LIMA
***
SETUMPUK bendera warna-warni dan spanduk raksasa tergeletak di atas meja Ify. Sore ini hari H-nya liga SMA yang bikin heboh itu. Sialnya, Ify dapat tugas jadi koordinator suporter kelas mereka.
“Gila, kenapa musti gue, coba? Emang gue ada tampang suporter sejati? Emang gue punya tampang maniak bola? Mana ni bendera bau, lagi. Bekas kali!!!!” Mulut kecil Ify merepet persis petasan banting. Berisik banget. Rambut cepaknya jadi kusut karena keseringan digaruk-garuk pake tangan dibantu dengan tenaga dalam.
Alvin buru-buru ambil tindakan bantu-bantu Ify, sebelum mejanya yang nempel sama meja Ify ikut diobrak-abrik.
“Non, jangan ngamuk gitu dong. Sini, sini gue bantuin. Lagian ada untungnya lho dapet kepercayaan gini...” ujar Alvin sok bijak. Tangannya sibuk memilah bendera-bendera kecil untuk dibagi-bagikan.
Ify melotot sampai matanya jadi gede banget. “APA? Ayo sebutin satu keuntungannya... SEBUTIN!!!”
Alvin jadi gelagapan. “Em... anu... untungnya... untungnya... satu ya?”
“Apa hayo, apa???” cecar Ify rese.
“Yeee... kok jadi marah sih? Kan gue cuma berusaha menghibur.”
Bibir Ify makin manyun. Tangannya kembali sibuk mengobrak-abrik bendera-bendera suporter yang menggunung di mejanya.
Shilla akhirnya datang sambil melenggang santai. Dia tampak bingung melihat Ify dan Alvin sibuk dengan setumpuk kain warna-warni di depan mereka.
“Woi! Pada ngapain sih? Sumbangan buat korban banjir ya?” tanya Shilla polos dengan suaranya seperti biasa, lembut dan mendayu-dayu. Tapi kalimatnya bikin Ify dan Alvin melongo.
“Hah? Pertanyaannya ada yang lebih intelek nggak? Masa iya kain-kain nggak jelas bentuknya gini buat korban banjir? Mau buat apaan? Ngepel?” Ify darah tinggi. Alvin yang sesak napas mencium bau tumpukan kain di depannya sudah nggak bisa ngomong lagi, cuma bisa mengangguk penuh semangat.
“Lho, kok jadi darah tinggi gitu? Gue kan cuma nanya. Lagian ini apaan sih?”
“Bu Winda, wali kelas kebanggaan kita itu, tiba-tiba memercayakan tugas mulia ini ke gue. Ternyata hukuman gara-gara gue terlambat belum berakhir,” keluh Ify panjang-lebar.
“Tugas mulia apa?” Shilla masih belum mengerti juga.
“Jadi koordinator suporter kita yang heboh itu,” jawab Ify putus asa. “Lo nggak ada niat bantuin kita, Shill? Cuma mau nonton doang?” tanyanya lemas.
Shilla meletakkan tas di bangku Alvin dan langsung ikut sibuk sebelum rambut Ify tambah jigrak karena meledak marah.
Tiba-tiba sepasang tangan lain ikut membantu.
“R-Rio...?” saking kagetnya, Ify cuma bisa bilang begitu, mirip adegan sinetron. Norak banget.
“Kalo bertiga doang, kapan beresnya?” jawab Rio pendek dan terus bekerja sambil diam.
Pekerjaan memilah-milah bendera berlangsung hening. Ify yang paling nggak bisa diam mulai jebol pertahanannya. Kalau semua pada ikut diam gara-gara Rio, bisa-bisa jadi bisu beneran.
“Yo, mobil lo gede banget ya? Nggak berat tuh?” Ify memulai pembicaraan dengan topik yang sangat tidak penting. Memangnya mobil buat diangkat-angkat, apa?
“Nggak berat kok, mobil gede gitu enak, mantep. Tapi gue lebih suka kalo setirnya agak berat,” jawab Rio sambil terus menatap bendera-bendera di tangannya dari balik kacamatanya.
“Kok gitu?” Shilla ikut nimbrung.
“Kalo buat gue, mobil Jeep gitu lebih enak sedikit berat. Biar nggak oleng.”
“Lo suka Jeep ya?” tanya Ify masih penasaran.
Rio mengangguk. “Gue suka banget offroad,” jawabnya sambil tersenyum, tampak senang dengan pertanyaan Ify.
Hah? Offroad? Ify terkaget-kaget dalam hati. Si pendiam satu ini penuh kejutan juga. Pemain sepak bola, offroader. Ify jadi mulai kagum sama Rio. Tanpa sadar pipi Ify bersemu merah. Aduuuhhh... kok jadi kagum sama Rio? Masa naksir sih? Ify menggeleng-geleng tak percaya.
“Fy, Fy... lo kenapa? Pusing ya? Pusing?” Alvin panik melihat Ify geleng-geleng kepala.
“Lo mau gue anter ke UKS? Lo kebanyakan nunduk kali, Fy.”
Duh, Rio ikut-ikutan, lagi. Ify geleng-geleng tambah kenceng. Jelek banget. Mana muka Rio deket banget, lagi. Wuih... sepasang mata di balik kacamata minusnya ternyata keren juga. Mampus gue, masa sih gue beneran naksir Rio? Ucap Ify dalam hati.
Shilla mengguncang-guncang bahu Ify tiba-tiba, ngeh kalau Ify mulai kehilangan kewarasannya. Hehehe.
“Lo kenapa sih?”
Ify tersadar dan langsung malu. “Ah... eh... nggak, nggak. Gue nggak pa-pa. Tau-tau gue kayak terbayang-bayang lagunya Maroon 5, This Love. Tau, kan... This love..” begitu sadar Ify jadi tolol dan nyanyi Maroon 5 sambil cengengesan.
Shilla menatap Ify curiga. “Lo kebayang Maroon 5 atau house music? Kok gedek-gedek gitu, kayak orang tripping,” selidiknya.
Rio dan Alvin cengengesan bingung. Aneh banget sih.
Mereka mulai sibuk lagi. Tapi sekarang benar-benar dalam diam. Yang lain diam kebingungan, Ify diam melamun. Wah, kayaknya dia bener-bener suka.
Ah, kenapa musti Rio sih? Cowok gagu gitu sama cewek. Mana mungkin gue yang nyatain duluan? Lagian PDKT-nya mau sampe kapan? Mending kalo dia juga suka sama gue. Orang dia baik banget sama semua orang. Ramah sama semua orang, biarpun dengan gayanya yang dingin itu. Terus, siapa tahu dia udah punya cewek. Ah, pendiam begitu mana mau pacaran? Lupain aja deh, Ify ngedumel bimbang dalam hati.
Ify membalas tatapan Alvin yang dari tadi melirik ke arahnya. Alvin mendelik-delik memberi kode “lo kenapa sih?”
“Beressss...” Sambil merentangkan tangannya Ify berteriak lega.
“Busyeeetttttttttt, tangan gue bau banget. Gue cuci tangan dulu, ya,” Alvin melesat ke kamar mandi.
“Iya nih, bau banget. Gue juga ah.” Shilla ikut-ikutan.
“Kayaknya kalian musti lari deh. Bentar lagi Pak Dave masuk,” Ify mengingatkan sambil memasukkan bendera-bendera tadi ke kardus mie instan.
“Lo nggak cuci tangan?” tanya Rio.
“Nggak ah. Males gue. Ntar aja kalo gue udah megang bendera-bendera bau ini sepuluh kali, baru gue cuci tangan,” jawab Ify asal.
Rio nyengir. Dasar gokil. “Ya udah, gue balik ke bangku gue dulu,” katanya sambil melengang pergi.
“Thanks ya, Yo...” Ify melambaikan tangan lemas. Jantungnya sudah normal kembali. Pasti tadi cuma karena muka Rio terlalu dekat, dan cowok itu ngomongin hal-hal keren yang bisa bikin cewek berimajinasi yang keren-keren pula.
“Fiuuuuhh... ternyata tadi perasaan doang.” Ify membuang napas lega.
***
Stadion Gelora Muda yang jadi tempat terselenggaranya liga SMA sudah penuh sesak dengan para penonton yang sebagian besar siswa sekolah yang bertanding. Suporter SMA Tri Persada berkumpul di satu sisi lapangan. Mereka sudah memegang bendera yang dibagikan Ify tadi siang. Hari ini SMA Tri Persada akan melawan SMA Bakti Utama.
Suara penonton terdengar riuh rendah. Kompetisi liga SMA kali ini dimeriahkan penampilan marching band sekolah masing-masing. Di tengah kumpulan colour guard alias pemain bendera tim marching band SMA Tri Persada, terlihat Agni, cewek paling centil satu sekolah, berjingkrak-jingkrak heboh. Dandanannya menor berat kayak lenong. Rupanya itu yang bikin penonton heboh. Agni lebih mirip maskot daripada colour guard.
“Fy, si Agni pake doping kali ya?” ujar Shilla geli sambil memandang Agni.
“Gue rasa dia sebentar lagi ngejungkel. Gila apa, sepatu bot gitu dipake jejingkrakan kayak monyet lepas dari kebun binatang.” Ify cekikikan.
“DOR!”
“Alviiiiiiinnn...” Shilla mengelus dadanya kaget. Ini anak kurang kerjaan amat.
“Gimana, gimana?” Alvin memaksa duduk di antara Ify dan Shilla. Tangan kirinya menenteng sekantong plastik camilan.
“Lo mau nonton bioskop apa mau nonton bola sih? Aduuuhhh... lo jangan nyempil gini dooongg. Pantat gede... uh... sempit, tau!” Ify ngomel-ngomel.
“Aduuuuhh... panasnyaaa?” Alvin mengipas-ngipas dengan tangannya.
“Iya lah, namanya juga stadion bola. Lo kira mal, dingin?” Ify mencubit pinggang Alvin.
“ADUUUUUHHH!!!”
Shilla juga ikut-ikutan sibuk kipas-kipas. Rambutnya digelung tinggi-tinggi karena gerah.
“Ini, lagi ikut-ikutan. Lo berdua tari kipas aja gih. Hehehe...” Ify menaikkan sebelah alisnya. Mendadak tampangnya berubah jail.
“Eh tau nggak, setelah gue liat-liat ya...” Ify mengusap-usap dagunya.
“Ify, please...” Alvin menatap memelas. Anak ini pasti mau ngomong yang aneh-aneh deh.
“Kayaknya lo berdua...”
“Bakpao isi kacang ijo!!!” pekik Alvin mendadak.
Shilla dan Ify melotot heran.
“Gue suka banget bakpao isi kacang ijo. Lo suka nggak, Shill? Ntar gue beliin deh.” Keringat sebesar butiran jagung meluncur di dahi Alvin. Kenapa juga otaknya cuma bisa menemukan kata bakpao isi kacang ijo di saat genting seperti tadi.
Kali ini Shilla yang mendelik. “Lo kenapa sih? Eh, tadi lo mau ngomong apaan, Fy? Kita berdua kenapa?”
“Iya, tadi gue mau bilang, kayaknya lo berdua...”
“Dodol duren juga gue suka!” pekik Alvin lagi.
“Alvin! Lo kenapa sih? Nggak penting banget deh. Ify kan mau ngomong. Jangan dipotong-potong gitu dong! Kan jadi nggak jelas. Lo mau ngomong apaan tadi, Fy? Awas aja ya kalo lo motong lagi. Mau lo doyan bakpao kek, dodol kek, gue nggak peduli,” ultimatum Shilla galak.
Alvin langsung bungkam. Jantungnya dag-dig-dug nggak keruan. Matanya berkedip heboh memberi kode pada Ify supaya jangan ngomong aneh-aneh.
Ify tersenyum jail. Menarik napas dalam-dalam. “Menurut gue, kayaknya lo berdua boleh juga sekali-sekali nyobain makan di warung bubur ayam yang baru di deket rumah gue. Enak banget deh,” katanya sambil cengar-cengir ke arah Alvin yang kelihatan nyaris pingsan waktu denger kalimat Ify yang sama sekali jauh dari bayangan. “Kok lo kaget gitu, Vin?”
“Apa hubungannya sama kita berdua yang sama-sama sibuk kipas-kipas?”
Ify mengangkat bahu. “Nggak ada,” jawabnya cuek.
“Nggak ada?!”
“Lho, emangnya wajib ada hubungannya?”
Alvin langsung lemas. Dasar jail!
Dua tim yang akan bertanding sudah tampak di lapangan. Mereka berbaris dan berfoto bersama terlebih dulu. Lalu mereka bersalaman. Selanjutnya kapten masing-masing tim maju dan wasit melempar koin menentukan bola pertama.
Tapi kok... lho.. lho? Ada yang aneh deh. Itu kan bukan Gabriel. Ify menyipitkan mata. Ia yakin itu bukan Gabriel.
“Shill, lo liat deh. Itu bukan Gabriel, kan?” Ify menyikut pinggang Shilla.
Shilla ikut-ikutan menyipitkan mata. “Vin, liat, Vin. Gabriel bukan sih?”
Alvin juga ikut-ikutan. “Iya tuh, bukan Gabriel. Siapa sih?”
Sepertinya suporter Tri Persada mulai sadar kapten tim mereka bukan Gabriel. Suara gaduh penonton membahana. Semua penasaran siapa cowok berambut lurus belah tengah dan berkulit putih yang mirip tokoh komik-komik Jepang itu.
Di tengah suara keheranan penonton, tiba-tiba pengeras suara berbunyi.
“Perhatian. Kami ingin mengumumkan, karena Gabriel Stevent, kapten tim SMA Tri Persada mengalami cedera saat latihan, maka kapten tim SMA Tri Persada digantikan oleh Mario Stevan. Terima kasih.” Pengumuman singkat dari Pak Jo, pelatih tim sekolah, cukup dahsyat dan langsung membuat gempar.
“HAH??? Rio? Rio si pendiam?” jerit Ify.
“Yang bener?” Shilla kaget setengah mati.
“Tuh, kan. Bener dugaan gue. Anak baru itu pasti nyembunyiin sesuatu. Sok jaim doang.”
Ify memandang cowok keren di lapangan itu. Masa iya itu si Rio? Biasanya Rio tidak pernah lepas dari kacamatanya. Rambutnya selalu tersisir rapi ke belakang. Sekarang kacamatanya entah ke mana, rambutnya menjuntai di dahi. Ini sih kayak Clark Kent di Superman. Dari cowok pemalu berkacamata tahu-tahu jadi jagoan. Untung aja Rio nggak pakai kolor di luar kayak Superman, hehe.
Tapi serius, pemandangan ini benar-benar bikin seisi lapangan melotot. Siapa cowok keren yang tiba-tiba nongol jadi kapten itu? Cewek-cewek histeris dapat incaran baru. Rio is totally different, tiba-tiba jadi selebriti. Ify merasakan dadanya berdesir lagi.
Hah, nggak bisa, nggak bisa. Ini penipuan namanya. Dasar cowok sok jaim. Masa gue naksir lagi gara-gara dia melepas kacamata? No way. Tadi emang cuma sugesti. Nggak banget deh naksir cowok split personality gitu, umpat Ify dalam hati. Apa maksudnya coba, pura-pura jaim pakai kedok pemalu kayak gitu?
Pertandingan berjalan seru. Ternyata si Rio canggih juga. Permainannya benar-benar lihai. Kaki terkilir yang dibicarakannya di kantin tak terlihat bekasnya sama sekali. Dia terlihat lincah berlari ke sana-sini. Poninya melambai-lambai tertiup angin waktu dia berlari, sesekali jatuh di dahi. Cewek-cewek histeris melihat idola baru mereka beraksi.
“Aihhhh... gileeeee. Nggak nyangka gue. Keren abiiiiiisssssss,” jerit seorang cewek histeris sambil melambai-lambaikan benderanya.
“Iya, ya. Rio kok beda banget,” suara Shilla yang lembut menimpali hampir tak terdengar.
“Apa, Shill?”
“Rio keren,” ucapnya lebih keras.
Ify menautkan alisnya sambil merengut.
“Kok lo bukannya seneng sih? Kan tambah satu lagi cowok keren di kelas kita.” Shilla terheran-heran melihat reaksi Ify.
“Sebel aja. Apa maksudnya coba, tampil kayak cowok pemula tiap hari? Ini penipuan namanya!” sungutnya.
“Malu kali,” celetuk Alvin.
“Malu kenapa? Keren kok malu.”
“Ya malu aja. Mana gue tau kenapa? Kan gue bilang kali aja dia malu. Bisa aja kan cakep-cakep dia bolot misalnya?”
“Itu sih maunya lo, dasar sirik,” timpal Shilla. Alvin langsung ciut. Kok kecengannya itu sadis banget.
“Uh, emang artis,” sungut Ify.
“Kok sewot sih, Fy?” Shilla ikut-ikutan jadi pembela Rio.
“Besok dunia pasti kebalik,” ucap Ify.
Shilla dan Alvin berpandang-pandangan. “Maksud lo?”
Ify diam tak menjawab. Dia kembali sibuk berkonsentrasi pada pergumulan di lapangan. Rio masih lincah berlari-lari. Tampaknya tim sekolah mereka bakal menang. Dilihatnya Gabriel dengan tangan di-gips duduk di kursi cadangan sambil melompat-lompat girang.
“Kami cinta Indonesia, kami cinta Tri Persada. Yes! Yes! Horeeeee...”
Riuh rendah yel-yel suporter membakar semangat seluruh anggota tim. Bendera-bendera bau yang sempat bikin hidung Ify bengek berkibar-kibar di tangan para suporter.
“Nggak sia-sia gue ngerapiin bendera-bendera itu,” Ify nyengir bangga.
Pertandingan makin seru. Waktu tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya setelah perjuangan abis-abisan SMA Tri Persada mengalahkan lawannya 3-1. Suporter SMA Tri Persada langsung berteriak girang. Mereka mengelu-elukan nama Rio yang dianggap sukses membawa timnya pada kemenangan. Sepertinya Rio bakal jadi the next idol nih.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
***
SETUMPUK bendera warna-warni dan spanduk raksasa tergeletak di atas meja Ify. Sore ini hari H-nya liga SMA yang bikin heboh itu. Sialnya, Ify dapat tugas jadi koordinator suporter kelas mereka.
“Gila, kenapa musti gue, coba? Emang gue ada tampang suporter sejati? Emang gue punya tampang maniak bola? Mana ni bendera bau, lagi. Bekas kali!!!!” Mulut kecil Ify merepet persis petasan banting. Berisik banget. Rambut cepaknya jadi kusut karena keseringan digaruk-garuk pake tangan dibantu dengan tenaga dalam.
Alvin buru-buru ambil tindakan bantu-bantu Ify, sebelum mejanya yang nempel sama meja Ify ikut diobrak-abrik.
“Non, jangan ngamuk gitu dong. Sini, sini gue bantuin. Lagian ada untungnya lho dapet kepercayaan gini...” ujar Alvin sok bijak. Tangannya sibuk memilah bendera-bendera kecil untuk dibagi-bagikan.
Ify melotot sampai matanya jadi gede banget. “APA? Ayo sebutin satu keuntungannya... SEBUTIN!!!”
Alvin jadi gelagapan. “Em... anu... untungnya... untungnya... satu ya?”
“Apa hayo, apa???” cecar Ify rese.
“Yeee... kok jadi marah sih? Kan gue cuma berusaha menghibur.”
Bibir Ify makin manyun. Tangannya kembali sibuk mengobrak-abrik bendera-bendera suporter yang menggunung di mejanya.
Shilla akhirnya datang sambil melenggang santai. Dia tampak bingung melihat Ify dan Alvin sibuk dengan setumpuk kain warna-warni di depan mereka.
“Woi! Pada ngapain sih? Sumbangan buat korban banjir ya?” tanya Shilla polos dengan suaranya seperti biasa, lembut dan mendayu-dayu. Tapi kalimatnya bikin Ify dan Alvin melongo.
“Hah? Pertanyaannya ada yang lebih intelek nggak? Masa iya kain-kain nggak jelas bentuknya gini buat korban banjir? Mau buat apaan? Ngepel?” Ify darah tinggi. Alvin yang sesak napas mencium bau tumpukan kain di depannya sudah nggak bisa ngomong lagi, cuma bisa mengangguk penuh semangat.
“Lho, kok jadi darah tinggi gitu? Gue kan cuma nanya. Lagian ini apaan sih?”
“Bu Winda, wali kelas kebanggaan kita itu, tiba-tiba memercayakan tugas mulia ini ke gue. Ternyata hukuman gara-gara gue terlambat belum berakhir,” keluh Ify panjang-lebar.
“Tugas mulia apa?” Shilla masih belum mengerti juga.
“Jadi koordinator suporter kita yang heboh itu,” jawab Ify putus asa. “Lo nggak ada niat bantuin kita, Shill? Cuma mau nonton doang?” tanyanya lemas.
Shilla meletakkan tas di bangku Alvin dan langsung ikut sibuk sebelum rambut Ify tambah jigrak karena meledak marah.
Tiba-tiba sepasang tangan lain ikut membantu.
“R-Rio...?” saking kagetnya, Ify cuma bisa bilang begitu, mirip adegan sinetron. Norak banget.
“Kalo bertiga doang, kapan beresnya?” jawab Rio pendek dan terus bekerja sambil diam.
Pekerjaan memilah-milah bendera berlangsung hening. Ify yang paling nggak bisa diam mulai jebol pertahanannya. Kalau semua pada ikut diam gara-gara Rio, bisa-bisa jadi bisu beneran.
“Yo, mobil lo gede banget ya? Nggak berat tuh?” Ify memulai pembicaraan dengan topik yang sangat tidak penting. Memangnya mobil buat diangkat-angkat, apa?
“Nggak berat kok, mobil gede gitu enak, mantep. Tapi gue lebih suka kalo setirnya agak berat,” jawab Rio sambil terus menatap bendera-bendera di tangannya dari balik kacamatanya.
“Kok gitu?” Shilla ikut nimbrung.
“Kalo buat gue, mobil Jeep gitu lebih enak sedikit berat. Biar nggak oleng.”
“Lo suka Jeep ya?” tanya Ify masih penasaran.
Rio mengangguk. “Gue suka banget offroad,” jawabnya sambil tersenyum, tampak senang dengan pertanyaan Ify.
Hah? Offroad? Ify terkaget-kaget dalam hati. Si pendiam satu ini penuh kejutan juga. Pemain sepak bola, offroader. Ify jadi mulai kagum sama Rio. Tanpa sadar pipi Ify bersemu merah. Aduuuhhh... kok jadi kagum sama Rio? Masa naksir sih? Ify menggeleng-geleng tak percaya.
“Fy, Fy... lo kenapa? Pusing ya? Pusing?” Alvin panik melihat Ify geleng-geleng kepala.
“Lo mau gue anter ke UKS? Lo kebanyakan nunduk kali, Fy.”
Duh, Rio ikut-ikutan, lagi. Ify geleng-geleng tambah kenceng. Jelek banget. Mana muka Rio deket banget, lagi. Wuih... sepasang mata di balik kacamata minusnya ternyata keren juga. Mampus gue, masa sih gue beneran naksir Rio? Ucap Ify dalam hati.
Shilla mengguncang-guncang bahu Ify tiba-tiba, ngeh kalau Ify mulai kehilangan kewarasannya. Hehehe.
“Lo kenapa sih?”
Ify tersadar dan langsung malu. “Ah... eh... nggak, nggak. Gue nggak pa-pa. Tau-tau gue kayak terbayang-bayang lagunya Maroon 5, This Love. Tau, kan... This love..” begitu sadar Ify jadi tolol dan nyanyi Maroon 5 sambil cengengesan.
Shilla menatap Ify curiga. “Lo kebayang Maroon 5 atau house music? Kok gedek-gedek gitu, kayak orang tripping,” selidiknya.
Rio dan Alvin cengengesan bingung. Aneh banget sih.
Mereka mulai sibuk lagi. Tapi sekarang benar-benar dalam diam. Yang lain diam kebingungan, Ify diam melamun. Wah, kayaknya dia bener-bener suka.
Ah, kenapa musti Rio sih? Cowok gagu gitu sama cewek. Mana mungkin gue yang nyatain duluan? Lagian PDKT-nya mau sampe kapan? Mending kalo dia juga suka sama gue. Orang dia baik banget sama semua orang. Ramah sama semua orang, biarpun dengan gayanya yang dingin itu. Terus, siapa tahu dia udah punya cewek. Ah, pendiam begitu mana mau pacaran? Lupain aja deh, Ify ngedumel bimbang dalam hati.
Ify membalas tatapan Alvin yang dari tadi melirik ke arahnya. Alvin mendelik-delik memberi kode “lo kenapa sih?”
“Beressss...” Sambil merentangkan tangannya Ify berteriak lega.
“Busyeeetttttttttt, tangan gue bau banget. Gue cuci tangan dulu, ya,” Alvin melesat ke kamar mandi.
“Iya nih, bau banget. Gue juga ah.” Shilla ikut-ikutan.
“Kayaknya kalian musti lari deh. Bentar lagi Pak Dave masuk,” Ify mengingatkan sambil memasukkan bendera-bendera tadi ke kardus mie instan.
“Lo nggak cuci tangan?” tanya Rio.
“Nggak ah. Males gue. Ntar aja kalo gue udah megang bendera-bendera bau ini sepuluh kali, baru gue cuci tangan,” jawab Ify asal.
Rio nyengir. Dasar gokil. “Ya udah, gue balik ke bangku gue dulu,” katanya sambil melengang pergi.
“Thanks ya, Yo...” Ify melambaikan tangan lemas. Jantungnya sudah normal kembali. Pasti tadi cuma karena muka Rio terlalu dekat, dan cowok itu ngomongin hal-hal keren yang bisa bikin cewek berimajinasi yang keren-keren pula.
“Fiuuuuhh... ternyata tadi perasaan doang.” Ify membuang napas lega.
***
Stadion Gelora Muda yang jadi tempat terselenggaranya liga SMA sudah penuh sesak dengan para penonton yang sebagian besar siswa sekolah yang bertanding. Suporter SMA Tri Persada berkumpul di satu sisi lapangan. Mereka sudah memegang bendera yang dibagikan Ify tadi siang. Hari ini SMA Tri Persada akan melawan SMA Bakti Utama.
Suara penonton terdengar riuh rendah. Kompetisi liga SMA kali ini dimeriahkan penampilan marching band sekolah masing-masing. Di tengah kumpulan colour guard alias pemain bendera tim marching band SMA Tri Persada, terlihat Agni, cewek paling centil satu sekolah, berjingkrak-jingkrak heboh. Dandanannya menor berat kayak lenong. Rupanya itu yang bikin penonton heboh. Agni lebih mirip maskot daripada colour guard.
“Fy, si Agni pake doping kali ya?” ujar Shilla geli sambil memandang Agni.
“Gue rasa dia sebentar lagi ngejungkel. Gila apa, sepatu bot gitu dipake jejingkrakan kayak monyet lepas dari kebun binatang.” Ify cekikikan.
“DOR!”
“Alviiiiiiinnn...” Shilla mengelus dadanya kaget. Ini anak kurang kerjaan amat.
“Gimana, gimana?” Alvin memaksa duduk di antara Ify dan Shilla. Tangan kirinya menenteng sekantong plastik camilan.
“Lo mau nonton bioskop apa mau nonton bola sih? Aduuuhhh... lo jangan nyempil gini dooongg. Pantat gede... uh... sempit, tau!” Ify ngomel-ngomel.
“Aduuuuhh... panasnyaaa?” Alvin mengipas-ngipas dengan tangannya.
“Iya lah, namanya juga stadion bola. Lo kira mal, dingin?” Ify mencubit pinggang Alvin.
“ADUUUUUHHH!!!”
Shilla juga ikut-ikutan sibuk kipas-kipas. Rambutnya digelung tinggi-tinggi karena gerah.
“Ini, lagi ikut-ikutan. Lo berdua tari kipas aja gih. Hehehe...” Ify menaikkan sebelah alisnya. Mendadak tampangnya berubah jail.
“Eh tau nggak, setelah gue liat-liat ya...” Ify mengusap-usap dagunya.
“Ify, please...” Alvin menatap memelas. Anak ini pasti mau ngomong yang aneh-aneh deh.
“Kayaknya lo berdua...”
“Bakpao isi kacang ijo!!!” pekik Alvin mendadak.
Shilla dan Ify melotot heran.
“Gue suka banget bakpao isi kacang ijo. Lo suka nggak, Shill? Ntar gue beliin deh.” Keringat sebesar butiran jagung meluncur di dahi Alvin. Kenapa juga otaknya cuma bisa menemukan kata bakpao isi kacang ijo di saat genting seperti tadi.
Kali ini Shilla yang mendelik. “Lo kenapa sih? Eh, tadi lo mau ngomong apaan, Fy? Kita berdua kenapa?”
“Iya, tadi gue mau bilang, kayaknya lo berdua...”
“Dodol duren juga gue suka!” pekik Alvin lagi.
“Alvin! Lo kenapa sih? Nggak penting banget deh. Ify kan mau ngomong. Jangan dipotong-potong gitu dong! Kan jadi nggak jelas. Lo mau ngomong apaan tadi, Fy? Awas aja ya kalo lo motong lagi. Mau lo doyan bakpao kek, dodol kek, gue nggak peduli,” ultimatum Shilla galak.
Alvin langsung bungkam. Jantungnya dag-dig-dug nggak keruan. Matanya berkedip heboh memberi kode pada Ify supaya jangan ngomong aneh-aneh.
Ify tersenyum jail. Menarik napas dalam-dalam. “Menurut gue, kayaknya lo berdua boleh juga sekali-sekali nyobain makan di warung bubur ayam yang baru di deket rumah gue. Enak banget deh,” katanya sambil cengar-cengir ke arah Alvin yang kelihatan nyaris pingsan waktu denger kalimat Ify yang sama sekali jauh dari bayangan. “Kok lo kaget gitu, Vin?”
“Apa hubungannya sama kita berdua yang sama-sama sibuk kipas-kipas?”
Ify mengangkat bahu. “Nggak ada,” jawabnya cuek.
“Nggak ada?!”
“Lho, emangnya wajib ada hubungannya?”
Alvin langsung lemas. Dasar jail!
Dua tim yang akan bertanding sudah tampak di lapangan. Mereka berbaris dan berfoto bersama terlebih dulu. Lalu mereka bersalaman. Selanjutnya kapten masing-masing tim maju dan wasit melempar koin menentukan bola pertama.
Tapi kok... lho.. lho? Ada yang aneh deh. Itu kan bukan Gabriel. Ify menyipitkan mata. Ia yakin itu bukan Gabriel.
“Shill, lo liat deh. Itu bukan Gabriel, kan?” Ify menyikut pinggang Shilla.
Shilla ikut-ikutan menyipitkan mata. “Vin, liat, Vin. Gabriel bukan sih?”
Alvin juga ikut-ikutan. “Iya tuh, bukan Gabriel. Siapa sih?”
Sepertinya suporter Tri Persada mulai sadar kapten tim mereka bukan Gabriel. Suara gaduh penonton membahana. Semua penasaran siapa cowok berambut lurus belah tengah dan berkulit putih yang mirip tokoh komik-komik Jepang itu.
Di tengah suara keheranan penonton, tiba-tiba pengeras suara berbunyi.
“Perhatian. Kami ingin mengumumkan, karena Gabriel Stevent, kapten tim SMA Tri Persada mengalami cedera saat latihan, maka kapten tim SMA Tri Persada digantikan oleh Mario Stevan. Terima kasih.” Pengumuman singkat dari Pak Jo, pelatih tim sekolah, cukup dahsyat dan langsung membuat gempar.
“HAH??? Rio? Rio si pendiam?” jerit Ify.
“Yang bener?” Shilla kaget setengah mati.
“Tuh, kan. Bener dugaan gue. Anak baru itu pasti nyembunyiin sesuatu. Sok jaim doang.”
Ify memandang cowok keren di lapangan itu. Masa iya itu si Rio? Biasanya Rio tidak pernah lepas dari kacamatanya. Rambutnya selalu tersisir rapi ke belakang. Sekarang kacamatanya entah ke mana, rambutnya menjuntai di dahi. Ini sih kayak Clark Kent di Superman. Dari cowok pemalu berkacamata tahu-tahu jadi jagoan. Untung aja Rio nggak pakai kolor di luar kayak Superman, hehe.
Tapi serius, pemandangan ini benar-benar bikin seisi lapangan melotot. Siapa cowok keren yang tiba-tiba nongol jadi kapten itu? Cewek-cewek histeris dapat incaran baru. Rio is totally different, tiba-tiba jadi selebriti. Ify merasakan dadanya berdesir lagi.
Hah, nggak bisa, nggak bisa. Ini penipuan namanya. Dasar cowok sok jaim. Masa gue naksir lagi gara-gara dia melepas kacamata? No way. Tadi emang cuma sugesti. Nggak banget deh naksir cowok split personality gitu, umpat Ify dalam hati. Apa maksudnya coba, pura-pura jaim pakai kedok pemalu kayak gitu?
Pertandingan berjalan seru. Ternyata si Rio canggih juga. Permainannya benar-benar lihai. Kaki terkilir yang dibicarakannya di kantin tak terlihat bekasnya sama sekali. Dia terlihat lincah berlari ke sana-sini. Poninya melambai-lambai tertiup angin waktu dia berlari, sesekali jatuh di dahi. Cewek-cewek histeris melihat idola baru mereka beraksi.
“Aihhhh... gileeeee. Nggak nyangka gue. Keren abiiiiiisssssss,” jerit seorang cewek histeris sambil melambai-lambaikan benderanya.
“Iya, ya. Rio kok beda banget,” suara Shilla yang lembut menimpali hampir tak terdengar.
“Apa, Shill?”
“Rio keren,” ucapnya lebih keras.
Ify menautkan alisnya sambil merengut.
“Kok lo bukannya seneng sih? Kan tambah satu lagi cowok keren di kelas kita.” Shilla terheran-heran melihat reaksi Ify.
“Sebel aja. Apa maksudnya coba, tampil kayak cowok pemula tiap hari? Ini penipuan namanya!” sungutnya.
“Malu kali,” celetuk Alvin.
“Malu kenapa? Keren kok malu.”
“Ya malu aja. Mana gue tau kenapa? Kan gue bilang kali aja dia malu. Bisa aja kan cakep-cakep dia bolot misalnya?”
“Itu sih maunya lo, dasar sirik,” timpal Shilla. Alvin langsung ciut. Kok kecengannya itu sadis banget.
“Uh, emang artis,” sungut Ify.
“Kok sewot sih, Fy?” Shilla ikut-ikutan jadi pembela Rio.
“Besok dunia pasti kebalik,” ucap Ify.
Shilla dan Alvin berpandang-pandangan. “Maksud lo?”
Ify diam tak menjawab. Dia kembali sibuk berkonsentrasi pada pergumulan di lapangan. Rio masih lincah berlari-lari. Tampaknya tim sekolah mereka bakal menang. Dilihatnya Gabriel dengan tangan di-gips duduk di kursi cadangan sambil melompat-lompat girang.
“Kami cinta Indonesia, kami cinta Tri Persada. Yes! Yes! Horeeeee...”
Riuh rendah yel-yel suporter membakar semangat seluruh anggota tim. Bendera-bendera bau yang sempat bikin hidung Ify bengek berkibar-kibar di tangan para suporter.
“Nggak sia-sia gue ngerapiin bendera-bendera itu,” Ify nyengir bangga.
Pertandingan makin seru. Waktu tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya setelah perjuangan abis-abisan SMA Tri Persada mengalahkan lawannya 3-1. Suporter SMA Tri Persada langsung berteriak girang. Mereka mengelu-elukan nama Rio yang dianggap sukses membawa timnya pada kemenangan. Sepertinya Rio bakal jadi the next idol nih.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar