DUA
***
HARI INI Ify benar-benar sial. Jazz kuning kesayangannya mogok gara-gara dibawa nge-date sama Cakka. Yang punya salah sama sekali tidak bertanggung jawab, pagi-pagi buta Cakka kabur berangkat sekolah naik bus kota. Kabur menyelamatkan diri sebelum dibombardir kata makian dan timpukan benda-benda ajaib oleh Ify.
“Maaa... aku nggak usah sekolah deh ya?” rengek Ify.
Tidak terbayang olehnya berangkat sesiang ini dari rumah naik bus kota. Bisa-bisa baru besok nyampe sekolah. Mana pelajaran pertama Bahasa Indonesia pula. Bu Winda, wali kelasnya, pasti melotot deh. Tapi Mama paling anti anak-anaknya bolos.
“Ify, kamu kan nggak terlambat tiap hari. Masa Bu Winda nggak mau maklum sih?” tukas Mama membela Bu Winda.
“Aduuuh, Mama. Nggak tau Bu Winda sih. Dia malah seneng, Ma. Dia kan paling anti sama kita yang bawa mobil. Kesenjangan sosial, katanya. Ngomelnya pasti tambah panjang kalo tau aku telat gara-gara mobilku mogok. Aku kan nggak mungkin bilang busnya mogok juga makanya aku telat, Ma. Ya, Ma, ya? Masa Mama tega sih,” cerocos Ify panjang lebar.
“Kalo masih ngomong terus sama Mama disini, bisa-bisa kamu diomelin sampe pohon Mama yang Mama tanem di belakang berbuah,” ucap Mama tegas.
Ify tahu Mama sudah tidak bisa dibantah. Sambil menekuk bibirnya ke bawah mirip bulldog, dia menenteng tasnya lalu berpamitan. Ia menyeret langkahnya dengan malas. Siapa tau Mama berubah pikiran karena iba. Tapi pastinya sih harapan semacam itu sia-sia. Pokoknya tak ada kata bolos buat Mama. Bolos aja sudah salah. Apalagi kalau ditambah pura-pura sakit. Salahnya jadi dua kali lipat.
Perjalanan dari rumah ke halte depan terasa jauh banget. Ify bolak-balik melirik jam tangannya.
Ada juga sedikit keberuntungan buat Ify hari ini. Bus yang dia tunggu langsung nongol begitu dia sampai di halte. Buru-buru Ify melompat naik ke dalam bus yang penuh sesak itu. Semilir bau-bauan tujuh rupa langsung mampir ke hidung Ify. Dari wangi parfum murahan yang sering diobral di kios-kios, sampai wangi sabun colek bercampur keringat.
Gaya melompatnya dibuat senatural mungkin supaya terlihat sudah ahli. Ify takut ada yang tahu kalau dia jarang naik bus, kemudian dijailin, dicopet, di-hiiii. Di dalam bus Ify nyaris tidak bisa bernapas. Tinggi badannya yang pas-pasan membuat posisinya sangat tidak menguntungkan. Mukanya persis berhadapan dengan ketiak bapak brewokan yang baunya minta ampun.
Ify setengah mati menahan napas. Saking kuatnya menahan napas, sampai-sampai Ify kentut sedikit.
“Bang, nggak ada tempat kosong nih?” Ify bertanya pada kenek sambil menyerahkan ongkosnya.
“Non, namanye juge bus kote. Ye untung-untungan aje. Kalo dapet ye untung, kalo kagak ye apes, nyiumin ketek,” jawab Si Abang kenek nyebelin. Sementara Si Bapak brewok mendelik karena merasa tersindir.
Perjalanan dua puluh menit itu sungguh menyiksa buat Ify. Mana Si Bapak belum turun-turun, lagi. Otomatis ketiaknya makin amit-amit baunya gara-gara keringat. Ify bergidik sedikit waktu matanya tertuju pada noda kekuningan di ketiak kemeja putih Bapak itu. Orang ini nekat juga. Jelas-jelas produksi keringatnya berlebihan, masih ngotot pakai baju putih. Dan dasinya? Ya ampun! Beli dimana dia dasi berpola bunga matahari yang noraknya melewati batas normal kenorakan manusia biasa itu?
***
Bus berhenti di halte depan sekolah Ify. Dengan gerakan superlincah Ify menerobos ketiak-ketiak para penumpang yang terangkat, lalu melompat turun. Aaahh... udara segar.
Mata Ify tertuju pada Bapak brewok tadi, yang juga turun di halte sekolahnya. Pengalaman mencium ketiaknya selama dua puluh menit membuat Ify tergelitik untuk bertanya.
“Bapak turun disini juga?” tanyanya sok akrab.
Si Bapak menoleh, lalu mengangguk. “Iya. Bapak sih rumahnya memang disini. Tapi lagi bosen aja, Neng, makanya dari subuh Bapak naek bus tadi muter-muter kota. Itu lho, yang kata turis-turis namanya siti tur. Jalan-jalan keliling kota naik bus. Makanya Bapak dandan keren begini.”
Jawaban bapak itu bikin Ify melongo. Kurang kerjaan amat. Mana bau, lagi. “Oh...” tanpa ba-bi-bu lagi Ify berlari menuju gerbang sekolahnya yang sudah sepi.
“Psst, psst, Pak Oni.”
Pak Oni yang asyik tidur di kursi kayu kesayangannya melonjak kaget. “Lho, Non Ify? Mana Si Kuning?” tanya Pak Oni tergopoh-gopoh membuka pagar. Matanya lirak-lirik penasaran mencari Si Kuning.
“Si Kuning lagi demam,” jawab Ify asal. “Makasih, Pak Oni.” Lalu Ify melesat sampai nyaris nyangkut di dahan pohon mangga yang menjuntai.
Kelasnya begitu hening. Pasti Bu Winda lagi menulis teori-teorinya di papan tulis. Gawat. Ini buah simalakama namanya. Masuk, pasti Bu Winda ngamuk. Bolos? Mama yang ngamuk. Ify mengatur napasnya. Sambil mengingat-ingat latihan pernapasan ibu-ibu hamil yang sering dia lihat di TV, Ify mencoba mempraktekkannya dengan modal ingatan yang lupa-lupa ingat, ditambah daya monyong bibir yang maksimal.
“Assalamualaikum.” Suara Ify bergetar persis suara penyanyi seriosa.
“Waalaikumsalam.” Suara berat Bu Winda terdengar bagai petir di siang bolong. Matanya menatap tajam ke arah Ify.
“Ify, Ify, Ify,” ujar Bu Winda menyebut namanya dengan gaya Nyonya-nyonya Belanda. Ify makin keder dibuatnya.
“Kamu sudah terlambat setengah jam. Setengah jam! Kamu tau artinya?”
Tiga puluh menit? Jawab Ify dalam hati. Ify menggeleng-geleng pasrah.
“Kamu sudah melewatkan satu bab penjelasan saya. Mengerti?”
Kali ini Ify mengangguk-angguk.
Bu Winda ini ya, ibaratnya kereta, dia ini kereta ekspres monorail yang supercepat itu. Setengah jam cukup baginya untuk menjelaskan satu bab. Yang tidak menyimak, silahkan terima nasib.
“Ify!” bu Winda membuat Ify terlonjak kaget. Seisi kelas menahan senyum.
“I... iya, b... bu?” rasanya Ify bakal ngompol sebentar lagi. Dia paling tidak tahan dipermalukan di depan umum.
“Kamu sudah sangat rugi karena saya tidak akan mengulang. Sekarang cari tempat duduk kamu!”
Ify mengalihkan pandangan ke arah bangkunya. Hah? Siapa tuh yang duduk di bangkunya?
Seorang cowok yang tidak dia kenal duduk di bangkunya di sebelah Alvin. Ify menatap Shilla dengan tatapan bertanya-tanya. Shilla cuma balas menatap pasrah dari bangkunya di sudut lain.
“Bangku saya ada orangnya, Bu...” suara Ify semakin hopeless.
“Ya, memang ada orangnya. Memang buat duduk orang toh? Kalau saya taroh sapi di bangku kamu, baru kamu boleh heran,” tukas Bu Winda cuek sambil terus menulis di papan tulis. Ify makin bingung. Masa berdiri sampai pelajaran selesai sih?
“Ify, karena saya pikir kamu tidak mungkin datang, jadi bangku kamu saya berikan pada orang lain. Kamu silahkan duduk di bangku saya. Cari jalan keluarnya setelah pelajaran saya,” jelasnya tegas.
Walhasil, dua jam pelajaran Ify duduk di meja guru. Tengsin-sin.
***
“Gue titip tas.” Ify memasukkan tas ke laci mejanya. Cowok baru itu cuma menatap bingung, lalu mengangguk.
Ify bergegas menghampiri Shilla dan menyeretnya keluar.
“Ntar, ntarrr... gue masukin buku dulu.”
“Buruan, Shill, kita ke kantin kek, ke WC kek, atau ke mana kek.” Ify menarik-narik tangan Shilla. Ujung rambut cepaknya bergoyang-goyang.
Mereka berdua ke kantin, duduk di pojokan tempat Mang Dep, Si tukang bakso.
“Dua, Mang. Biasaaa, spesial buat kita,” Ify memesan.
Mang Dep dengan cekatan membuat dua mangkok bakso pesanan pelanggannya yang cantik-cantik.
“Shill, tuh cowok siapa sih? Kok duduk di bangku gue sih?” sambil mengomel, tangan Ify sibuk menuang sambal Mang Dep yang pedasnya minta ampun.
“Anak baru. Namanya Rio, dari Amerika katanya. Keren ya?” jawab Shilla yang sibuk memotong baksonya jadi kecil-kecil supaya mulutnya yang imut tak harus mangap selebar buaya untuk melahap bulatan daging yang enak itu.
“Yeee... bukan waktunya deh, Shill, ngomong gitu. Dia duduk di bangku gue kok lo sebut dia keren?”
“Lo kayak nggak tau Bu Winda aja, Fy. Lo tadi telat, nggak ada berita. Bu Winda yakin banget lo pasti bakal dateng, makanya bangku yang dianter Pak Oni buat Rio dia suruh balikin lagi. Buat ngehukum lo.”
Ify melahap baksonya bulat-bulat dengan geram. Dasar bu Winda. “Uhuk... uhuk... air, Shill, air.” Tiba-tiba Ify keselek bakso.
Shilla buru-buru menyodorkan segelas air mineral. “Makanya. Kesel sih kesel, tapi nelen bakso segede bola ping-pong bulet-bulet sama aja bunuh diri. Nggak keren tau, mati keselek bakso.” Shilla cekikikan geli.
“Sialan lo.” Ify mengurut-urut tenggorokannya. “Trus gue gimana dong sekarang?”
“Ngomong aja sama si Rio, suruh dia minta bangku ke Pak Oni.”
“Ih, kan gue nggak kenal.”
“Iya, tapi dia kan anak baru, masa dia nggak mau.”
Shilla menuang kecap banyak-banyak ke potongan-potogan kecil baksonya dan menyuapnya satu per satu.
“Kelamaan!” Ify meraup semua bakso dari mangkok Shilla dengan sendok dan melahapnya.
“Ifyyyyy...! Itu gue save the best for last.”
“Gue nyelametin lo, tau. Masa telat masuk kelas gara-gara motongin bakso jadi kecil-kecil. Mendingan gue, gara-gara mobil mogok.” Ify tertawa terbahak-bahak sambil kabur.
“Bayar ya, Shill!” teriaknya dari kejauhan.
“Kurang ajaaaar...” teriak Shilla.
***
“Gue Ify,” Ify memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Gue tau.” Cowok itu membalas uluran tangan Ify.
“Nama lo ‘Tau’?” tanya Ify bego. “Katanya Rio.”
“Nama gue Rio. Tapi gue tau kalo nama lo Ify.” Suaranya berat dan agak serak. Bruce Willis, kali.
“Lo tau juga dong itu bangku gue?”
Rio mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Gue nggak mau pindah. Lo pindah, ya? Ya, ya? Gampang kok, tinggal minta bangku ke Pak Oni.”
Rio tersenyum lagi. Agak kaget mendengar Ify yang supercuek memperkenalkan diri hanya demi mendapatkan bangku kesayangannya kembali.
“No problem. Nanti gue ke Pak Oni. Thanks.”
Ify mengacungkan jempol ke arah Rio. “Thanks ya, Rio.”
“Eh, keren juga nama lo, Yo!” sambung Ify sambil melompat-lompat ke arah Shilla, persis kelinci.
“Gimana, oke kan?” Shilla menyambut Ify.
“Siiip. Tapi orangnya dingin amat. Untung mau pindah. Kalo nggak gue mesti duduk sendirian. Tidaaakk, gue udah soulmate banget, lagi, sama si lebay Alvin.” Ify cengengesan membayangkan tampang Alvin, sobat sekaligus teman sebangkunya yang merasa dirinya cowok terkeren seantero sekolah dan berbadan paling oke, harus duduk sama cowok sedingin Rio. Bisa gila Alvin kalau sehari aja nggak ngomongin soal penampilan. Atau baju terkeren dengan model tergaul keluaran terbaru. Dasar lebay. Cita-citanya aja sudah jelas. Model atau bintang sinetron. Supaya gampang menggaet cewek-cewek paling keren dan terkenal, pastinya.
“Ntar sore jadi ke rumah gue, Fy?”
“Jadi dong. Gue perlu bawa apa nih dari rumah?”
Malam ini giliran Ify menginap di rumah Shilla. Biasa... pajamas party, tapi cuma berdua. Ngegosip, nonton VCD, haha-hihi, kayak remaja-remaja bule.
“Bawa bakso mentahnya ibu yang mangkal di sebelah rumah lo itu aja. Bakso goreng enak kali, buat ngemil,” usul Shilla.
“Beres.”
Dua cewek centil itu langsung masuk ke kelas dan duduk begitu bel berbunyi. Hoaahhmmm, pulangnya masih lama nih.
***
Rumah Shilla yang serbaputih itu tampak mencolok dari tikungan. Ify sudah mengendarai si kuning kesayangannya. Rupanya waktu Ify pergi ke sekolah, Mama dengan baik hati pulang dulu dari kantornya pas jam makan siang dan membawa montir dari kantor Papa yang sedang dinas selama satu tahun di kuala lumpur.
Ify membunyikan klaksonnya di depan pagar rumah mewah Shilla.
Mang Chiko membuka pagar dan mempersilahkan Ify masuk. Mang Chiko ini lucu deh. Ketika baru datang dari kampung, dia kaget banget waktu Ify memanggilnya lewat interkom. Mang Chiko lari terbirit-birit sambil berteriak histeris. Gigi palsunya terlempar lima meter akibat berteriak terlalu heboh.
“Mang Chiko, Shilla mana?”
“Ada, Neng. Lagi duduk di kolam renang.”
“Hah?”
Sambil mengangkut gembolan tas sebesar koper untuk naik haji, Ify menghampiri Shilla yang sedang duduk santai di tepi kolam renang.
“Shill, bantuin gue dooong...”
“Wah, bawaannya kayak pengungsi Afghanistan. Banyak amat.”
Shilla buru-buru membantu Ify yang cemberut kerepotan. Mereka langsung naik ke kamar Shilla.
Ify menjatuhkan badan di ranjang Shilla yang bernuansa pink. Girlie banget. Kasur pink, bed cover pink, selimut pink, boneka pink, semua pink.
“Huaaaahhh... capek gue. Bad day hari ini. Gara-gara ketek Si Bapak brewok.”
“Hihihi... lagian, kenapa juga lo ngadep ke ketek dia?” Shilla melempar sekaleng jus dari freezer mininya.
“Hahaha... lo pikir gue ada pilihan, hah? Kalo ada, gue udah taro muka gue di jendela. Masalahnya di belakang gue lebih parah.” Ify menenggak jusnya.
“Memangnya ada yang lebih parah daripada ketek bapak-bapak brewokan, Fy?”
“Hah! Ada mas-mas yang tingginya setinggi gue, Shill, daaaaannn nggak kalah baunya dari si bapak brewok. Daripada gue ciuman sama mas-mas itu waktu bus ngerem mendadak, mending gue nyium bau ketek, tau! Nggak rela ciuman pertama gue direbut bibir jontor Si Mas itu. Mick Jagger mending. Ih!”
“Hahaha...!!!” Shilla tertawa histeris membayangkan tampang Si Mas dan Bapak brewok. Benar-benar buah simalakama.
***
Source: MISS CUPID, Mia Arsjad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar