baik, mana Mama kenal dekat mamanya.”
“Ih, emangnya Mama serius nganggep Rio cowok idaman mertua?”
Mama mengangguk. “Lho, iya dong. Memang memenuhi syarat kok. Tetangga, lagi. Jadi kalo ngapel deket dan hemat.”
Bibir Ify langsung maju tiga sentimeter ke depan tanda protes. “Plis deh, Maaaaa... Mama kok jadi ikut-ikutan? Kalo gitu, Mama aja yang aku jodohin sama Rio, gimana?” goda Ify sebal karena dijodoh-jodohkan.
“Kamu ini.”
Untung Papa lagi nggak ada, kalau tidak pasti dia ikut-ikutan Mama menjodoh-jodohkan dia. Papa selalu paling heboh urusan Ify punya cowok atau nggak. Setiap kali menelepon, pertanyaannya selalu sama. “Udah punya pacar belum?”
“Tapi kamu baik juga, ngerelain parkit kamu yang sepasang itu.”
“Huaaaaaaa... jangan diingetin. Sekarang parkitku tinggal sembilan puluh delapan.”
“Ifyyyyy.... telepon nihhhhh...” suara Cakka dari ruang TV terdengar memanggil Ify.
“Halo?”
“Fy, Shilla nih.”
“Heiiiii... ada apa, Shill, kangen sama gue? Baru juga setengah hari,” ucap Ify ge-er.
“Enak aja. Ngabisin energi aja kangen elo. Fy, gimana, udah ada info menarik belum?”
“Adaaaaa... tapi besok di sekolah deh. Di telepon nggak seru. Oke?”
“Yaaaaaa.. kok gitu? Sekarang dehh...” Shilla penasaran setengah mati. Ify memang paling bisa bikin orang merengek-rengek.
“Besok atau nggak sama sekali, hayooooo?” ancam Ify nyebelin.
“Iya deh, besok.”
“Oh ya, hari ini saingan lo tambah satu lhoooo...”
“Hah, siapa?” kontan Shilla panik. “Siapa? Kasih tahu dooooong... bahaya, nggak?”
“Dah, Shilla... besok, ya? Gue mau bobo dulu. Daaaaaaaahhhh...”
KLIK.
“Jahat kamu,” Mama gemas melihat Ify yang hobi jail.
Cengiran Ify makin lebar. “Hehehe... abissss, Shilla, heboh banget. Baru sekali jadi klien aja rewel banget.”
“Ma, mendingan sekarang bobo siang sama aku aja di sini.”
“Enak aja bobo siang. Kamu tidur melulu kayak anak kebo aja.” Mama melempar boneka hamster Hamtaro kecil ke muka Ify. Lalu Mama turun untuk menonton TV kesukaannya.
Suara Britney Spears kembali mengalun dari kamar Ify. Si Rio ini memang semacam toxic buat cewek-cewek. Huh. Ngerepotin aja.
***
Jam delapan malam. Ify memasukkan buku-buku sesuai daftar pelajaran besok ke tas raksasanya yang berwarna biru langit. Ify memang tergila-gila warna biru.
Semua buku telah dikemas rapi. Ify mengeluarkan diari kecilnya. Diari itu sudah bersamanya setahun ini. Tidak setiap hari Ify menulis diari. Kalau lagi mood, atau ada yang sangat mendesak yang ingin ia ceritakan, baru ia menulis. Diari yang (lagi-lagi) berwarna biru itu sudah penuh gambar lucu coretan iseng Ify. Diambilnya pensil 2B yang selalu setia menemaninya saat ujian matematika. Walaupun nggak jado gambar, Ify tetap nekat membuat gambar metamorfosis Rio yang lugu. Digambarnya karikatur Rio waktu dulu yang berkacamata dan culun, lalu gambar Rio melepas kacamata, diselubungi asap, dan... TARAAA, jadilah Superman! Biarpun kayak gambar anak TK, tapi cukup menggambarkan kejadian sebenarnya kok.
Dear diary,
Tau nggak? Sekarang sekolah gue, terutama kelas gue yang tadinya tenteram itu, lagi heboh, histeris, tak terbendung! Apa, coba?
Gara-gara si Rio! Itu, si anak baru dari Amerika. Dengan nyebelinnya tiba-tiba dia bermetamorfosis dari cowok pemalu jadi kapten sepak bola yang keren! Gimana cewek-cewek nggak pada histeris? Yang lebih parah, gue terima job dari Shilla. Dia naksir Rio. Bayangin! SAMPE SHILLA PERLU BANTUAN GUE!!!!! SHILLA!!!!!
Gila nggak tuh? Bisa tertulis di tinta emas sebagai sejarah tuh! Shilla. Hebat si Rio...!
Tapi gue heran, kok orang-orang baru pada heboh sekarang ya?
Dulu, waktu belum ketauan dia sekeren hari ini, nggak ada yang ngelirik. Apa emang orang cuma dinilai dari tampang? Nggak adil amattt...
Eh, berarti gue bijak dong! Sebelum Rio lepas kacamata, kok gue sempet sadar?Sadar dia keren, maksudnya. Waktu di kelas itu. Tuhhh... gue bijak kan?
Bukan Cakka namanya kalau nggak rese. Terbukti dia tiba-tiba melongokkan kepalanya di pintu kamar Ify sambil cengar-cengir.
“Fy, mobil lo besok gue pinjem lagi, ya?” pinta Cakka penuh harap. Oik, pacar terbarunya, memang rada matre. Kemana-mana pengennya naik mobil. Minimal maunya naik taksi. Harus ada AC-nya. Daripada bangkrut buat bayar taksi jalan-jalan, mendingan Cakka beli bensin mobil Ify.
“Enak aja! Cewek lo dasar matre ya? Mobil gue kan yang jadi korban. Putusin aja tu cewek!”
“Yaaaa... plis deh, Fy. Lo masa nggak seneng liat adek tercinta bahagia? Oik kan asma... mana kuat panas-panasan?” Cakka beralasan. Padahal yang namanya Oik itu sehat walafiat dan centilnya minta ampun. Boro-boro asma, flu aja jarang.
“Yeeee... kok jadi gue yang musti berkorban? Lagian cewek lo emang terkenal matre, tau! Trus lo nggak mikirin gue, waktu mobil gue lo bikin mogok? IHHHHHHHHHH...” Ify menutup hidungnya. Saking baunya, cuma dibayangin saja sudah tercium.
Cakka bersungut-sungut. “Pelit,” umpatnya, lalu langsung kabur ke bawah.
“Jangan coba-coba ngerayu Mama buat pinjem mobil gue, ya! Mama juga nggak suka sama si centil itu, tauuuuu!!!!!!!!” jerit Ify dari kamarnya.
Mama memang sebel juga sama Oik. Uang jajan bulanan Cakka ludes buat nraktir Oik. Belum ongkos bengkel mobil, belum minta uang malam mingguan, kado...
Pokoknya nggak ada toleransi lagi deh soal Oik. Ify pokoknya nggak suka. Titik.
Ify menutup diarinya lalu dimasukkannya ke laci dan menguncinya. Di rumah ini nggak aman karena Cakka isengnya suka kebangetan.
“Hoaaaaaaahhmmm...” sambil menguap lebar, Ify merentangkan kedua tangan ke atas. Matanya sudah berat karena ngantuk. Ditariknya selimut dan Momo, lalu dia pun tidur.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar