Selasa, 28 Februari 2012

Repost - Kasih Tak Sampai


Aku menarik napas panjang saat melihat pemuda kurus itu di depan pintu gerbang rumahku. Kenapa dia datang lagi, sih? Arhh.. rasanya aku ingin menendang dia sejauh-jauhnya! Aku muak melihat wajahnya! Aku muak melihat senyumnya -yang dibuat-buat-! Aku muak padanya!

Dengan langkah lebar, perlahan aku meninggalkan pintu rumah dan berjalan menuju gerbang -dengan langkah lebar pula-. Berjalan melewati pemuda itu. Namun.. ah! Dia melakukannya, lagi! Dia menahan tanganku, memaksaku untuk berhenti. Dengan -amat- sangat terpaksa, aku membalikkan badan.

"Lepasin!" Aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Namun sial! Genggaman itu terlalu kuat!

"Fy, please, sekali ini aja. Berangkat sama aku, ya?" Oh Tuhan.. Ingin sekali aku menusuk mata itu dengan tusuk sate! Tatapan mata itu (dibuat) sayu sekali. Aku jadi makin muak dengannya.

"Gak. Akan!" tegasku. "Lepasin, Yo!" Aku masih berusaha membebaskan tanganku.

"Fy, please.."

"Nggak! Lepasin!" Entah karena pemuda itu mengendurkan cekalan tangannya atau memang aku yang berusaha sekuat tenaga, akhirnya tanganku terbebas darinya. Tanpa membuang waktu, akupun segera berjalan cepat meninggalkan pemuda itu. Hah! Rasakan!

***

Sebenarnya, apakah aku jahat? Mungkin kalian akan menjawab 'YA'. Apakah benar aku sejahat itu? Hei, kalian belum tau alasanku membencinya, bukan? Kenapa aku membencinya? Karena dia memang patut dibenci. Karena dia juga jahat padaku. Malah, sebenarnya dia lebih jahat daripada aku.

(Flashback | Jogja | Sembilan tahun yang lalu..)

Pertama kali aku bertemu dengannya, saat berusia tujuh tahun adalah di Kota Pelajar itu. Oh mungkin satu tahun yang lalu aku mengira kalau pemuda itu adalah bocah laki-laki itu. Tapi sekarang? Bocah laki-laki itu meninggalkan aku, demi kehidupan yang lebih abadi, karena lelaki yang amat kubenci saat ini.

"Hiks.. hiks.. Bunda.. Hiks.. hiks.." Saat itu aku tersedu-sedu karena aku kehilangan jejak ibuku. Posisiku? Aku berada di pasar, sebelah kios sembako yang ramai. Seingatku, saat itu aku melihat seorang lelaki yang berdandan perempuan, naluri anak kecil yang penasaran akan sesuatu langsung menghampiriku. Aku melepaskan genggaman tangan Bunda dan mengikuti lelaki berbedak tadi. Namun aku baru sadar kalau aku kehilangan Bunda adalah saat aku kehilangan jejak lelaki berbedak itu.

Namun sebuah tangan mungil terulur kepadaku, seakan ingin memberi pertolongan. Aku berhenti menangis dan menatap si pemilik tangan. Seorang bocah laki-laki seusiaku saat itu, tersenyum ramah. Aku pun meraih uluran tangan itu dan berdiri perlahan.

"Sampean nyapo? Kok nangis?" (Kamu kenapa? Kok nangis?) Aku tau bocah itu bertanya padaku, tapi aku tak mengerti maksudnya. Jadi aku hanya memasang wajah tidak mengerti.

"Ndak ngerti, ya?" (Nggak ngerti, ya?) Rupanya dia mengerti ketidaktahuanku. Aku cuma mengangguk lemah, padahal aku juga tidak tau apa yang baru saja dia ucapkan.

"Bisa bahasa Indonesia?" tanyaku perlahan.

"Oh bahasa Indonesia toh? Bisa dong.. Eh iya, kamu kenapa nangis? Jatuh, ya?"

Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Bunda.. hiks hiks.." Aku kembali menangis.

"Eh eh jangan nangis lagi, aku nyanyiin lagu deh, tapi kamu jangan nangis, ya?" Aku langsung diam, menunggu lagu apa yang akan dinyanyikannya.

"Gundul gundul pacul cul gemblelengan.. Nyunggi-nyunggi wakul kul gemblelengan.. Wakul ngglempang segane dadi sak ratan wakul ngglempang segane dadi sak ratan.."

Aku cuma melongo melihat bocah itu menari sambil mengangkat kedua tangannya setinggi kepala lalu berputar membentuk lingkaran. Namun lima detik berikutnya aku tak dapat menahan tawa. Tingkahnya lucu, walau aku tak tau lagu apa yang dia nyanyikan.

"Tuhkan akhirnya ketawa.. Nggak nangis lagi, kan?" ucapnya. Membuatku tersadar kalau aku sudah berhenti menangis. Aku pun tersenyum.

"Makasih, ya.." sahutku. Bocah itu tersenyum.

"Ify!" Aku langsung menoleh ke sumber suara. Bunda!

"Bunda...!" Akupun berlari menghampiri Bunda.

"Yaampun, kamu jangan main lari gitu aja, dong, Bunda kan jadi khawatir.." Bunda mengusap kepalaku. Aku cuma meringis.

"Maaf, Bun.."

"Yaudah lain kali jangan diulangi, ya? Kita pulang yuk," Bunda menggandeng tanganku. Aku menoleh ke bocah laki-laki itu.

"Hei! Nama kamu siapa?" teriakku.

Bocah itu tersenyum. "Stev.." Ah aku tak mendengarkan selanjutnya. Aku hanya mendengar kata 'Stev' itu. Yah, itu patokanku dalam menemukannya. Karena kenyataannya, dua orang juga bernama Stev.

(Flashback Off)

Kalian sudah tau awalnya? Dia Stev, cinta pertamaku. Belum menemukan alasan aku membenci pemuda kurus itu? Oh dear, baca saja ceritaku..

(Flashback -again- | Jakarta | Satu tahun yang lalu..)

"Nama saya Mario Stevano Aditya, saya pindahan dari Jogja.." dan bla-bla-bla. Aku tidak terfokus pada kalimat selanjutnya dari pemuda itu. Aku hanya terfokus pada Mario STEVano dan Jogja. Hah? Stev? Jogja? Apa jangan-jangan dia adalah bocah itu?

"Fy, lo kenapa sih?" Zahra, teman sebangkuku, menyikut lenganku. Membuatku langsung berpaling padanya.

"Hah? Apa, Zah?" tanyaku.

"Lo kok ngeliatin si Rio segitunya sih? Naksir, yaa?"

"Rio? Siapa Rio?"

"Astagaa Rio tuh ya anak baru tadi.. Tuh duduk sama Ray tuh!"

Aku langsung menoleh pada bangku Ray. Dan benar. Rio duduk di sebelah Ray, fokus pada pelajaran Pak Duta yang membahas tentang hubungan linear atau apalah itu. Yah, posturnya sama dengan Stev. Kurus, berkulit coklat, manis. Wajahnya hampir sama dengan Stev. Apa benar Rio adalah Stev?

Saat itu aku masih mengira kalau Rio adalah Stev. Tapi saat keesokan harinya, aku makin bingung.

Aku baru saja menginjakkan kaki di gerbang sekolah saat melihat Rio bersama seseorang yang mirip dengan dia. Siapa? Kenapa wajah mereka begitu mirip? Apa mereka saudara kembar?

"Pagi, Ify.." Aku langsung tergeragap mendengar sapaan itu.

"Eh pagi juga, Yo.." balasku.

"Eh iya, kenalin nih kembaran gue, namanya Gabriel.."

Pemuda yang mirip dengan Rio itu mengulurkan tangannya. "Gabriel.." ucapnya.

Aku menyambut uluran tangan itu. "Ify.." balasku. Aneh. Sepertinya wajah Gabriel lebih familier daripada wajah Rio.

"Iel, gue duluan ke kelas ya.." Rio menoleh padaku. "Yuk, Fy.." Tanpa persetujuanku, Rio langsung menarik tanganku. Entah kenapa, rasanya seperti dulu. Saat bocah itu mengulurkan tangan untuk membantuku.

***

Aku baru tau kalau nama panjang Gabriel juga mengandung unsur STEV. Namun bedanya dengan nama Rio adalah, kalau nama Rio adalah Stevano, nama Gabriel adalah Stevent. Satu yang aku sesalkan. Kenapa aku tak mendengarkan kata bocah itu yang selanjutnya. Untuk mendengarkan Stevent atau Stevano.

Hei, ini konyol bukan? Kemungkinan ada beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang mempunyai nama 'Stev' di dunia ini. Stev-Jogja? Hah bisa saja bukan asalnya dari Aussie trus pindah ke Jogja trus ke Jakarta? Itu faktanya. Lalu kenapa aku hanya terfokus pada kedua saudara kembar itu?

Karena mereka mirip. Oh maksudku bukan Rio mirip dengan Gabriel (tentu saja! Mereka saudara kembar, bukan?), tetapi kedua pemuda tersebut mirip dengan bocah laki-laki delapan tahun yang lalu. Bukan hanya bentuk wajah, tetapi juga aura keakraban yang aku rasakan. Itu bukan perasaan pada orang asing. Aku merasa akrab, dengan keduanya.

"Fy, udah ngerjain PR Matematika belom?"

Aku terkejut mendengar ucapan itu. Segera kualihkan pandanganku. Rio. Berdiri di sebelah bangkuku dengan senyum yang ehm membuat para siswi jejeritan nggak jelas. Lihat saja Zahra, dia sampai melongo melihat Rio tersenyum sangat manis kepadaku, Alyssa Saufika.

"Hah? Udah dong, kenapa? Mau minjem?" Rio mengangguk. Aku mengeluarkan buku bersampul gambar grand piano putih dan menyerahkan kepada pemuda itu.

"Oke, thanks ya, Fy.." Rio hanya nyengir lalu kembali ke bangkunya.

"Cie Ify.. Suit suit.."

"Si Rio pedekate nih ye.."

"Ify perhatian banget sih.."

Entah siapa yang memulai, suasana dalam kelas menjadi lebih heboh. Aku melirik Rio, pemuda itu malah cengengesan menanggapi ejekan-ejekan itu. Dia malah bercanda dengan Ray. Sedangkan aku? Oh dear.. Aku merasakan pipiku memanas.

"Eh Ify mukanya merah loh! Cieee.." Bahkan Zahra jadi bersekutu dengan anak-anak lain. Aku cuma bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang merah dari anak-anak, terutama dari Rio.

***

Sepulang sekolah, aku mampir di sebuah foodcourt bersama.. Rio. Tunggu, jangan heran. Aku cuma mengiyakan ajakannya untuk pulang bersama -daripada aku naik bus?-. Namun rupanya Tuhan sedang bermurah hati. Hujan deras mengguyur kota Jakarta dan membuat kami berdua terpaksa berteduh, dan Rio mengusulkan ke foodcourt sekalian makan siang, aku mengiyakan (lagi).

Selesai makan, ternyata hujan belum reda. Yah terpaksa harus menunggu. Kalau saja Rio membawa mobil, pasti nggak bakal serepot ini. Tapi Rio membawa motor, jadi err inilah yang nggak aku suka dari motor, gampang kehujanan.

Sambil membunuh perasaan bosan -karena Rio masih makan dan tak mungkin aku mengganggunya-,  aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling foodcourt yang tak terlalu ramai. Namun ekor mataku kemudian menemukan sosok pemuda mirip dengan yang di hadapanku sekarang. Gabriel. Oh namun dia tak sendirian. Gabriel masuk bersama seorang gadis yang emh kukenal. Gadis itu Sivia.

"Ngliatin apa sih, Fy?" Aku langsung menoleh pada Rio.

"Hah? Oh itu ada Gabriel sama Sivia." jawabku apa adanya.

Rio tampak mengangkat sebelah alisnya dan mulai mengedarkan pandangan. Sepertinya dia sudah menemukan dua orang yang kumaksudkan.

"Eh iya, wah si Iel pedekatenya berhasil kayanya.." celutuk Rio, membuatku melongo.

"Hah? Pedekate? Serius lo?" Entah kenapa rasanya aku.. tidak terima.

Namun jawaban Rio membuatku tertekan. Pemuda di hadapanku ini hanya mengangguk yakin sambil memutar-mutar sedotan colanya.

"Emang kenapa, Fy? Lo cemburu?"

Deg. Cemburu? Apa benar? Tapi kan aku baru satu minggu ini bertemu Gabriel? Mana mungkin aku suka padanya. Terlalu cepat.

"Fy, kok diem? Emang bener lo cemburu?"

"Hah? Nggak kok, ngapain juga cemburu." ucapku (sok) cuek. Hah kenapa juga rasanya hatiku seperti berucap lain?

"Tapi err.. nggak jadi deh."

Lagipula ini kenapa juga Rio jadi menggantung kalimatnya? Oh dear..

"Yo, gue boleh nanya sesuatu nggak?"

Rio cuma mengangkat alis. Aku menganggapnya sebagai 'Apa?'

"Emh.. kira-kira delapan tahun yang lalu lo ketem.."

"Eh Rio!"

Shit. Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku karena dipotong oleh Gabriel, yang saat ini berjalan menuju tempatku dan Rio, tentu saja bersama Sivia.

Rio yang tadinya (seperti) terfokus padaku jadi menoleh ke arah Gabriel. "Oh hoy, bro!" Kedua saudara kembar itu melakukan tos sambil cengengesan. Childish sekali.

"Loh? Lo sama Ify, toh? Cie ada apaan nihh?" Gabriel malah meledek. Aku mendelik namun segera kusembunyikan wajahku, menunduk.

"Nggak ada apa-apa kok, cuma berbaik hati nganterin dia pulang, daripada dia naik bus? Ya nggak, Fy?" Rio menatapku. Yah walaupun aku menunduk, aku bisa merasakan itu. Aku pun hanya mengangguk perlahan.

"Oh.. Eh gue gabung di sini aja ya, duduk deh, Vi.." Gabriel duduk di sebelah Rio dan Sivia di seberangnya. Aku dapat merasakan tatapan aneh Rio kepadaku.

"Eh iya, Fy, lo tadi mau nanya apaan?" Akhirnya Rio buka suara. Aku mendongak, lalu menggeleng pelan.

"Bukan apa-apa. Lain kali aja." Moodku serasa menghilang. Karena apa? Entahlah. Mungkinkah karena pemuda di sebelah kiri Rio itu? Atau gadis di sebelah kanan Rio? Atau keduanya? Atau malah karena Rio? Astaga, ada apa denganku?

***

Seiring waktu berlalu, aku makin dekat dengan Rio, juga Gabriel. Kami sering melewatkan waktu berempat, tentu saja dengan Sivia pula. Kabarnya, Gabriel memang telah berpacaran dengan Sivia. Dan entah kenapa hal itu membuat hatiku nyeri. Sebenarnya aku selalu menahan perasaan sesak, seperti sekarang ini, saat kami menghabiskan waktu berempat.

Tapi mungkin lebih tepatnya berdua. Gabriel dan Sivia sepertinya sedang asyik bermain berdua, meninggalkan aku dan Rio.

"Nih, Fy.." Sebuah tangan terjulur di hadapanku, menyodorkan sebuah es krim.

Aku tersenyum, menerima es krim tersebut. "Thanks."

"Yoa.." Rio hendak duduk di sebelahku, namun tanpa sengaja tangannya menampik tangan anak kecil yang membawa es krim. Dan yang terjadi (tentu saja) es krim anak itu terjatuh.

"Eh maaf ya, Dik, kakak nggak sengaja.." Rio berjongkok di hadapan bocah itu. Namun lima detik kemudian tangis anak itu pecah.

"Aduh, kok nangis sih? Kakak ganti es krimnya, ya? Udah kamu jangan nangis.." Rio menepuk pelan pipi anak itu. Syukurlah anak itu langsung terdiam. Namun sepertinya dia bersiap menangis kembali.

"Huaa.. Hiks hiks.."

Benar, kan?

"Kakak nyanyiin lagu, ya? Tapi kamu jangan nangis lagi.." Tanpa menunggu persetujuan anak itu, Rio langsung berdiri.

"Gundul gundul pacul cul gemblelengan.. Nyunggi nyunggi wakul kul gemblelengan.. Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.. Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.."

Deg! Seperti Deja vu. Seakan-akan keadaan di sekelilingku adalah pasar tradisional di mana keadaannya sangat ramai. Seperti meminjam mesin waktu Doraemon, aku melihat seorang bocah laki-laki menyanyikan lagu untuk anak perempuan.

Rio juga melakukan hal yang sama dengan bocah itu. Mengangkat tangan setinggi kepala, lalu menari membentuk sebuah lingkaran. Mirip Stev..

Setelah menyanyikan lagu itu, anak itu berhenti menangis. Rio memberikan es krimnya sebagai ganti. Anak itu pun berlari riang meninggalkan aku dan Rio.

"Yo, boleh nanya sesuatu?" Aku harus memperjelas semuanya, sekarang.

Rio mengangkat alis -seperti reaksinya yang dulu-. "Apa?"

"Lagu tadi, emh pernah lo nyanyiin sebelumnya?"

"Lagu tadi? Oh iya dong, gue kan dulu seneng banget sama lagu itu.. Kalau ada temen atau orang lain yang nangis pasti gue nyanyiin lagu itu, dan akhirnya mereka berhenti nangis deh, kaya anak tadi. Emang kenapa, Fy?" Rio menatapku. Reaksiku? Mataku berkaca-kaca. Apakah 'Stev' yang dulu adalah 'Stevano'? Pemuda yang di hadapanku sekarang?

"Lo pernah nyanyiin lagu itu buat anak kecil di pasar? Sekitar delapan tahun yang lalu?"

Aku melihat raut keraguan di wajah Rio. Entah artinya apa. Pemuda itu mengangguk ragu. "Iya.."

***

Semenjak pengakuan Rio itu, aku jadi percaya kalau Stev yang dulu adalah Mario Stevano. Ya, aku percaya. Aku tak peduli sebagian hatiku menolak kepercayaan itu.

Dan hari ini, rasanya aku sangaaaaat bahagia. Rio menyatakan cinta padaku! Hah tak perlu ku beri tau bagaimana kronologisnya, aku tau kalian pasti akan iri padaku. Benar, kan?

Hari-hari ku lewati dengan kebahagiaan bersama Rio. Namun ada yang aneh. Rasanya sebagian hatiku tak bisa lepas dari Gabriel. Bingung maksudku? Setiap saat bersama Rio, entah mengapa aku memikirkan Gabriel. Sedang apa pemuda itu sekarang? Apakah bersama Sivia? Kenapa dia jadi lebih jauh begitu tau aku berpacaran dengan Rio? Apa dia tak suka dengan ini? Sampai suatu saat, aku tak sengaja mendengar percakapan kedua saudara kembar itu..

"Yo, sampai kapan lo mau bohongin dia terus?" Yang ini jelas suara Gabriel.

"Gue nggak tau, Yel. Gue udah terlanjur, nih.." Suara Rio menyusul.

"Harusnya lo nggak bohongin dia dari awal, lo nggak perlu ngaku kalau lo pernah nyanyiin lagu itu di pasar!"

Sekarang aku mulai mengerti arah pembicaraan mereka. Rio menipuku? Jadi bukan dia yang menyanyikan lagu gitu padaku? Lalu siapa?

"Gue nggak tau harus jawab gimana, Yel! Lo tau sendiri, kan, kalau gue suka sama dia! Masa gue harus bilang kalau lo yang ketemu sama dia delapan tahun yang lalu?!"

Deg! Jadi benar kalau Stev adalah Gabriel? Lalu kenapa Rio bohong padaku?

"Gue tau posisi lo, Yo. Lo udah terlanjur bilang kalau lo pernah nyanyiin lagu itu buat gadis kecil di pasar, pas udah jadian dia cerita kalau bocah laki-laki itu cinta pertamanya, kan? Dan ternyata bocah itu gue, hah gue jadi kasian sama Ify kalau dia tau masalah ini."

BUG!

Aku terkejut. Rio melayangkan tinjunya di tulang pipi Gabriel. Secara refleks aku menghampiri mereka -lebih tepatnya Gabriel-.

"STOP, YO!" pekikku. Aku langsung menghampiri Gabriel yang tersungkur sambil memegangi bibirnya yang sedikit berdarah.

"Fy? Kok kamu di sini?" Aku tak peduli dengan pertanyaan Rio. Aku segera menghapus darah di sudut bibir Gabriel demham tisu.

“Udah, Fy, gue nggak apa-apa kok..” Gabriel menyingkirkan tanganku perlahan lalu bangkit, menatap Rio.

“Selesein dulu masalah lo sama dia, bro.” Gabriel menepuk bahu Rio lalu berlalu. Aku terus menatap kepergiannya.

“Fy..”

Aku baru tersadar saat mendengar panggilan Rio.

“Kamu kok bisa di sini?” nada suaranya terdengar gugup. Aku berdiri.

“Emang nggak boleh? Kan hakku juga mau ke sini.” Sungutku.

“Kamu emh udah lama di sini?”

“Udah, sejak Gabriel bilang kamu bohong.” jawabku santai.

Muka Rio terlihat pucat. Hei, apa yang salah dengan kata-kataku? Kenapa Rio jadi sepucat itu?

"Fy, aku bisa jelasin ke kamu, aku cuma.."

"Cuma apa?" potongku cepat. "Cuma karena pengen nipu aku? Cuma supaya bisa bikin kamu seneng dengan manfaatin cerita orang lain?!" tuduhku.

"Fy! Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu, Fy! Karena aku pengen lebih deket sama kamu!" Tak kusangka Rio membalas dengan sentakan.

"Yo, kamu nggak perlu sampai ngebohongin aku segala.. Aku bener-bener percaya kalau kamu itu Stev, dan juga bener-bener merasa tertipu sama kamu!"

"Fy.. aku minta maaf, ya? Aku.. beneran sayang sama kamu, Fy.." Rio meraih jemariku, -mungkin- berusaha meyakinkan.

"Udah terlambat, Yo. Dulu emang aku percaya, tapi sekarang enggak. Semua udah berakhir, kita putus.." Aku melepaskan genggaman tangan Rio dan beranjak meninggalkan Rio.

"Fy, tunggu.." Rio kembali meraih jemariku, menggenggamnya. "Aku mohon, Fy, jangan memberiku.. akhir cerita seperti ini.."

Oh Tuhan, pandanganku mengabur. Pasti sebentar lagi aku segera membasahi pipiku. Tidak, aku tidak boleh menangis sekarang, dalam keadaan seperti ini.

"Fy.." Aku dapat merasakannya, Rio berdiri di belakangku.

"Cukup, Yo.. Aku udah nggak bisa percaya lagi sama kamu.." Aku melepaskan genggaman Rio di jemariku lalu perlahan pergi.

Aku tak mendengar derap langkah Rio yang mengikutiku. Baguslah. Aku jadi lega. Tapi.. kenapa rasanya ada yang mengganjal ya?

"YO! BEGO LO! CEPETAN MINGGIR!"

Aku tau suara itu. Suara Gabriel. Secara refleks aku menoleh ke sumber suara. Bukan Gabriel yang berdiri di seberang jalan yang membuatku sesak. Tapi Rio. Rio yang berdiri di tengah jalan!

"NGGAK! GUE NGGAK AKAN MINGGIR SEBELUM IFY MAAFIN GUE!"

Dadaku sesak. Nafasku memburu. Apa yang dipikirkan Rio? Kenapa dia begitu nekat? Nggak, aku nggak bisa membiarkan Rio seperti itu!

Baru saja aku melangkah, sesuatu yang tak ku harapkan terjadi. Tidak, jangan Rio.. Tolong, jangan Rio!

Tapi ternyata Tuhan mendengar doaku. Bukan Rio yang tertabrak, tapi Gabriel. Gabriel? Lututku lemas seketika. Aku hampir ambruk kalau saja tak berpegangan pada sebuah tiang. Di sana, sekitar sepuluh meter dari tempatku, Gabriel tergeletak tak berdaya bersimbah darah. Rio? Kemana perginya pemuda itu? Entahlah, aku tak peduli. Aku segera berlari ke tempat Gabriel yang sudah dikerumuni banyak orang. Sampai aku tak menyadari kalau ada seseorang yang hampir meraihku dengan tangan bersimbah darah.

***

(Flashback Off)

Saat itu -menurut saksi mata- Gabriel mendorong Rio supaya menjauh saat sebuah truk mendekat. Rio langsung terdorong menjauh dan.. Gabriel yang tertabrak truk.

Masihkah kalian merasa aku terlalu jahat pada Rio? Mungkin masih. Rio tak selayaknya dibenci. Dia hanya ingin permintaan maaf dariku. Dia benar-benar sayang padaku. Dia melakukannya untukku. Ya, hal itulah yang selalu dikatakan Shilla, sahabatku.

Shilla tau segalanya. Tentang Stev, dan semua masalah antara aku-Rio-Gabriel. Shilla juga menyalahkanku. Aku terlalu jahat, katanya. Tapi dia tidak tau bagaimana perasaanku. Bagaimana rasanya ditipu oleh… orang yang amat kusayangi.

Sayang? Benar. Aku tak bias membohongi perasaanku. Aku masih sayang pada Rio. Seberapapun aku membencinya, euphoria itu tetap hadir saat mataku bertemu dengan manik matanya. Tapi egoku jauh lebih besar. Aku tekan perasaan-ingin-memeluknya jauh dalam hatiku. Biarlah… aku butuh waktu untuk membencinya.

***

“Fy, lo tetep benci sama Rio?” Tanya Shilla selepas pelajaran Pak Ony.

Aku Cuma mendengus lalu mengangguk perlahan.

“Sekarang gue Tanya deh, Fy, seandainya Rio ninggalin lo gimana? Maksudnya, kalau Rio meninggal gimana?”

“Lo kok bilang gitu sih?”

“Who knew, Alyssa? The death could come at any time, couldn't it?” (Siapa tahu, Alyssa? Kematian bisa datang kapan saja, bukan?)

Aku diam. Bukannya tidak mau menjawab, hanya saja aku tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana kalau yang diucapkan Shilla itu benar?

“If he died when you did not yet accept the request sorry him, how is it going?” (Kalau dia meninggal waktu lo belum menerima permintaan maafnya, bagaimana?)

Entah mendapat dorongan dari mana, saat melihat kedua manik mata itu menatapku, dengan yakin aku berucap, “I continue to hated him. Did not care if he will leave me, forever.” (Gue tetap membencinya. Tak peduli dia ninggalin gue, selamanya.)

Sedetik kemudian aku sungguh menyesal saat melihat manik itu tak lagi bercahaya.

***


indah terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki

“Fy..”

Aku refleks berhenti dari kegiatanku, menatap tetesan-tetesan hujan, dan menoleh ke pemilik suara baritone yang khas itu. Rio. Berdiri di sebelahku, menatapku.

“Kamu… masih marah sama aku?”

Pertanyaan bodoh. Aku cuma melengos. Kurasa itu cukup sebagai jawaban.


dan bila itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita

“Fy, asal kamu tau. Aku nggak pernah pengen nyelakain Gabriel. Itu semua aku lakuin demi kamu. Aku sendiri nggak tau kalau akhirnya bakal kaya gini. Aku minta maaf, Fy, untuk semuanya. Untuk semua cerita-cerita bohong, untuk kematian Gabriel, dan untuk perasaanku. Maaf, maaf kalau aku sayang sama kamu. Mungkin kamu nggak suka soal ini. Aku sadar, Fy. Tapi aku mohon, ucapkan sepatah atau beberapa patah kata buatku, Ify. Please… sebelum semuanya terlambat, Fy..”

Bukan hanya sepatah dua patah kata, Yo. Aku ingin sekali mengungkapkan semuanya. Tentang perasaanku, tentang kebencianku padamu, tentang segalanya. Tapi rasanya lidahku kelu. Sial. Kenapa rasanya disaat seperti ini aku merasa indera ini tak berguna sama sekali?

“If he died when you did not yet accept the request sorry him, how is it going?”

Ucapan Shilla kembali terngiang di fikiranku. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Sebenci apapun aku pada Rio, aku masih menyimpan rasa sayang untuknya.

“Yo, aku..”

Saat menoleh ke tempat Rio tadi, aku tak melihat pemuda kurus itu lagi. Hei, ke mana perginya? Bukankah dia memohon padaku tadi? Lalu di mana dia? Aku masih berfikir dia berdiri di tempat itu, karena memang aku tak mendengar derap kakinya menjauh. Terhalang oleh bunyi air hujan, kah? Kurasa tidak.

“Eh, kamu tadi liat cowok yang berdiri di sebelahku, nggak?” tanyaku pada seorang gadis yang duduk di tempat duduk di belakangku.

Gadis itu menggeleng. “Aku liat kamu sendirian berdiri di situ daritadi.”

Deg. “Oh, makasih ya.” Aku menyunggingkan senyum tipis lalu kembali menatap tempat Rio berdiri tadi.


tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua

Drrt.. Drrt..

Aku segera mengambil ponsel di saku rok abu-abuku. One message received.

From: Ashilla

Fy, lo telat. Rio died.

Astaga! Shilla pasti bercanda. Dengan jari gemetar aku menelefon Shilla.

“Ya, Fy?” sahut Shilla di seberang sana.

“Shil, lo becanda kan soal Rio? BILANG KE GUE KALO LO BECANDA, SHILL!”

Aku tau, semua orang di halte menatapku, tapi aku tak peduli. Shilla sama sekali tidak lucu!

“Gue serius, Fy.. Rio emang udah pergi.. Baru aja gue dapet SMS dari Ozy, katanya Rio meninggal, sekarang jenazahnya lagi di autopsi.”

Air mataku mengalir. Tak menyangka Shilla jujur.

“Fy, lo baik-baik aja, kan? Lo pasti belum bilang ke dia kalo lo maafin dia, kan?”

“Nggak, Shill. Gue nggak baik. Gue belum bilang ke dia. Tadi dia di sini, Shill! Di sebelah gue, mohon-mohon sama gue buat maafin dia. Tapi waktu gue mau jawab, dia nggak ada, Shill! Dia ninggalin gue.. hiks.”

“Dia di sebelah lo? Kapan?”

“Kurang lebih lima menit yang lalu..”

“Nggak mungkin, Fy…. Rio meninggal tiga puluh menit yang lalu.”

“Tapi, Shill… kalau boleh tau, kenapa dia bias meninggal?”

“Kanker paru-paru, Fy. Oke, dia emang nggak ngerokok, tapi mungkin aja faktor keturunan, kan? Lo ke sini sekarang juga, kita ke rumah Rio bareng-bareng.”

Klik. Sambungan telefon terputus.


sudah, terlambat sudah
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
semuanya terlambat. Ucapan Shilla benar-benar terjadi. Tidak, aku tidak pernah mengharapkan ini terjadi. Aku selalu berharap untuk bisa memafkan Rio, walau sulit. Dan sekarang, saat aku ingin mengatakan semuanya pada Rio, tangan-tangan kematian lagi-lagi menjemput orang yang kusayang. Aku merasa sebagai… gadis pembawa sial.

Gabriel meninggal gara-gara Rio. Bukan. Gabriel meninggal gara-gara aku. Gara-gara aku marah pada Rio, sehingga Rio nekat dan akhirnya Gabriel yang pergi. Rio meninggal bukan gara-gara aku. Benar. Karena penyakit itu. Tapi kalau saja aku menyadari ini sejak dulu, aku pasti akan memberikan kenangan-kenangan indah disaat-saat terakhir hidupnya. Buka menabur garam pada luka di hatinya.


tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
kakiku melangkah ringan menyebrang jalan, menembus hujan, mengabaikan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi hijau.

“Aku maafin kamu, Yo. Aku sayang kamu.”

*
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar