Rabu, 22 Agustus 2012

MISS CUPID - 3


TIGA

***

HARI INI Ify datang kecepatan. Kapok rupanya kena marah Bu Winda. Ify mencoret-coret halaman belakang bukunya. Order lagi sepi nih, belum ada klien baru setelah Sivia yang happy ending sama Si Judes.

“Pagi, Non...” rupanya Alvin si cowok gaya.

“Vin, kok sepi sih?”

“Yeee... kita aja kali yang kerajinan. Biasanya jam segini mah emang sepi,” tukasnya sambil sesekai mengusap rambutnya yang rapi dengan jemarinya.

“Nah, lo ada apa datang pagi banget?” Ify mengeluarkan sebatang cokelat. “Mau?”

“Nggak ah. Gue lagi persiapan kasting iklan jamu pinter buat pelajar. Gue nggak mau dong ada jerawat yang nongol pas gue kasting.”

Ify cengengesan. “Iklan jamu antibolot maksud lo?”

Alvin mencibir. “Jamu pinter buat pelajar.”

“Yaaahh, terserah lo deh. Tapi kalo lo jerawatan kan bisa sekalian main iklan jamu untuk jerawat dan bisul. Ya, nggak?”

Alvin cemberut. Dasar sadis sobatnya yang satu ini. Beda banget sama Shilla yang baik dan lemah lembut juga keibuan. Dia udah naksir Shilla sejak SMP. Dan untungnya, berkat makhluk tengil bernama Ify, dia jadi bisa bersahabat dengan Shilla. Biarpun mereka bertiga dikenal sebagai tiga sahabat, Alvin tetap memendam rasa suka buat Shilla. Biarpun Shilla nggak sadar dan cuek gonta-ganti pacar. Alvin yakin, suatu saat, apalagi kalau dia sudah jadi artis terkenal, Shilla pasti berpaling padanya.

Jadi, bisa aja kan iklan jamu pinter buat pelajar ini menjadi gerbangnya menuju kesuksesan karier dan cinta?

“Eh, Vin, ngapain lo dateng pagi-pagi? Kok nggak jawab? Sebelum lo nanya, kalo gue males kena semprot bu Winda. Tengsin.”

Alvin terkikik. “Lumayan, kan, duduk di meja guru. Kapan lagi coba?”

“Sialan lo.”

“Ify, gini lho, gue punya misi buat lo. Kebetulan lo datang pagi.”

Alis Ify bertaut bingung. “Misi?”

“Iya... misi. Mau ya, terima misi gue?” Alvin setengah memaksa.

“Eits, eits. Tunggu, tunggu. Lo mau make jasa mak comblang gue? Mau nyoba panah asmara gue?!” Ify histeris. “Lo naksir cewek??? Horeee...!!! Boleh, boleh. Who’s the lucky girl, my man?” Ify menepuk-nepuk punggung Alvin heboh. “Nggak nyangka prinsip playboy cap eceng gondok lo luntur juga. Jadi akhirnya hati lo terpaut satu cewek nih?”

Ify terdiam ketika melihat Alvin menatapnya dengan pandangan please-deh-Fy-gue-belum-selesai-ngomong. Ify malah bikin Alvin makin grogi. Siapa yang nggak grogi, coba? Jelas-jelas selama ini Alvin sok berikrar nggak mau terikat pada satu cewek. Apalagi saat ia menapaki jalan emas menuju ketenaran.

“Oke, oke. Cerita, cerita. But still... I’m very happy for you. Hehe.” Ify tidak bisa menahan girang karena Alvin naksir seseorang.

Alvin menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan slow motion Alvin meraih tangan Ify.

“Lo nggak naksir gue, kan, Vin?” bisik Ify panik.

Alvin melotot. Gerakan dramatisnya gagal. “Ya nggak lah, mimpi apa gue naksir lo?”

Susah payah Ify menahan tawa. “Oke. Oke. Ulang, ulang. Pegang tangan gue lagi.” Ify meletakkan tangan Alvin di tempat semula.

Alvin manyun. “To the point aja deh.”

“Bagus. Siapa?” Ify mencondongkan kepalanya.

“Gue... suka sama... si... S-S-Shilla,” ucap Alvin sambil berbisik, lalu meringis.

“HAH?” Ify histeris. Jadi selama ini...

“Sssst...” tangan Alvin dengan cepat membungkam mulut ember Ify. “Jangan ngejerit dong ah.”

Tiba-tiba sosok Rio terlihat memasuki kelas. Mereka berdua langsung terdiam.

“Oke, Alvin. Ini masalah serius buat profesi gue, juga persahabatan kita bertiga. Kita obrolin nanti, pas istirahat. Di depan aula, oke?” desis Ify di kuping Alvin.

Alvin mengangguk-angguk. Matanya menatap kagum ke arah Shilla—yang baru datang dan kini asyik membolak-balik PR nya—malah kelihatannya sebentar lagi ngiler. Ih.

“Alvin, entah cuma perasaan gue, atau emang dari tadi lo ngeliatin gue? Mau pinjem PR, ya?” Shilla yang tiba-tiba berbalik membuat Alvin serasa kepergok nyolong ayam di halaman tetangga.

“Eh, nggak. Emangnya gue nggak boleh liat ke sana?” elaknya asal.

Ify cekikikan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Rio, yang sedang tenang meletakkan buku-bukunya di meja. Dia terlihat menulis sesuatu di bukunya. PR kali. Seminggu sudah Rio jadi anak baru, tapi sepengetahuan Ify, Rio belum banyak teman. Cuma Gabriel dan
Ray yang duduk di depannya terlihat agak akrab dengannya. Kacamata minus Rio yang berbingkai kotak memang mewakili otaknya yang cemerlang. Dia begitu dingin. Lempeng. Cuek. Atau pemalu ya?

***

 “Kira-kira jadi saingan lo nggak tuh anak baru?” goda Ify sambil menyikut Alvin.

“Maksud lo?” Alvin menyibakkan poni Hua Ce Lei-nya.

“Maksudnya, ada kemungkinan dong fans-fans lo beralih ke dia. Anak baru lho, dari Amrik, lagi.” Ify makin jail. Dia tau banget Alvin paling takut kehilangan fans. Apalagi kalau sampai kalah tenar.

Tak lama kemudian Shilla beranjak dari bangkunya. Rambutnya diikat tinggi, langkahnya anggun menghampiri bangku Ify dan Alvin.

“Tuh, buruan lo dateng.”

“Jangan ngeledek terus dong, Fy. Mana lo mau pake acara nyidang gue di depan aula segala, lagi. Biar gue menikmati kecantikan Shilla kek. Bosen gue liat duri landak di kepala lo.”

Ify mendelik sewot.

“Pokoknya awas kalo Shilla sekarang sampe curiga,” ancam Alvin.

“Pada gosip apa sih?” Shilla duduk nyempil di bangku Ify.

“Mamat,” Alvin asal sebut. Entah apa yang lewat di kepalanya sampai-sampai ia menyebut nama Mamat.

“Mamat? Siapa Mamat? Anak baru lagi?” Shilla sibuk mencari-cari di sekeliling kelas. “Mana?”

Alvin menatap Ify panik. Matanya berkedip-kedip hebat minta bantuan.

“Mamat tuh kembaran lo,” tambah Ify. Shilla tambah bingung.

Ify menahan tawa melihat Shilla kebingungan, hidungnya kembang-kempis. Dia tahu Shilla paling nggak tahan kalau tahu Ify punya rahasia sama orang lain.

“Serius deh, Fy,” sungut Shilla sambil merengut. Kayak belalang sembah.

“Nggak! Nggaaaak...! Lo gampang banget diboongin, lagian makhluk satu ini aja lo percaya. Maklum, ada anak baru, cowok keren pula. Berpotensi banget buat menandingin popularitas abang satu ini hehehe...”

Mendengar jawaban Ify, sepotong penghapus Pelican melayang ke jidatnya.

“Aduhhh! Alvin, awas lo...”

“Hihihi...”

Rio masih tampak tenang dan hening di seberang sana. Mulutnya tampak mengunyah permen karet. Jarinya memutar-mutar pensil.

“Yo! Lagi bikin PR, ya? Mau nyontek punya gue? Atau punya Alvin? Dia jago fisika lhooo...” teriak Ify tiba-tiba.

“Auw!” jemari raksasa Alvin mencubit lengan Ify.

Rio menatap Ify dan tersenyum tipis.

No, thanks... Ify,” jawabnya kalem.

“Ah, menurut gue dia biasa-biasa aja. Nggak keren-keren amat. Kayaknya bukan tipe yang bakal digila-gilai cewek,” bisik Alvin sirik.

“Rio, katanya Alvin... Hmphhh.”

Ify terempas keras ke kursi ketika Alvin membekap mulutnya.

“Ugh! Alvin... lo pikir lo mafia Italia ya, pake bekep-bekep mulut orang! Tangan lo... aduuhhh. Berapa bulan purnama nggak lo cuci, hah?!” Ify bersungut-sungut sambil mengusap pantatnya yang linu.

Rio menatap sebentar insiden lucu itu. Lagi-lagi tersenyum sekilas, lalu kembali asyik dengan buku PR-nya.

“Brrr... dingiiiiiiinn. Cool banget yeee boowww?” celetuk Shilla cuek.

Satu per satu penghuni kelas II C berdatangan. Rio tampak mulai berbaur dengan cowok-cowok di sekitarnya, terutama dengan Gabriel dan Ray. Dua cowok ini termasuk deretan papan atas cowok most wanted di sekolah. Tentunya juga termasuk deretan saingan terberat Alvin. Gabriel kapten tim basket sekolah merangkap wartawan mading. Badannya tinggi banget, 180 centimeter. Buat Ify, Gabriel tu persis raksasa. Dengan body-nya yang cuma 160 centimeter pas, Ify bisa sakit leher tiga hari tiga malam kalau ngobrol berlama-lama dengan Gabriel. Terus ada Ray. Dia kapten kesebelasan sepak bola sekolah. Tampangnya cool, kulitnya cokelat terbakar matahari. Tingginya sih cuma 168 centimeter, tapi buat cewek-cewek, Ray itu seksi. Pokoknya harus menyaingi cowok dua ini, Alvin harus modal dandan habis-habisan. Berpenampilan dan bergaya seperti model catwalk papan atas.

Rio tampak lucu berkumpul akrab dengan mereka. Rio berkulit putih (kelamaan kena salju, kali), tinggi juga sekitar 175 centimeter, body-nya ramping berisi, istilah Shilla sih body cowok gaul zaman sekarang. Kacamatanya itu lho, bikin dia terlihat serius dan jarang olah raga (sok tahu banget).

“Yo, lo tau nggak, bakal ada kompetisi fisika antar sekolah?” tanya Gabriel sambil sibuk menyalin PR.

“Tau,” jawab Rio pendek.

“Yo, Yo... maksud si Gabriel, lo nggak minat ngikut?” sambung Ray yang juga sedang menyalin PR dengan gerakan superkilat. Kadang-kadang dia meringis kesakitan karena tiba-tiba jarinya keram dan nggak bisa ditekuk.

“Oh. Mau, kayaknya. Tapi gue rada males ikut prosedur pendaftarannya. Mana pake interview segala.”

“Wah, gile, kepinteran tingkat tinggi nih. Kayaknya udah nyaris level olimpiade,” gumam Ify yang menguping sedari tadi.

Shilla yang masih nyempil di sebelah Ify, mengernyit. “Kok lo usil ke si Rio sih? Ada klien yang suka? Atau... lo naksir dia?” bisik Shilla jail.

Mata Ify kontan melotot mendengar ucapan Shilla. “Enak aja. Batu es gitu, bisa beku gue dicuekin. Cinta perlu kehangatan, tau!” semprot Ify.

Shilla cekikikan geli. “Sok tau ya lo, kayak pernah jatuh cinta aja.”

Kontan tangan Ify yang lincah menjambak kucir kuda Shilla.

“Eh, cewek-cewek, bisa tenang nggak seeeeeeeehh???” kata Alvin.

“Yeeeee... suka-suka kita dong,” balas Ify dan Shilla kompak, lalu tertawa berbarengan.

Sementara itu Rio, Gabriel, dan Ray masih sibuk berdiskusi tentang kompetisi fisika, walaupun sebenarnya di antara mereka cuma Rio yang mengerti apa itu fisika.

***

Akhirnya bel tanda istirahat berbunyi. Biarpun bunyi bel yang bernada lagu Kuch Kuch Hota Hai itu benar-benar bikin malu (bayangin apa kata sekolah sebelah), tapi bunyi bel itu tetep bikin seisi sekolah melek lagi. Apalagi Ify. Akibat kehiperaktifannya, dia paling nggak tahan disuruh duduk diam.

“Alvin, buruan ikut gue.”

“Iya, iya. Nggak sabaran amat sih.” Dengan malas-malasan Alvin bangkit dari kursinya.

Ify dan Alvin berjalan tergopoh-gopoh ke arah taman di depan aula.

“Jalannya cepetan dikit dooong. Lelet banget sih, kayak orang kebelet pipis,” sungut Ify kesal sambil menyeret Alvin. Ini anak apa nggak bisa gesit semenit pun, ya?

Akhirnya mereka sampai di bangku besi di bawah pohon beringin. Napas Alvin tersengal-sengal akibat diseret-seret Ify. Dasar tukang dandan. Giliran disuruh olahraga malesnya minta ampun.

“Oke, Alvin. Lo udah gila ya, naksir Shilla?” cecar Ify to the point.

“Yeee... kok malah dimarahin? Hak asasi dong, Fy, gue naksir Shilla. Emang apa salahnya?”

Ify geram dan mencubit tangan Alvin. “Iya, gue ngerti, tapi lo udah gila ya?” semprot Ify lagi. “Dia kan sahabat kita.”

Alvin mengangkat kedua tangannya. “So?”

So, gue nggak mau. Nggak mau. Titik. Berarti selama ini lo ada maksud terselubung dong deket-deket Shilla? Berarti selama ini persahabatan kita nggak ikhlas dong? Berarti kalo kalian pacaran gue sendirian? Kambing congek? Nggak, nggak! Lagian masa sih Shilla harus gue relain sama banci tampil kayak lo sih? Gue udah tau lo luar-dalem atas-bawah kanan-kiri, Alviiiiiiinnn...”

“Yaaaa... Ify. Bantuin dong. Lagian apa salahnya sih sahabat jadi pacar? Malah bagus, kan? Kita udah saling kenal. Pasti malah jadi tambah klop,” Alvin maksa.

“Nggak. Ini udah nggak lucu lagi,” Ify berkeras.

“Lho, emang siapa yang ngelucu? Ini serius, Fy. Cinta itu serius. Sekalipun buat gue si petualang cinta,” kata Alvin sok yakin.

“Tapi...”

“Tolong deh, Ifyyyyyy, masa orang laen lo bantuin gue nggak. Ya, Fy? Gue kasih upeti deeeeehh, lo mau apa aja, tinggal sebut.”

Mendengar kata “upeti”, Ify langsung nyengir. “Hmm... kaos kaki garis-garis yang kemaren gue liat di Sox World. Tapi gue nggak janji lo pacaran lho. Gue cuma janji lo jadi lebih deket sama Shilla. Gimana? Kalo mau lebih, lo usaha aja sendiri.”

“Oke, siippp.”

Setelah bersalaman ala penjabat dapat tander, mereka langsung menuju kantin. Wajah Shilla pasti sudah membentuk seribu tekukkan, saking bete-nya ditinggal.

***

Benar saja. Di kantin Shilla duduk di depan warung Mang Dep. Mukanya menekuk, bibirnya manyun, dan jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan kesal. Saking kerasnya ketukan Shilla, mangkuk bakso di depannya bergetar kecil terkena gempa bumi lokal.

“Bagus ya... main rahasia-rahasiaan? Dari mana lo? Ngaku!?” dampratnya judes.

“Nggg...” Alvin tergagap-gagap.

“Dari aula,” sahut Ify.

“Alasan?” cecar Shilla.

“Alvin pengen e’ek. Tapi malu di WC depan, makanya di WC belakang aula.”

Alvin melotot. Alasan apaan tuh? Bikin malu aja.

“Nah, lo ngapain? E’ek juga?” desis Shilla pelan.

“Ya nggak lah... kebetulan gue perlu ke WC juga. Ternyata WC-nya penuh, jadi gue kudu ngantre. Mana yang masuk kayaknya pada pipis seliter gitu...”

Sikut Alvin menghantam punggung Ify. “Penjelasannya nggak perlu sedetail itu kali,” umpatnya kesal.

“Oke, reason accepted. Tapi kalo rahasia-ra-ha-siaan lagi, gue bawa lo ke salon,” ancam Shilla.

“Kok ke salon?” Ify dan Alvin berbarengan.

“Rambut lo pada mau gue botakin!!!”

“Yaa... jangan dong. Udah Hua Zhe Lei gini. Kalo botak pasaran bisa turun.”

Ify cekikikan melihat kepanikan Alvin.

“Shill, Alvin bentar lagi pingsan, lho. Lo sama aja nyuruh dia disunat dua kali kalo harus ngerusak rambutnya,” ucap Ify sambil menahan tawa.

Shilla mencibir. “Dasar banci tampil, nggak penting banget.”

Alvin cuma manyun dan menatap Ify sebal. Apa sih isinya kepala Ify? Kok bisa-bisanya ngomongin orang lagi ngebom di WC? Sama kecengannya, lagi. Mendadak Alvin menyesal menceritakan rahasianya yang sudah disimpan bertahun-tahun itu. Dasar Ify.

Semenit kemudian Alvin sudah sibuk meracik bumbu kuah baksonya. “Huh... hah... Mang Dep, ni sambel cabe rawitnya beli di neraka, ya? Pedes amattt...”

“Sori, permisi.” Tiba-tiba pundak Alvin ditepuk seseorang.

Rupanya Rio. Ia datang bersama Gabriel dan Ray.

“Eh... iya. Silakan, silakan. Nikmatilah hidangan bakso Mang Dep,” cerocos Alvin kayak iklan. Sumpah malu-maluin. Padahal Alvin nyaris berhasil menyembuhkan penyakit latahnya.

Yang lain kontan cekikikan.

“Yo, lo jangan ngaget-ngagetin si Alvin. Tu anak rada jantungan,” goda Gabriel.

“Sialan lo, Yel. Gue cuma beramah-tamah mempromosikan bakso Mang Dep yang tersohor di sekolah ini.” Alvin makin ngelantur dan malu-maluin.

“Tapi bener lho, Yo, bakso di sini uenak buanget. Cobain deh. Iya kan, Shill?” Ify menimpali dengan sangat heroik.

“Iya, iya. Murah, lagi,” sambung Shilla. Nggak penting banget.

Rio cuma senyam-senyum canggung. Gara-gara Shilla kali ya? Cowok mana sih yang nggak gemetar diajak ngomong Shilla. Gabriel dan Ray saja yang sudah hampir dua tahun sekelas masih tercengang-cengang.

“Iya deh, gue coba. Thanks for the information, ya guys,” jawabnya ramah, tetapi tetap dingiiiiinn.

Lalu mereka bertiga memesan bakso pada Mang Dep yang ternyata dari tadi ikut cekikikan. “Ternyata Mas Alvin grogian ya,” celetuknya jail.

Shilla, Ify, dan Alvin duduk di kursi luar kios bakso Mang Dep. Ini tempat paling enak. Meski bagian dalam kios ada kipas angin, kalau kepedesan tetap aja gerah banget. Ify dan Shilla sibuk melahap baksonya sambil ber-huhah-huhah. Alvin menyeruput kuahnya sedikit-sedikit.

Ketiga cowok tadi duduk di bangku dalam. Mereka juga tampak sibuk melahap bakso. Karena jarak mereka dekat, Ify bisa mendengar percakapan cowok-cowok itu dengan cukup jelas. Maklum, sudah terlatih saat menjalankan misi, jadi walaupun pelan tetap terdengar oleh kuping Miss Cupid.

“Lo nggak naksir si Shilla itu, Yo? Number one in school tuh,” bisik Ray pelan. Terlihat Gabriel mengangguk sekilas.
Shilla memang beruntung. Tiap cowok pasti jatuh hati melihatnya. Ify membuang napas.

“Kenapa, Fy?” tanya Shilla heran.

“Nggak, nggak. Tadi ngisep udaranya kebanyakan,” jawabnya asal, lalu buru-buru pasang kuping lagi.

“Yo, menurut lo gimana si Shilla itu?” desak Ray.

“Cantik,” jawab Rio pendek.

That’s it???” Gabriel nggak puas. “Cuma cantik? Lo nggak naksir?”

Rio menyuap baksonya bulat-bulat. “Ya, that’s it. Naksir gimana, ngomong aja baru tadi,” jawabnya dengan mulut penuh. Hihi, lucu juga si Rio ini, kenapa nggak jawab dulu baru nyuap sih?

“Tapi ada kemungkinan naksir, kan? Dia kan ideal banget. Lagian lo kan udah ampir dua minggu lo di sekolah ini, masa nggak ada yang diincer?” korek Gabriel.

Rio mengangkat bahu. “Maybe. Emang belum ada aja. Emangnya kenapa sih?”

Gabriel dan Ray mengangkat bahu bareng-bareng. “Lo normal, kan?”

Rio melotot dan menonjok kedua temannya sekaligus. “Sialan lo pada!”

Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.

Ify menyeruput es jeruknya. Kupingnya masih siaga menunggu percakapan selanjutnya. Dipikir-pikir, ngapain sih dia kurang kerjaan memata-matai Rio? Yang jelas bukan karena dia naksir. Ify penasaran aja. Kok orang satu ini lempeng banget, nggak akrab-akrab sama seisi kelas sih? Pemalu atau kuper?

“Yo, lo nggak minat ikutan klub?” tanya Ray lagi. Gabriel seperti biasa, mengangguk setuju.

“Pengen sih. Actually, di sekolah lama gue di Amrik gue ikutan klub soccer,” jawabnya. Bahasa Indonesia-nya yang campur aduk membuat kalimatnya jadi kedengeran keren.

Dalam hati Ify terheran-heran, benar apa nggak sih? Kok tampang Rio kayak orang buta olahraga? Dia belum bisa buktiin, habis setiap jam pelajaran olahraga Rio belum pernah ikut. Kakinya sakit, katanya.

“Oh ya?” respons Ray antusias. “Posisi lo apa?”

“Kapten,” jawab Rio, melafalkannya dengan bunyi “kepten”. Bule banget deh.

“Serius?” Ray makin semangat. “Lo masuk tim kita deeeehhh...”

“Nggak bisa.”

Why?” kali ini Gabriel angkat bicara.

“Kompetisi musim panas lalu kaki gue terkilir. Kata dokter, gue harus istirahat dua bulan.”

Ray terlihat kecewa. Niatnya punya pemain asing di liga SMA dua minggu lagi pupus.

“Berapa lama sisa waktu istirahat lo?” desak Gabriel.

Rio tampak berpikir. “Kurang-lebih satu minggu lagi.”

Lalu pembicaraan itu berakhir, karena mereka bertiga lalu kembali ke kelas sambil terus ngobrol. Mana mungkin Ify nguntit di belakang.

“Fy, cabut yuk.” Shilla membuyarkan lamunan Ify.

“Yuk.”

Ify tiba-tiba sadar Alvin sudah tidak ada di sana. “Mana si Alvin?”

“Udah kabur. Mau ke WC katanya.”

***

Source: MISS CUPID, Mia Arsjad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar