Aku
menarik napas panjang saat melihat pemuda kurus itu di depan pintu gerbang
rumahku. Kenapa dia datang lagi, sih? Arhh.. rasanya aku ingin menendang dia
sejauh-jauhnya! Aku muak melihat wajahnya! Aku muak melihat senyumnya -yang
dibuat-buat-! Aku muak padanya!
Dengan
langkah lebar, perlahan aku meninggalkan pintu rumah dan berjalan menuju
gerbang -dengan langkah lebar pula-. Berjalan melewati pemuda itu. Namun.. ah!
Dia melakukannya, lagi! Dia menahan tanganku, memaksaku untuk berhenti. Dengan
-amat- sangat terpaksa, aku membalikkan badan.
"Lepasin!"
Aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Namun sial! Genggaman itu terlalu
kuat!
"Fy,
please, sekali ini aja. Berangkat sama aku, ya?" Oh Tuhan.. Ingin sekali
aku menusuk mata itu dengan tusuk sate! Tatapan mata itu (dibuat) sayu sekali.
Aku jadi makin muak dengannya.
"Gak.
Akan!" tegasku. "Lepasin, Yo!" Aku masih berusaha membebaskan
tanganku.
"Fy,
please.."
"Nggak!
Lepasin!" Entah karena pemuda itu mengendurkan cekalan tangannya atau
memang aku yang berusaha sekuat tenaga, akhirnya tanganku terbebas darinya.
Tanpa membuang waktu, akupun segera berjalan cepat meninggalkan pemuda itu.
Hah! Rasakan!
***
Sebenarnya,
apakah aku jahat? Mungkin kalian akan menjawab 'YA'. Apakah benar aku sejahat
itu? Hei, kalian belum tau alasanku membencinya, bukan? Kenapa aku membencinya?
Karena dia memang patut dibenci. Karena dia juga jahat padaku. Malah,
sebenarnya dia lebih jahat daripada aku.
(Flashback
| Jogja | Sembilan tahun yang lalu..)
Pertama
kali aku bertemu dengannya, saat berusia tujuh tahun adalah di Kota Pelajar
itu. Oh mungkin satu tahun yang lalu aku mengira kalau pemuda itu adalah bocah
laki-laki itu. Tapi sekarang? Bocah laki-laki itu meninggalkan aku, demi
kehidupan yang lebih abadi, karena lelaki yang amat kubenci saat ini.
"Hiks..
hiks.. Bunda.. Hiks.. hiks.." Saat itu aku tersedu-sedu karena aku
kehilangan jejak ibuku. Posisiku? Aku berada di pasar, sebelah kios sembako
yang ramai. Seingatku, saat itu aku melihat seorang lelaki yang berdandan
perempuan, naluri anak kecil yang penasaran akan sesuatu langsung
menghampiriku. Aku melepaskan genggaman tangan Bunda dan mengikuti lelaki
berbedak tadi. Namun aku baru sadar kalau aku kehilangan Bunda adalah saat aku
kehilangan jejak lelaki berbedak itu.
Namun
sebuah tangan mungil terulur kepadaku, seakan ingin memberi pertolongan. Aku
berhenti menangis dan menatap si pemilik tangan. Seorang bocah laki-laki
seusiaku saat itu, tersenyum ramah. Aku pun meraih uluran tangan itu dan
berdiri perlahan.
"Sampean
nyapo? Kok nangis?" (Kamu kenapa? Kok nangis?) Aku tau bocah itu bertanya
padaku, tapi aku tak mengerti maksudnya. Jadi aku hanya memasang wajah tidak
mengerti.
"Ndak
ngerti, ya?" (Nggak ngerti, ya?) Rupanya dia mengerti ketidaktahuanku. Aku
cuma mengangguk lemah, padahal aku juga tidak tau apa yang baru saja dia
ucapkan.
"Bisa
bahasa Indonesia?" tanyaku perlahan.
"Oh
bahasa Indonesia toh? Bisa dong.. Eh iya, kamu kenapa nangis? Jatuh, ya?"
Aku
menggeleng.
"Lalu?"
"Bunda..
hiks hiks.." Aku kembali menangis.
"Eh
eh jangan nangis lagi, aku nyanyiin lagu deh, tapi kamu jangan nangis,
ya?" Aku langsung diam, menunggu lagu apa yang akan dinyanyikannya.
"Gundul
gundul pacul cul gemblelengan.. Nyunggi-nyunggi wakul kul gemblelengan.. Wakul
ngglempang segane dadi sak ratan wakul ngglempang segane dadi sak ratan.."
Aku
cuma melongo melihat bocah itu menari sambil mengangkat kedua tangannya
setinggi kepala lalu berputar membentuk lingkaran. Namun lima detik berikutnya
aku tak dapat menahan tawa. Tingkahnya lucu, walau aku tak tau lagu apa yang
dia nyanyikan.
"Tuhkan
akhirnya ketawa.. Nggak nangis lagi, kan?" ucapnya. Membuatku tersadar
kalau aku sudah berhenti menangis. Aku pun tersenyum.
"Makasih,
ya.." sahutku. Bocah itu tersenyum.
"Ify!"
Aku langsung menoleh ke sumber suara. Bunda!
"Bunda...!"
Akupun berlari menghampiri Bunda.
"Yaampun,
kamu jangan main lari gitu aja, dong, Bunda kan jadi khawatir.." Bunda
mengusap kepalaku. Aku cuma meringis.
"Maaf,
Bun.."
"Yaudah
lain kali jangan diulangi, ya? Kita pulang yuk," Bunda menggandeng
tanganku. Aku menoleh ke bocah laki-laki itu.
"Hei!
Nama kamu siapa?" teriakku.
Bocah
itu tersenyum. "Stev.." Ah aku tak mendengarkan selanjutnya. Aku
hanya mendengar kata 'Stev' itu. Yah, itu patokanku dalam menemukannya. Karena
kenyataannya, dua orang juga bernama Stev.
(Flashback
Off)
Kalian
sudah tau awalnya? Dia Stev, cinta pertamaku. Belum menemukan alasan aku
membenci pemuda kurus itu? Oh dear, baca saja ceritaku..
(Flashback
-again- | Jakarta | Satu tahun yang lalu..)
"Nama
saya Mario Stevano Aditya, saya pindahan dari Jogja.." dan bla-bla-bla. Aku
tidak terfokus pada kalimat selanjutnya dari pemuda itu. Aku hanya terfokus
pada Mario STEVano dan Jogja. Hah? Stev? Jogja? Apa jangan-jangan dia adalah
bocah itu?
"Fy,
lo kenapa sih?" Zahra, teman sebangkuku, menyikut lenganku. Membuatku
langsung berpaling padanya.
"Hah?
Apa, Zah?" tanyaku.
"Lo
kok ngeliatin si Rio segitunya sih? Naksir, yaa?"
"Rio?
Siapa Rio?"
"Astagaa
Rio tuh ya anak baru tadi.. Tuh duduk sama Ray tuh!"
Aku
langsung menoleh pada bangku Ray. Dan benar. Rio duduk di sebelah Ray, fokus
pada pelajaran Pak Duta yang membahas tentang hubungan linear atau apalah itu.
Yah, posturnya sama dengan Stev. Kurus, berkulit coklat, manis. Wajahnya hampir
sama dengan Stev. Apa benar Rio adalah Stev?
Saat
itu aku masih mengira kalau Rio adalah Stev. Tapi saat keesokan harinya, aku
makin bingung.
Aku
baru saja menginjakkan kaki di gerbang sekolah saat melihat Rio bersama
seseorang yang mirip dengan dia. Siapa? Kenapa wajah mereka begitu mirip? Apa
mereka saudara kembar?
"Pagi,
Ify.." Aku langsung tergeragap mendengar sapaan itu.
"Eh
pagi juga, Yo.." balasku.
"Eh
iya, kenalin nih kembaran gue, namanya Gabriel.."
Pemuda
yang mirip dengan Rio itu mengulurkan tangannya. "Gabriel.." ucapnya.
Aku
menyambut uluran tangan itu. "Ify.." balasku. Aneh. Sepertinya wajah
Gabriel lebih familier daripada wajah Rio.
"Iel,
gue duluan ke kelas ya.." Rio menoleh padaku. "Yuk, Fy.." Tanpa
persetujuanku, Rio langsung menarik tanganku. Entah kenapa, rasanya seperti
dulu. Saat bocah itu mengulurkan tangan untuk membantuku.
***
Aku
baru tau kalau nama panjang Gabriel juga mengandung unsur STEV. Namun bedanya
dengan nama Rio adalah, kalau nama Rio adalah Stevano, nama Gabriel adalah
Stevent. Satu yang aku sesalkan. Kenapa aku tak mendengarkan kata bocah itu
yang selanjutnya. Untuk mendengarkan Stevent atau Stevano.
Hei,
ini konyol bukan? Kemungkinan ada beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang
mempunyai nama 'Stev' di dunia ini. Stev-Jogja? Hah bisa saja bukan asalnya
dari Aussie trus pindah ke Jogja trus ke Jakarta? Itu faktanya. Lalu kenapa aku
hanya terfokus pada kedua saudara kembar itu?
Karena
mereka mirip. Oh maksudku bukan Rio mirip dengan Gabriel (tentu saja! Mereka
saudara kembar, bukan?), tetapi kedua pemuda tersebut mirip dengan bocah
laki-laki delapan tahun yang lalu. Bukan hanya bentuk wajah, tetapi juga aura
keakraban yang aku rasakan. Itu bukan perasaan pada orang asing. Aku merasa
akrab, dengan keduanya.
"Fy,
udah ngerjain PR Matematika belom?"
Aku
terkejut mendengar ucapan itu. Segera kualihkan pandanganku. Rio. Berdiri di
sebelah bangkuku dengan senyum yang ehm membuat para siswi jejeritan nggak
jelas. Lihat saja Zahra, dia sampai melongo melihat Rio tersenyum sangat manis
kepadaku, Alyssa Saufika.
"Hah?
Udah dong, kenapa? Mau minjem?" Rio mengangguk. Aku mengeluarkan buku
bersampul gambar grand piano putih dan menyerahkan kepada pemuda itu.
"Oke,
thanks ya, Fy.." Rio hanya nyengir lalu kembali ke bangkunya.
"Cie
Ify.. Suit suit.."
"Si
Rio pedekate nih ye.."
"Ify
perhatian banget sih.."
Entah
siapa yang memulai, suasana dalam kelas menjadi lebih heboh. Aku melirik Rio,
pemuda itu malah cengengesan menanggapi ejekan-ejekan itu. Dia malah bercanda
dengan Ray. Sedangkan aku? Oh dear.. Aku merasakan pipiku memanas.
"Eh
Ify mukanya merah loh! Cieee.." Bahkan Zahra jadi bersekutu dengan
anak-anak lain. Aku cuma bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang merah
dari anak-anak, terutama dari Rio.
***
Sepulang
sekolah, aku mampir di sebuah foodcourt bersama.. Rio. Tunggu, jangan heran.
Aku cuma mengiyakan ajakannya untuk pulang bersama -daripada aku naik bus?-.
Namun rupanya Tuhan sedang bermurah hati. Hujan deras mengguyur kota Jakarta
dan membuat kami berdua terpaksa berteduh, dan Rio mengusulkan ke foodcourt sekalian
makan siang, aku mengiyakan (lagi).
Selesai
makan, ternyata hujan belum reda. Yah terpaksa harus menunggu. Kalau saja Rio
membawa mobil, pasti nggak bakal serepot ini. Tapi Rio membawa motor, jadi err
inilah yang nggak aku suka dari motor, gampang kehujanan.
Sambil
membunuh perasaan bosan -karena Rio masih makan dan tak mungkin aku
mengganggunya-, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling foodcourt yang
tak terlalu ramai. Namun ekor mataku kemudian menemukan sosok pemuda mirip
dengan yang di hadapanku sekarang. Gabriel. Oh namun dia tak sendirian. Gabriel
masuk bersama seorang gadis yang emh kukenal. Gadis itu Sivia.
"Ngliatin
apa sih, Fy?" Aku langsung menoleh pada Rio.
"Hah?
Oh itu ada Gabriel sama Sivia." jawabku apa adanya.
Rio
tampak mengangkat sebelah alisnya dan mulai mengedarkan pandangan. Sepertinya
dia sudah menemukan dua orang yang kumaksudkan.
"Eh
iya, wah si Iel pedekatenya berhasil kayanya.." celutuk Rio, membuatku
melongo.
"Hah?
Pedekate? Serius lo?" Entah kenapa rasanya aku.. tidak terima.
Namun
jawaban Rio membuatku tertekan. Pemuda di hadapanku ini hanya mengangguk yakin
sambil memutar-mutar sedotan colanya.
"Emang
kenapa, Fy? Lo cemburu?"
Deg.
Cemburu? Apa benar? Tapi kan aku baru satu minggu ini bertemu Gabriel? Mana
mungkin aku suka padanya. Terlalu cepat.
"Fy,
kok diem? Emang bener lo cemburu?"
"Hah?
Nggak kok, ngapain juga cemburu." ucapku (sok) cuek. Hah kenapa juga
rasanya hatiku seperti berucap lain?
"Tapi
err.. nggak jadi deh."
Lagipula
ini kenapa juga Rio jadi menggantung kalimatnya? Oh dear..
"Yo,
gue boleh nanya sesuatu nggak?"
Rio
cuma mengangkat alis. Aku menganggapnya sebagai 'Apa?'
"Emh..
kira-kira delapan tahun yang lalu lo ketem.."
"Eh
Rio!"
Shit.
Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku karena dipotong oleh Gabriel, yang saat
ini berjalan menuju tempatku dan Rio, tentu saja bersama Sivia.
Rio
yang tadinya (seperti) terfokus padaku jadi menoleh ke arah Gabriel. "Oh
hoy, bro!" Kedua saudara kembar itu melakukan tos sambil cengengesan. Childish
sekali.
"Loh?
Lo sama Ify, toh? Cie ada apaan nihh?" Gabriel malah meledek. Aku mendelik
namun segera kusembunyikan wajahku, menunduk.
"Nggak
ada apa-apa kok, cuma berbaik hati nganterin dia pulang, daripada dia naik bus?
Ya nggak, Fy?" Rio menatapku. Yah walaupun aku menunduk, aku bisa
merasakan itu. Aku pun hanya mengangguk perlahan.
"Oh..
Eh gue gabung di sini aja ya, duduk deh, Vi.." Gabriel duduk di sebelah
Rio dan Sivia di seberangnya. Aku dapat merasakan tatapan aneh Rio kepadaku.
"Eh
iya, Fy, lo tadi mau nanya apaan?" Akhirnya Rio buka suara. Aku mendongak,
lalu menggeleng pelan.
"Bukan
apa-apa. Lain kali aja." Moodku serasa menghilang. Karena apa? Entahlah.
Mungkinkah karena pemuda di sebelah kiri Rio itu? Atau gadis di sebelah kanan
Rio? Atau keduanya? Atau malah karena Rio? Astaga, ada apa denganku?
***
Seiring
waktu berlalu, aku makin dekat dengan Rio, juga Gabriel. Kami sering melewatkan
waktu berempat, tentu saja dengan Sivia pula. Kabarnya, Gabriel memang telah
berpacaran dengan Sivia. Dan entah kenapa hal itu membuat hatiku nyeri.
Sebenarnya aku selalu menahan perasaan sesak, seperti sekarang ini, saat kami
menghabiskan waktu berempat.
Tapi
mungkin lebih tepatnya berdua. Gabriel dan Sivia sepertinya sedang asyik bermain
berdua, meninggalkan aku dan Rio.
"Nih,
Fy.." Sebuah tangan terjulur di hadapanku, menyodorkan sebuah es krim.
Aku
tersenyum, menerima es krim tersebut. "Thanks."
"Yoa.."
Rio hendak duduk di sebelahku, namun tanpa sengaja tangannya menampik tangan
anak kecil yang membawa es krim. Dan yang terjadi (tentu saja) es krim anak itu
terjatuh.
"Eh
maaf ya, Dik, kakak nggak sengaja.." Rio berjongkok di hadapan bocah itu.
Namun lima detik kemudian tangis anak itu pecah.
"Aduh,
kok nangis sih? Kakak ganti es krimnya, ya? Udah kamu jangan nangis.." Rio
menepuk pelan pipi anak itu. Syukurlah anak itu langsung terdiam. Namun
sepertinya dia bersiap menangis kembali.
"Huaa..
Hiks hiks.."
Benar,
kan?
"Kakak
nyanyiin lagu, ya? Tapi kamu jangan nangis lagi.." Tanpa menunggu
persetujuan anak itu, Rio langsung berdiri.
"Gundul
gundul pacul cul gemblelengan.. Nyunggi nyunggi wakul kul gemblelengan.. Wakul
ngglempang segane dadi sak ratan.. Wakul ngglempang segane dadi sak
ratan.."
Deg!
Seperti Deja vu. Seakan-akan keadaan di sekelilingku adalah pasar tradisional
di mana keadaannya sangat ramai. Seperti meminjam mesin waktu Doraemon, aku
melihat seorang bocah laki-laki menyanyikan lagu untuk anak perempuan.
Rio
juga melakukan hal yang sama dengan bocah itu. Mengangkat tangan setinggi
kepala, lalu menari membentuk sebuah lingkaran. Mirip Stev..
Setelah
menyanyikan lagu itu, anak itu berhenti menangis. Rio memberikan es krimnya
sebagai ganti. Anak itu pun berlari riang meninggalkan aku dan Rio.
"Yo,
boleh nanya sesuatu?" Aku harus memperjelas semuanya, sekarang.
Rio
mengangkat alis -seperti reaksinya yang dulu-. "Apa?"
"Lagu
tadi, emh pernah lo nyanyiin sebelumnya?"
"Lagu
tadi? Oh iya dong, gue kan dulu seneng banget sama lagu itu.. Kalau ada temen
atau orang lain yang nangis pasti gue nyanyiin lagu itu, dan akhirnya mereka
berhenti nangis deh, kaya anak tadi. Emang kenapa, Fy?" Rio menatapku.
Reaksiku? Mataku berkaca-kaca. Apakah 'Stev' yang dulu adalah 'Stevano'? Pemuda
yang di hadapanku sekarang?
"Lo
pernah nyanyiin lagu itu buat anak kecil di pasar? Sekitar delapan tahun yang
lalu?"
Aku
melihat raut keraguan di wajah Rio. Entah artinya apa. Pemuda itu mengangguk
ragu. "Iya.."
***
Semenjak
pengakuan Rio itu, aku jadi percaya kalau Stev yang dulu adalah Mario Stevano.
Ya, aku percaya. Aku tak peduli sebagian hatiku menolak kepercayaan itu.
Dan
hari ini, rasanya aku sangaaaaat bahagia. Rio menyatakan cinta padaku! Hah tak
perlu ku beri tau bagaimana kronologisnya, aku tau kalian pasti akan iri
padaku. Benar, kan?
Hari-hari
ku lewati dengan kebahagiaan bersama Rio. Namun ada yang aneh. Rasanya sebagian
hatiku tak bisa lepas dari Gabriel. Bingung maksudku? Setiap saat bersama Rio,
entah mengapa aku memikirkan Gabriel. Sedang apa pemuda itu sekarang? Apakah
bersama Sivia? Kenapa dia jadi lebih jauh begitu tau aku berpacaran dengan Rio?
Apa dia tak suka dengan ini? Sampai suatu saat, aku tak sengaja mendengar
percakapan kedua saudara kembar itu..
"Yo,
sampai kapan lo mau bohongin dia terus?" Yang ini jelas suara Gabriel.
"Gue
nggak tau, Yel. Gue udah terlanjur, nih.." Suara Rio menyusul.
"Harusnya
lo nggak bohongin dia dari awal, lo nggak perlu ngaku kalau lo pernah nyanyiin
lagu itu di pasar!"
Sekarang
aku mulai mengerti arah pembicaraan mereka. Rio menipuku? Jadi bukan dia yang
menyanyikan lagu gitu padaku? Lalu siapa?
"Gue
nggak tau harus jawab gimana, Yel! Lo tau sendiri, kan, kalau gue suka sama
dia! Masa gue harus bilang kalau lo yang ketemu sama dia delapan tahun yang lalu?!"
Deg!
Jadi benar kalau Stev adalah Gabriel? Lalu kenapa Rio bohong padaku?
"Gue
tau posisi lo, Yo. Lo udah terlanjur bilang kalau lo pernah nyanyiin lagu itu
buat gadis kecil di pasar, pas udah jadian dia cerita kalau bocah laki-laki itu
cinta pertamanya, kan? Dan ternyata bocah itu gue, hah gue jadi kasian sama Ify
kalau dia tau masalah ini."
BUG!
Aku
terkejut. Rio melayangkan tinjunya di tulang pipi Gabriel. Secara refleks aku
menghampiri mereka -lebih tepatnya Gabriel-.
"STOP,
YO!" pekikku. Aku langsung menghampiri Gabriel yang tersungkur sambil
memegangi bibirnya yang sedikit berdarah.
"Fy?
Kok kamu di sini?" Aku tak peduli dengan pertanyaan Rio. Aku segera
menghapus darah di sudut bibir Gabriel demham tisu.
“Udah,
Fy, gue nggak apa-apa kok..” Gabriel menyingkirkan tanganku perlahan lalu
bangkit, menatap Rio.
“Selesein
dulu masalah lo sama dia, bro.” Gabriel menepuk bahu Rio lalu berlalu. Aku
terus menatap kepergiannya.
“Fy..”
Aku
baru tersadar saat mendengar panggilan Rio.
“Kamu
kok bisa di sini?” nada suaranya terdengar gugup. Aku berdiri.
“Emang
nggak boleh? Kan hakku juga mau ke sini.” Sungutku.
“Kamu
emh udah lama di sini?”
“Udah,
sejak Gabriel bilang kamu bohong.” jawabku santai.
Muka
Rio terlihat pucat. Hei, apa yang salah dengan kata-kataku? Kenapa Rio jadi
sepucat itu?
"Fy,
aku bisa jelasin ke kamu, aku cuma.."
"Cuma
apa?" potongku cepat. "Cuma karena pengen nipu aku? Cuma supaya bisa
bikin kamu seneng dengan manfaatin cerita orang lain?!" tuduhku.
"Fy!
Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu, Fy! Karena aku pengen lebih
deket sama kamu!" Tak kusangka Rio membalas dengan sentakan.
"Yo,
kamu nggak perlu sampai ngebohongin aku segala.. Aku bener-bener percaya kalau
kamu itu Stev, dan juga bener-bener merasa tertipu sama kamu!"
"Fy..
aku minta maaf, ya? Aku.. beneran sayang sama kamu, Fy.." Rio meraih
jemariku, -mungkin- berusaha meyakinkan.
"Udah
terlambat, Yo. Dulu emang aku percaya, tapi sekarang enggak. Semua udah
berakhir, kita putus.." Aku melepaskan genggaman tangan Rio dan beranjak
meninggalkan Rio.
"Fy,
tunggu.." Rio kembali meraih jemariku, menggenggamnya. "Aku mohon,
Fy, jangan memberiku.. akhir cerita seperti ini.."
Oh
Tuhan, pandanganku mengabur. Pasti sebentar lagi aku segera membasahi pipiku.
Tidak, aku tidak boleh menangis sekarang, dalam keadaan seperti ini.
"Fy.."
Aku dapat merasakannya, Rio berdiri di belakangku.
"Cukup,
Yo.. Aku udah nggak bisa percaya lagi sama kamu.." Aku melepaskan
genggaman Rio di jemariku lalu perlahan pergi.
Aku
tak mendengar derap langkah Rio yang mengikutiku. Baguslah. Aku jadi lega.
Tapi.. kenapa rasanya ada yang mengganjal ya?
"YO!
BEGO LO! CEPETAN MINGGIR!"
Aku
tau suara itu. Suara Gabriel. Secara refleks aku menoleh ke sumber suara. Bukan
Gabriel yang berdiri di seberang jalan yang membuatku sesak. Tapi Rio. Rio yang
berdiri di tengah jalan!
"NGGAK!
GUE NGGAK AKAN MINGGIR SEBELUM IFY MAAFIN GUE!"
Dadaku
sesak. Nafasku memburu. Apa yang dipikirkan Rio? Kenapa dia begitu nekat?
Nggak, aku nggak bisa membiarkan Rio seperti itu!
Baru
saja aku melangkah, sesuatu yang tak ku harapkan terjadi. Tidak, jangan Rio..
Tolong, jangan Rio!
Tapi
ternyata Tuhan mendengar doaku. Bukan Rio yang tertabrak, tapi Gabriel.
Gabriel? Lututku lemas seketika. Aku hampir ambruk kalau saja tak berpegangan
pada sebuah tiang. Di sana, sekitar sepuluh meter dari tempatku, Gabriel
tergeletak tak berdaya bersimbah darah. Rio? Kemana perginya pemuda itu?
Entahlah, aku tak peduli. Aku segera berlari ke tempat Gabriel yang sudah
dikerumuni banyak orang. Sampai aku tak menyadari kalau ada seseorang yang
hampir meraihku dengan tangan bersimbah darah.
***
(Flashback
Off)
Saat
itu -menurut saksi mata- Gabriel mendorong Rio supaya menjauh saat sebuah truk
mendekat. Rio langsung terdorong menjauh dan.. Gabriel yang tertabrak truk.
Masihkah
kalian merasa aku terlalu jahat pada Rio? Mungkin masih. Rio tak selayaknya
dibenci. Dia hanya ingin permintaan maaf dariku. Dia benar-benar sayang padaku.
Dia melakukannya untukku. Ya, hal itulah yang selalu dikatakan Shilla,
sahabatku.
Shilla
tau segalanya. Tentang Stev, dan semua masalah antara aku-Rio-Gabriel. Shilla
juga menyalahkanku. Aku terlalu jahat, katanya. Tapi dia tidak tau bagaimana
perasaanku. Bagaimana rasanya ditipu oleh… orang yang amat kusayangi.
Sayang?
Benar. Aku tak bias membohongi perasaanku. Aku masih sayang pada Rio.
Seberapapun aku membencinya, euphoria itu tetap hadir saat mataku bertemu
dengan manik matanya. Tapi egoku jauh lebih besar. Aku tekan perasaan-ingin-memeluknya
jauh dalam hatiku. Biarlah… aku butuh waktu untuk membencinya.
***
“Fy,
lo tetep benci sama Rio?” Tanya Shilla selepas pelajaran Pak Ony.
Aku
Cuma mendengus lalu mengangguk perlahan.
“Sekarang
gue Tanya deh, Fy, seandainya Rio ninggalin lo gimana? Maksudnya, kalau Rio
meninggal gimana?”
“Lo
kok bilang gitu sih?”
“Who
knew, Alyssa? The death could come at any time, couldn't it?” (Siapa tahu,
Alyssa? Kematian bisa datang kapan saja, bukan?)
Aku
diam. Bukannya tidak mau menjawab, hanya saja aku tidak tahu harus menjawab
apa. Bagaimana kalau yang diucapkan Shilla itu benar?
“If
he died when you did not yet accept the request sorry him, how is it going?”
(Kalau dia meninggal waktu lo belum menerima permintaan maafnya, bagaimana?)
Entah
mendapat dorongan dari mana, saat melihat kedua manik mata itu menatapku,
dengan yakin aku berucap, “I continue to hated him. Did not care if he will
leave me, forever.” (Gue tetap membencinya. Tak peduli dia ninggalin gue, selamanya.)
Sedetik
kemudian aku sungguh menyesal saat melihat manik itu tak lagi bercahaya.
***
indah terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
“Fy..”
Aku
refleks berhenti dari kegiatanku, menatap tetesan-tetesan hujan, dan menoleh ke
pemilik suara baritone yang khas itu. Rio. Berdiri di sebelahku, menatapku.
“Kamu…
masih marah sama aku?”
Pertanyaan
bodoh. Aku cuma melengos. Kurasa itu cukup sebagai jawaban.
dan bila itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
“Fy,
asal kamu tau. Aku nggak pernah pengen nyelakain Gabriel. Itu semua aku lakuin
demi kamu. Aku sendiri nggak tau kalau akhirnya bakal kaya gini. Aku minta
maaf, Fy, untuk semuanya. Untuk semua cerita-cerita bohong, untuk kematian
Gabriel, dan untuk perasaanku. Maaf, maaf kalau aku sayang sama kamu. Mungkin
kamu nggak suka soal ini. Aku sadar, Fy. Tapi aku mohon, ucapkan sepatah atau
beberapa patah kata buatku, Ify. Please… sebelum semuanya terlambat, Fy..”
Bukan
hanya sepatah dua patah kata, Yo. Aku ingin sekali mengungkapkan semuanya.
Tentang perasaanku, tentang kebencianku padamu, tentang segalanya. Tapi rasanya
lidahku kelu. Sial. Kenapa rasanya disaat seperti ini aku merasa indera ini tak
berguna sama sekali?
“If he died when you did not yet accept the request sorry him, how
is it going?”
Ucapan
Shilla kembali terngiang di fikiranku. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Sebenci
apapun aku pada Rio, aku masih menyimpan rasa sayang untuknya.
“Yo,
aku..”
Saat
menoleh ke tempat Rio tadi, aku tak melihat pemuda kurus itu lagi. Hei, ke mana
perginya? Bukankah dia memohon padaku tadi? Lalu di mana dia? Aku masih
berfikir dia berdiri di tempat itu, karena memang aku tak mendengar derap
kakinya menjauh. Terhalang oleh bunyi air hujan, kah? Kurasa tidak.
“Eh,
kamu tadi liat cowok yang berdiri di sebelahku, nggak?” tanyaku pada seorang
gadis yang duduk di tempat duduk di belakangku.
Gadis
itu menggeleng. “Aku liat kamu sendirian berdiri di situ daritadi.”
Deg.
“Oh, makasih ya.” Aku menyunggingkan senyum tipis lalu kembali menatap tempat
Rio berdiri tadi.
tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
Drrt..
Drrt..
Aku
segera mengambil ponsel di saku rok abu-abuku. One message received.
From:
Ashilla
Fy,
lo telat. Rio died.
Astaga!
Shilla pasti bercanda. Dengan jari gemetar aku menelefon Shilla.
“Ya,
Fy?” sahut Shilla di seberang sana.
“Shil,
lo becanda kan soal Rio? BILANG KE GUE KALO LO BECANDA, SHILL!”
Aku
tau, semua orang di halte menatapku, tapi aku tak peduli. Shilla sama sekali
tidak lucu!
“Gue
serius, Fy.. Rio emang udah pergi.. Baru aja gue dapet SMS dari Ozy, katanya
Rio meninggal, sekarang jenazahnya lagi di autopsi.”
Air
mataku mengalir. Tak menyangka Shilla jujur.
“Fy,
lo baik-baik aja, kan? Lo pasti belum bilang ke dia kalo lo maafin dia, kan?”
“Nggak,
Shill. Gue nggak baik. Gue belum bilang ke dia. Tadi dia di sini, Shill! Di
sebelah gue, mohon-mohon sama gue buat maafin dia. Tapi waktu gue mau jawab,
dia nggak ada, Shill! Dia ninggalin gue.. hiks.”
“Dia
di sebelah lo? Kapan?”
“Kurang
lebih lima menit yang lalu..”
“Nggak
mungkin, Fy…. Rio meninggal tiga puluh menit yang lalu.”
“Tapi,
Shill… kalau boleh tau, kenapa dia bias meninggal?”
“Kanker
paru-paru, Fy. Oke, dia emang nggak ngerokok, tapi mungkin aja faktor
keturunan, kan? Lo ke sini sekarang juga, kita ke rumah Rio bareng-bareng.”
Klik.
Sambungan telefon terputus.
sudah, terlambat sudah
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
semuanya
terlambat. Ucapan Shilla benar-benar terjadi. Tidak, aku tidak pernah
mengharapkan ini terjadi. Aku selalu berharap untuk bisa memafkan Rio, walau
sulit. Dan sekarang, saat aku ingin mengatakan semuanya pada Rio, tangan-tangan
kematian lagi-lagi menjemput orang yang kusayang. Aku merasa sebagai… gadis
pembawa sial.
Gabriel
meninggal gara-gara Rio. Bukan. Gabriel meninggal gara-gara aku. Gara-gara aku
marah pada Rio, sehingga Rio nekat dan akhirnya Gabriel yang pergi. Rio
meninggal bukan gara-gara aku. Benar. Karena penyakit itu. Tapi kalau saja aku
menyadari ini sejak dulu, aku pasti akan memberikan kenangan-kenangan indah
disaat-saat terakhir hidupnya. Buka menabur garam pada luka di hatinya.
tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
kakiku melangkah ringan menyebrang jalan,
menembus hujan, mengabaikan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi hijau.
“Aku
maafin kamu, Yo. Aku sayang kamu.”
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar