Rabu, 22 Agustus 2012

MISS CUPID - 4


EMPAT

***

KRIIIIIIIIIIINGGGGGGGGG...

Telepon di rumah Shilla berdering nyaring.

“Ya, halo?”

“Shill, gue nih.” Terdengar suara Ify di seberang sana.

“Hoaaaahhmmm... oh lo, Fy. Apaan sih, siang bolong gini nelepon? Gue lagi tidur siang, tau.”

“Yeee... hari Minggu dipake tidur. Gembrot lo ntar, tau rasa. Kalo sibuk diet gue juga yang susah. Masa lo yang diet gue ikutan nggak boleh makan,” cerocos Ify.

Shilla terkekeh. “Iya, iya, cerewet. Ada apa?”

“Lo mau ikutan nggak sore ini?”

“Kemana?”

“Latihan jadi suporter tim sepak bola sekolah. Mereka kan mau ikutan liga.”

“Kok suporter latihan?”

“Usulnya Bu Winda tuh. kan kaptennya Gabriel, jadi dia pengen dukungannya seheboh mungkin. Kita bakal latihan bikin ombak-ombak gitu deh. Sama yel-yel. Yuk, kelas kita wajib lho,” Ify menjelaskan panjang-lebar.

Shilla memuntir-muntir kabel telepon. Sebenarnya hari ini dia mau berleha-leha sampai siang. Rese banget sih Bu Winda. Ganggu hari libur orang aja.

“Yah... kalo gitu sih jawabannya musti iya dong,” jawab Shilla.

“Emang.”

“Alvin ikut?”

“Ya ikut. Dia kan kegatelan. Biar latihan suporter doang, kan lumayan tuh buat banci tampil kayak dia. Biar cewek-cewek pada nempel kali,” sungut Ify.

Shilla tertawa geli. “Dia tuh suporter sejati. Lagian lo sewot amat si Alvin doyan tampil gaya?”

“Tampil gaya? Tampil heboh kali. Eh, kok lo belain dia sih? Emang lo suka ya sama si Alvin?” pancing Ify usil. Kali aja misinya langsung berhasil.

“HAH?” pekikan Shilla bikin Ify nyaris budek. “Kok lo nanyanya aneh gitu sih? Masa gue naksir Alvin? Lagian siapa yang belain? Lo ngaco banget sih, kayak baru kenal Alvin aja. Dia kan emang gitu bawaannya,” cerocos Shilla.

“Iyaaaa... iyaaaa... kan siapa tau. Iseng aja gue nanya. Jadi intinya lo nggak naksir Alvin, kan?”

“Ify!”

“Iyaaa... iyaaa... ya udah. Jadi, lo jemput gue jam berapa?”

Shilla melotot. “Kok gue yang jemput? Kan lo yang ngajak?”

Ify cekikikan kayak kuntilanak. “Abis si Kuning dipake nge-date lagi sama Cakka. Gue sumpahin mogok!”

Shilla menghela napas. Kelakuan. “Ya udah, jam setengah empat.”

“Siiiipp. Udah ya? Mata nyokap gue udah mau keluar tuh, kebanyakan melototin gue. Bye.”

Shilla buru-buru lari ke kamarnya. Secepat kilat dia mengeluarkan baju-bajunya dari lemari. Nggak boleh saltum, harus modis, harus keren. Jarang-jarang kegiatan sekolah bisa pakai baju bebas.

Akhirnya pilihan Shilla jatuh pada jins Levi’s warna biru tua belel yang superhipster, tank top putih bentuk singlet yang lagi ngetren dengan gambar apel di tengahnya. Sepatu sneakers-nya yang berwarna putih bersetrip hijau sudah nangkring di depan lemari.

Rupanya kegiatan Shilla pilih-pilih baju cukup lama. Diliriknya jam dinding pink yang menggantung. Sudah jam setengah tiga. Ia buru-buru mandi, dandan, dan melaju ke rumah Ify dengan BMW putihnya.

Ponsel Shilla berbunyi. “Halo?”

“Sampe mana nih, Shill?” rupanya Ify.

“Gue sebentar lagi nyampe di depan pager rumah lo. Itung mundur aja dari sepuluh,” jawab Shilla.

“Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu...” dengan tololnya Ify nurut. “Mana???”

“Kan gue bilang itung mundur dari sepuluh. Gue nggak bilang sampe berapa, kan?” Shilla tersenyum penuh kemenangan.

“Oke... min satu, min dua, min tiga...” lanjut Ify.

“Bloon! Nih gue udah sampe!” Shilla cekikikan mendengar kelakuan sobatnya.

Dilihatnya Ify berlari-lari kecil menuju mobilnya. Ify mengenakan T-shirt hijau, upeti dari Sivia. Celana jinsnya model kebanjiran dengan sepatu boxing berwarna putih setrip hijau-hitam. Ify itu memang cute, kayak orang Jepang. Rambutnya dihiasi bandana putih.

“Hehe... lo terlambat minus tiga detik,” celetuknya begitu masuk mobil.

“Lol!”

“Dari salon, Shill? Rambutnya lurus bener.”

“Sirik. Rambut gue kan emang selalu indah,” canda Shilla sambil mengibaskan rambutnya, lalu menjawil rambut Ify. “Abis duduk dalam pesawat jet, Fy? Kok rambutnya berdiri semua?” balasnya.

Ify ngakak. “Rambut gue kan selalu berdiri. Melambangkan kemerdekaan,” jawabnya asal.

Shilla kembali memacu mobilnya menuju rumah Alvin. Cowok itu dengan segala usaha juga minta dijemput. Kalau jalan sendiri naik bus takut keringetan katanya. Dasar.

Rumah Alvin lumayan jauh dari rumah Ify, tapi memang searah menuju lapangan sekolah. Di depan pagar rumahnya Alvin tampak sudah nangkring dengan manis. Bibirnya komat-kamit kepanasan.

DIIIIIIIIIIINNNNN!

“Eh, copot, lepas, copot...!” jeritnya latah.

“Buruan naik,” ledek Ify sambil membukakan pintu belakang.

Dandanan Alvin heboh berat. Kaus kutung warna merah bertuliskan “I’m the one you love” berwarna ungu tua. Celananya dong. Celana jins pipa ala Tao Ming Tse warna hitam, ikat pinggang paku-paku, dan... sepatu model Doc Mart. Rambutnya? Pakai bandana Tao Ming Tse juga. Ya ampuuuuuuunn...

Pertahanan Shilla menahan tawa jebol. “Hahahha... lo mau kemana sih, Vin? Heboh banget. Pesta kostum?” jerit Shilla histeris.

Yang disindir cuma mendelik.

“Kalo gue keren yang untung kan kalian-kalian juga,” ucap Alvin akhirnya.

“Iya nih, Shilla. Sirik aja kalo Alvin mau ikutan lomba mirip Tao Ming Tse,” timpal Ify ngakak nggak kalah geli. “Masa lo nggak sadar Alvin mirip banget Tao Ming Tse sih, Shill? Lo nggak sadar Alvin keren banget?”

Alvin melotot galak. Katanya mau bantuin. Kok ekstrim gitu.
“Tao Ming Tse, mei youw la... hahahah!” Ify lebih histeris lagi.

Alvin bersungut-sungut kesal. Dasar nggak setia kawan. “Udah diem! Gue turun nih!” rajuknya.

“Daaaaaaaaaahhh...!” Shilla dan Ify berbarengan bikin Alvin tambah kesel.

***

“Tuh si Rio. Rajin juga tuh anak baru,” tunjuk Alvin ke luar jendela.

“Hah, mana?” jawab Ify ogah-ogahan.

Shilla masih berkutat parkir paralel. Dia paling benci parkir paralel. Kayaknya Shilla udah pernah nabrak lima kali waktu lagi parkir paralel.

“Tuh, tuh...” tunjuk Alvin lagi.

Ify mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Alvin. Dilihatnya Rio dengan pakaian kasual sedang melangkah menuju stadion. Rambutnya tetap tersisir rapi seperti biasa. Kacamatanya juga bertengger manis di hidung mancungnya.

“Lo berdua kenapa sih? Kan wajar banget Rio disini. Pertama, dia anak kelas kita. Kedua, apa anehnya anak cowok main di stadion?” selidik Shilla usul.

“Tau nih, Ify.”

“Yeee... kok gue sih?” Ify sewot.

Shilla cuma geleng-geleng melihat dua makhluk ajaib itu.

“Udah nih, parkirnya?” tanya Ify saat mobil Shilla benar-benar berhenti.

“Udah deh, nggak usah kurang ajar.” Shilla memasang kunci setir dan merapikan dandanannya lewat spion.

“Maksud Ify, parkirnya kok nggak bunyi, Shill? Tumben,” sambung Alvin serasa dapat angin.

Shilla melotot dan buru-buru keluar dari mobil diikuti Ify dan Alvin.

Dari kejauhan Ify masih bisa melihat sosok Rio berjalan santai menuju lapangan. Dia terlihat berbeda dengan baju bebas. Celana jins gombrongnya terlihat begitu pas dengan T-shirt merah marun yang ia kenakan.

“Ternyata si Rio modis juga ya, Fy?” ucap Shilla seperti membaca pikiran Ify.

Ify mengangguk serius. Biarpun tidak melepas kacamatanya, Rio tetap terlihat lain tanpa seragam sekolahnya.

“Vin, ampun deh. Jangan melongo gitu. Terpesona sih terpesona, kesambet baru tau!” Ify menepuk tangan Alvin.

Pastinya Alvin bukan terpesona. Tapi waspada terhadap ancaman. Kayaknya Rio berpotensi jadi saingan baru nih.

Di dalam arena sepak bola yang berbentuk stadion itu sudah penuh sesak. Sebagian besar bergaya pol-polan agar terlihat mencolok.

“Tau nggak lo? Ini kalo burung udah kayak musim kawin. Liatin aja pada heboh gini. Betina menarik perhatian sang jantan... kuurrr... kuurrrr...” celoteh Ify sambil melihat ke sekelilingnya.

Pandangannya tertuju pada Rio yang ternyata duduk tiga baris di depannya. Dia terlihat asyik sendiri memandang ke arah lapangan. Pasti dia sendirian karena Obuet ikut main dalam tim dan Gabriel belum datang. Atau mungkin dia melamun karena ingat masa jayanya waktu di Amrik. Segala kemungkinan itu mengusik pikiran Ify yang selalu ingin tahu.

Shilla mengoper selembar kertas berisi yel-yel pada Ify. Di sudut kertas itu terlihat tulisan kecil “Oleh : Mrs. Winda.” Apa coba?

Ify terbelalak. “Ih! Norak amat! Ini yel-yel apa puisi cinta?!” pekiknya.

Shilla ikut-ikutan membaca isi kertas itu. “Ihhhhh!”

“Apaan sih?” Alvin merebut kertas yel dari tangan Shilla. “Ih, siapa yang bikin nih?”

Ify heran kenapa Bu Winda tega bikin yel-yel separah ini.

Begini bunyinya :

Kami cinta Indonesia. Kami cinta Tri Persada. Yes! Yes! Horeeeeeeee...

Segera setelah “hore”, semua harus langsung membuat ombak manusia seperti di TV.

“Kok si Rio bawa gembolan sih? Dia mau ikut main kali ya?” ucap Shilla sambil dengan anggun—seperti biasa—menyibakkan rambut.

“Nggak mungkin,” jawaban Ify terdengar pasti, ia masih ingat obrolan tiga cowok itu tentang kaki Rio yang terkilir.

“Tuh, buktinya dia duduk di kursi penonton kayak kita,” tunjuk Ify.

“Iya sih... tapi kali aja dia cadangan,” Shilla masih ngotot.

“Neng, di mana-mana cadangan duduknya juga bareng tim yang lain di lapangan. Masa di kursi penonton? Kayak lagi nyamar aja. David Beckham iya nyamar, nah Rio?” Ify merepet dengan tampang sok jenius.

Tak lama kemudian terlihat Bu Winda melangkah dengan gaya Miss World ke depan tribun. Tangannya memegang tongkat konduktor paduan suara. Gayanya pol abis.

“Busyet, dikira kita mau paduan suara buat world choir, kali ya?” bisik Ify ke kuping Shilla.

“Hihihi... gue rasa ini yel-yel berirama klasik. Aliran Pavarotti gitu.”

“Heh lo berdua! Mending pada diem deh, ntar dibikin malu lagi kayak si Ify. Di depan kelas lumayan, nah ini di depan stadion. Gosipnya bisa nyampe satu kelurahan.” Alvin menyikut Shilla dan Ify. Ini anak memang kadang suka hiperbolis.

Terlihat Bu Winda memegang pengeras suara alias toa dan siap-siap berkoar.

“Anak-anakku sekalian...” mulainya dengan suara menggelegar. “Seperti kalian tahu, minggu depan tim kita akan ikut liga SMA. Untuk mendukung mereka, kita pun harus berlatih menjadi suporter yang baik agar mereka bersemangat.”

Suara Bu Winda berapi-api sambil mengepalkan tinju ke udara. Semangat apa ngajak berantem sih sebenarnya?

“Bagaimana, kalian sudah tau teksnya?”

“SUDAH, BU...” jawab anak-anak serempak.

Akhirnya, dengan segala daya dan upaya mereka berlatih gerakan-gerakan ajaib yang diminta Bu Winda. Bagaimanapun juga, ini toh untuk tim sekolah mereka juga.

Latihan suporter tersebut berlangsung kira-kira satu jam. Bibir mereka nyaris bengkak permanen akibat terlalu sering teriak-teriak.

“Duh, bibir gue perih nih. Jontor, lagi,” keluh Ify sambil mengusap bibirnya.

“Bagus, kan, kayak Angelina Jolie,” sahut Shilla nggak penting. Angelina Jolie apaan, kayak kesengat tawon iya. Bengkak gini.

“Vin, bibir lo aman-aman aja?” Ify melirik bibir Alvin. Yang punya bibir malah sibuk sok ngulum-ngulum bibir.

“Oi! Gue pengen liat bibir lo.” Jari telunjuk Ify menusuk pinggang Alvin.

“Auwwwwww...”

“Ahahaha-hahahah... bibir paling parah. Parah!” Ify tergelak geli melihat bibir Alvin yang manyun gede banget kayak baru ditonjok Mike Tyson.

“Tuh, kan... udah liat malah dihina,” rajuk Alvin pasrah.

Dengan bibir manyun semua ketiganya menuju mobil Shilla. Mereka mau buru-buru pulang sebelum Bu Winda tiba-tiba dapat ide gila yang lain lagi. Ih, no way. Nehi.

Coffee Bean, yuk?” ajak Shilla. Ia memasukkan kunci kontak mobil. Hari ini memang cerah banget, rugi kalau langsung pulang. Apalagi salah satu hobi Shilla memang nongkrong di kafe.

“Yah... sayang banget, Shill. Hari ini budget gue cuma cukup buat beli batagor.” Ify mengeluarkan beberapa lembar ribuan dari kantongnya.

“Gue lupa bawa dompet. Lagian gue lagi nabung,” sambung Alvin.

“Buat kawin lari?” tanya Ify jail.

“Ya udah, ya udah. Gue yang bayar, gimana? Tapi gue yang order. Kalian tinggal pasrah doang. Oke, nggak?” tawar Shilla bagai hujan di musim kemarau buat kedua temannya.

Kepala cepak Ify dan kepala berambut Hua Zhe Lei Alvin mengangguk bareng.

“Tapi pasti ntar gue ganti uang lo, Shill. Atau gue traktir lo balik bulan depan. Beneran deh, gue traktir lo bulan depan. Beneran deh, gue lupa bawa dompet. Bukannya gue lagi nggak punya uang lho.” Mati-matian Alvin ngeles. Gila apa, kepergok bokek di depan kecengan?

Ify melirik sambil cekikikan.

“Nyantai aja, lagi, Vin. Lo kok panik gitu sih? Emangnya kalo lo lagi nggak punya duit kenapa?” Shilla menghidupkan mesin dan berusaha keluar dari posisi parkir paralelnya.

Here we go again....” Ify memasang sabuk pengamannya, lalu bersandar tegang.

Alvin yang panik langsung ikut tegang.

“Huh! Mana sih orangnya? Kok belum balik? Susah, kan, ngeluarin mobilnya,” rutuk Shilla putus asa. Jeep double cabin di depannya benar-benar mepet. Buat orang normal jarak segitu masih bisa maju-mundur keluar dari parkir. Tapi Shilla? Boro-boro maju-mundur, nginjek gas aja nggak berani.

“Mana bannya gede-gede, lagi. Mobil gue bisa gepeng,” lanjutnya sambil tetap tidak tega menginjak gas. “Ada yang mau ngeluarin, nggak?” ia menawarkan pada kedua penumpangnya.

“Nggak deh, kalo nabrak ntar gue yang disemprot, lagi. Mana tu mobil serem gitu. Yang punya kayaknya lebih serem lagi,” tolak Ify.

Shilla menoleh pada Alvin.

“Shill, lo bukannya tau kendaraan paling canggih yang bisa gue setir baru sampe tahap motor bebek? Itu aja sering kecebur got.”

“Gimana lo mau ngajak Shilla kencan... auw!” pekik Ify waktu Alvin menjewer kupingnya. Ify menyipitkan mata ketika di kaca spion dilihatnya Rio datang ke arah mereka.

“Ada Rio tuh.”

“Terus kenapa? Lo naksir dia, Fy? Kok tau aja dia dateng?” selidik Shilla.

“Yeee.... curigaan aja. Gue kan berusaha cari bala bantuan. Lo minta aja dia ngeluarin mobil ini. Masa dia nggak bisa nyetir sih? Atau minta tolong aja dia dorongin tu mobil gajah, masa nggak kuat. Lagian kan ada Alvin.” Ada-ada saja ide Ify waktu lagi mepet begini.

Emang dasar anak ajaib, waktu Rio sampai, dengan cuek Ify membuka jendela dan melongok keluar.

“Yo! Yo-Yo! Hei, Riyo!” panggilnya setengah berteriak.

Rio menoleh ke arah Ify dan melempar senyum misteriusnya seperti biasa.

“Ada apa?” tanya Rio sopan sambil menghampiri Ify. Gayanya ya biasa, cool and confident.

Dalam hati Ify bertanya-tanya usil. Rio sebenarnya emang ramah dan cool atau jaim sih? Jadi orang kok tenang bener.

“Yo, tolongin kita-kita dooongg,” rengeknya nggak tahu malu. Jelas-jelas mereka nggak akrab bicaranya sok manja gitu. Genit.

“Mogok?” tanya Rio simpatik.

“Bukan. Hehee... nggak biasa parkir paralel. Nggg... nggak bisa keluar. Dia lho, dia,” jelas Ify sambil menunjuk Shilla yang merengut.

Ify menggaruk kepala. “Jadi, bisa keluarin mobil ini atau dorong mobil gajah itu biar menjauh?” pintanya dengan sangat malu. Hari gini masa Shilla nggak becus parkir paralel. Dasar SIM tembak.

Rio mengulum senyum. “Bisa,” jawabnya santai.

Ify memekik kegirangan. Coffee Bean, here we come!

“Eh, Yo... perlu gue bantuin dorong?” tanya Ify antusias dan langsung melompat turun dari mobil.

“Nggak usah, lo duduk di mobil aja.”

Dengan santai Rio berjalan ke arah mobil raksasa itu.

“Wah, turunan Hercules nih. Dorong mobil segede mushola sendirian,” celetuk Ify takjub melihat Rio berjalan menuju Jeep itu dengan heroik. Tapi... tapi... lho? Lho?

Pip, pip. Rio mengarahkan remote kunci ke arah mobil itu. tangannya bersiap meraih handel pintu.

“Sori banget ya, jadi ngalangin jalan,” ujarnya kalem sambil mengangguk berpamitan.

Trio di mobil Shilla cuma bisa melongo menyaksikan kejadian tadi. Nggak nyangka, Rio si kalem mobilnya sangar banget.

Rio menstarter mobilnya dan keluar dari parkiran. Tampangnya jadi sedikit beda di belakang kemudi mobil macho itu. Keren.

“Nggak nyangka gue, dia bawa mobil begituan,” celetuk Shilla.

Ify manggut-manggut setuju. “Iya. Gue pikir paling sangar mobilnya van doang.”

“Itu sih di mana sangarnya? Mobil keluarga sih iya.”

Ify yang memang buta mobil cuma cengegesan.

“Akhirnya...” Dengan lega Shilla menginjak gas dan maju dengan lancar.

“Emang dasar nggak pro. Masa ada orang nyetir nggak bisa parkir,” ledek Ify.

“Khusus parkir paralel doang! Parkir normal gue bisa, lagi!” balas Shilla ketus.

***

Source: MISS CUPID, Mia Arsjad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar