Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni.
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.
~Sapardi Djoko Damono~
*
Kala waktu enggan menanti, aku akan tetap ada di sini.
Kala masa tak dapat lagi teraba, aku takkan beranjak ke mana-mana.
Kala cinta tak kasatmata, aku akan mencoba menguraikannya.
Kala kisah ini harus berakhir, hanya kenangan yang dapat ku ukir.
*
Hari ini, hari perdana di bulan juli. Hari eksekusi antara hidup dan mati.
Ah. Berat rasanya meninggalkan bulan juni. Bagiku, juni bukan hanya sekedar bulan. Tapi lebih dari itu. Aku sangat mencintai bulan juni. Mencintai segalanya tentang bulan juni. Hujan bulan juni. Mentari bulan juni. Purnama bulan juni. Gerhana bulan juni. Gugus bintang bulan juni. Pelangi bulan juni. Langit bulan juni. Dan tentunya kamu, Pangeran Bulan Juni.
Pangeran Bulan Juni. Ya, aku fikir julukan itu layak disematkan padamu. Bagaimana tidak? Kau lahir di bulan juni. Kau masuk sekolah ini di bulan juni. Kau berhasil membawa tim sepakbola sekolah ini di bulan juni. Catatan gemilangmu selalu tertoreh di bulan juni. Dan di bulan juni pula, kisah itu bermulai. Sebuah kisah yang tak pernah tersentuh. Bukan kisah tentangku atau tentangmu. Tapi kisah tentang kita. Aku, kamu dan hujan bulan juni.
*
Hujan selalu melaksanakan tugasnya dengan baik. Tugas untuk menyelipkan sebuah asa di dalam jiwa. Asa berisikan mimpi-mimpi yang selalu siap teronggok mati kapan saja dan mimpi-mimpi yang kuat dan takkan menyerah walau badai menerjang.
Dan kali ini, hujan bukan hanya melakukan hal itu. Lewat tiap rinai hujan yang beriringan menyerbu bumi, dia menyalurkan tiap inci harapan. Harapan akan kisah yang -mungkin- tak berharga ini akan selalu bertahan.
*
Hujan deras mengguyur kotaku sore ini. Angin pun turut menyertainya. Menghasilkan dingin yang menusuk tulang. Membuatku harus melipat kedua tangan dan memeluk badan. Untung saja petir tak ikut berparade menyerbu bumi bersama hujan dan angin. Kalau sampai hal itu terjadi, aku takkan berani berdiri di sini, di sebuah halte tua yang tak jauh dari sekolahku.
Aku menggosok-gosokan kedua telapak tangan, mencoba membuat sedikit kehangatan agar mengurangi dingin yang dihadirkan sang hujan.
Ck. Aku berdecak. Kesal sendiri. Sudah hampir satu jam aku berdiri di sini, menunggu ayah yang berjanji akan menjemputku sore ini. Tapi, kenapa sampai sesore ini beliau belum juga datang?
Aku mengulurkan tangan ke depan, menengadahkan telapak tangan, agar rintakan hujan dapat leluasa mendarat di atasnya. Aku mendesah lalu berkata "Hujan, ayolah berhenti! Ayah terlambat menjemputku pasti karena terhalang olehmu. Ayolah pulang! Aku takut!" dengan nada memelas.
"Ckck..." seseorang berdecak. "Dasar manja!" cibir orang itu.
Aku mengerutkan kening. Siapa orang yang tidak sopan yang berani berkata seperti itu? Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda yang memakai kaos bola tengah duduk di kursi panjang halte. Pemuda itu sangat amat ku kenal. Ya, tentu saja. Sudah dua tahun aku harus sekelas dengannya. Pemuda yang memiliki tubuh tinggi. Kulit yang agak gelap. Mata yang tajam dengan tatapan yang mematikan. Senyuman yang terkesan meremehkan. Rambut acak-acakan. Cara berpakaian yang seperti preman. Gaya bicaranya yang sangat angkuh. Kebiasaannya yang selalu pergi saat jam pelajaran. Dan semua keburukan yang dia perbuat. Aku sangat mengetahuinya. Dia, Mario Stevano.
Aku bergegas menghampirinya. Berkacak pinggang dan menatapnya tajam. "Heh!"
Dia tak menghiraukan kehadiranku. Dia malah memutar-mutar bola sepak yang di pegangnya.
Aku mengulum bibir. "Heh!" kataku lagi sambil mendorong bahunya.
"Hehe,.." dia terkekeh. "Dasar anak manja!" ujarnya sambil memutar kedua bola matanya. Menyebalkan.
"Lo..."
"Ifyyyy! Ayo pulang!" teriak ayah dari dalam mobil. Beliau baru saja tiba.
Ayah datang di saat yang kurang tepat. Membuat sejuta cacian yang sudah siap terlontar dari mulutku harus tertahan. Aku meneguk ludah.
Aku berdecak lalu melengos masuk ke dalam mobil. Menyuruh ayah agar segera menancap gas. Aku muak berlama-lama di sini. Apalagi ada pemuda yang sampai saat ini masih terus memutar-mutar bola sepaknya. Kurang kerjaan. Aku berdecak lagi.
Akhirnya kami pergi. Melaju menerobos hujan. Bergegas menantang angin. Meninggalkan dia. Dia yang tanpa aku sadar adalah bagian terpenting dari kisah yang disusun oleh tiap jengkal harapan.
*
Rasa masih terlihat samar.
Cinta sama sekali belum teraba.
Berdoalah, agar semua baik-baik saja.
*
Aku tak menyadari, bahwa tiap rinai hujan yang mengiringiku sore itu dan desauan angin yang berhembus mendukung sang hujan adalah awal dari kisah ini. Tak teraba raga. Tak terlihat mata.
*
Aku adalah seorang gadis yang lebih senang menyendiri. Menghabiskan waktu istirahat hanya dengan duduk berselonjor kaki di tepi kolam kecil, di dekat lapangan sepakbola sekolah.
Tangan kananku sedang menimang-nimang sebuah gelang cantik dengan manik-manik beraneka warna. Gelang pemberian dari ayah. Dan saat sebuah bola sepak tepat menghujam tanganku, membuat aku terkejut, dan sang gelang melompat masuk ke dalam kolam. Tenggelam.
Aku ternganga. Tak bisa mengatakan apa pun. Bahkan aku merasa lemas. Aku melipat kedua kaki lalu memeluk lutut. Menggigit bibir. Menahan agar tangisku tidak pecah. Ah, aku memang gadis yang mudah menangis. Dan kali ini pun, aku menangis.
Terdengar suara derap kaki saling bersahutan, mendekat. Aku merasakan seseorang kini sudah berada di hadapanku. Dan saat aku mendongak, dia sedang berjongkok di hadapanku. Dia merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih. Lalu mengusapkannya pada pipiku. Menghapus deretan kristal bening yang beriringan merembesi pipi tirusku. "Gue yang nendang bolanya." ujarnya.
"Gelang gue..." kataku dengan suara bergetar.
Dia menyimpan sapu tangannya di tanganku. Melepas sepatu bola beserta kaos kakinya. Dan tanpa terduga, dia melompat masuk ke dalam kolam.
Dia menyingkirkan rambutnya ke pinggir. Lalu setelahnya menenggelamkan kepala dan tangan kanannya ke dalam kolam untuk menemukan gelangku.
Dua menit kemudian, dia mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Tersenyum sinis. Lalu keluar dari kolam.
Dia berhenti melangkah. Melempar gelang yang bercampur dengan lumpur. Dan sang gelang jatuh tepat di ujung kakiku. "Jangan nangis! Hujan ga pernah suka liat lo nangis!" ujarnya.
Dan akhirnya dia pergi sambil menenteng sepatu bolanya. Meninggalkanku yang sedang tertunduk dan menggenggam erat gelangku.
"Makasih!" ucapku pelan.
*
Cahaya itu datang.
Mengungkap kebenaran.
Menyibak kenyataan.
Yakinlah, semua akan baik-baik saja.
*
Jangan pernah menyalahkan hujan karena telah mengawali kisah ini. Berterimakasihlah pada hujan yang telah membantu kita melanjutkan kisah klasik ini. Dan kau harus tahu, aku menikmati tiap sudut dari kisah ini.
*
Sore lagi. Hujan lagi. Terjebak lagi. Aku kembali mengulang peristiwa di awal juni yang lalu. Bahkan kali ini, aku masih berada di depan pos satpam. Menyebalkan.
Aku tak mau berlama-lama di tempat ini. Karena pos satpam ini ternyata lebih menyeramkan dari halte tua itu. Aku memutuskan untuk menerobos hujan.
Dan langkah pertama yang baru ku ambil terhenti, saat sebuah tangan kokoh menyergap tanganku.
Aku menoleh. Dia lagi.
"Bodoh! Lo bisa sakit kalau hujan-hujanan!" ujarnya ketus.
Aku mengulum bibir. Kenapa pemuda menjengkelkan ini sangat gemar mencibirku sih? Aku berdecak.
"Pakai jaket gue!" dia melempar jaket putihnya.
Aku segera menuruti perintahnya. Dan setelah itu berlari menerobos hujan.
Baru saja lima langkah, aku berhenti. Aku tergoda untuk menengok ke belakang, melihat keadaannya.
Saat aku berniat untuk menoleh, tiba-tiba tangan kokoh itu kembali meraih tanganku. Dan kali ini menariknya, membuatku harus mengekorinya.
*
"Lo emang cewek bodoh! Bukannya lari, malah berhenti!" ujarnya sambil mengibaskan rambutnya yang basah kuyup oleh hujan.
Dia duduk di sampingku. Menggosok-gosokan kedua telapak tangan lalu meniupnya. Dia gemetar. Kedinginan.
Aku menunduk. Menggigit bibir dan menangis lagi. Bukan karena aku kedinginan atau ucapan ketusnya. Tapi aku sedih melihatnya harus basah kuyup untuk yang kedua kalinya karena aku. Ya, aku mempedulikannya.
"Maaf..." ujarku terisak.
"Jangan nangis! Gue kan udah bilang, kalau hujan ga suka liat lo nangis." katanya.
Aku masih terus menangis.
"Udah dong!" dia mengulurkan tangannya. Merangkul tubuhku dan akhirnya membiarkanku menumpahkan tangis dalam dekapannya.
Sambil terus menangis, tanpa sadar aku pun menikmati detik ini. Saat dada kokohnya menjadi sandaran tangisku. Saat kedua tangannya melingkari tubuhku. Saat dengan leluasa aku mendengar debar jantungnya yang bertalu. Saat aku merasakan hangat tubuhnya. Saat aku mencium aroma khas tubuhnya yang bercampur aroma hujan. Saat aku merasakan tiap tetesan air hujan yang bergelayut di ujung rambutnya jatuh tepat di puncak kepalaku. Saat sebuah getaran hebat menyergapku. Dan saat tanpa sadar pula, aku merasa untuk pertama kalinya, aku menyukai keberadaanya.
*
Jangan biarkan aku menyesali ini semua.
Tolong yakinkan aku akan perasaan ini.
Dan tetaplah berdoa, semuanya baik-baik saja.
*
Pangeran Bulan juni. Aku sangat menyukaimu. Menyukai tiap detik yang terlewat bersamamu. Entah itu saat langit cerah atau alam menangis. Entah itu saat aku tertawa bahagia atau aku jatuh terpuruk. Semoga Tuhan tak menyuruh hujan untuk mengakhiri kisah ini.
*
Aku tak bisa mencegah hujan untuk turun dan menolak kedatangan eksekusi itu.
Dan, di sore berhujan, di penghujung bulan juni, dia datang menemuiku di halte tua ini, dengan wajah yang teramat kalut.
Dia duduk di samping kananku. Menggigit bibir. Mendesah berat. Lalu tertunduk. Gelisah.
"Gue..." ucapnya terbata-bata. "Gue mau pergi, gue mau pindah ke Inggris, nanti malam."
Aku berusaha menutupi perasaanku saat ini. Saat ucapannya tadi menohokku, memukulku, telak. Hatiku mencelos. Dan jujur, aku tak ingin berpisah dengannya.
"Emang, gue peduli?" ujarku sebiasa mungkin. Walau sebenarnya aku merasakan sakit yang sangat luar biasa.
"Gue tau, lo ga mungkin peduli sama gue. Tapi, lo harus tau, kalau gue selalu peduli sama lo. Gue sayang sama lo dari dulu. Dari awal kita ketemu. Dari juni dua tahun yang lalu. Sampai nanti, sampai juni-juni yang akan terlewati." ujarnya.
Aku memang tak pernah pandai berbohong. Apalagi membohongi perasaanku sendiri. Perasaan bahwa aku juga menyayanginya. Maka aku pun kembali menangis. Menyedihkan.
Dia kembali melakukan hal itu. Dia merangkulku dan membiarkan aku menangis dalam dekapannya. Dan sekarang, aku melingkarkan tanganku untuk membalas pelukannya, erat sekali, tak ingin dia pergi.
Dia mengelus lembut kepalaku. Membuatku memejamkan mata untuk meresapi tiap usapannya. "Jangan...! Jangan pergi! Jangan biarin gue nangis tanpa lo!" kataku.
Dia berhenti mengusap kepalaku. Lalu dengan mata terpejam mengecup ubun-ubunku. Membuatku semakin berat untuk melepasnya. Membuatku harus mengakui, bahwa aku sangat membutuhkannya. Membutuhkan tangan kokohnya untuk mencegahku melakukan hal bodoh. Membutuhkan dada kokohnya untuk menjadi sandaran tangisku. Membutuhkan aroma khasnya untuk menenangkanku. Praktisnya, aku membutuhkan segalanya tentangnya.
Dia berhenti mengecup ubun-ubunku. Melepas pelukannya. Bangkit dari duduknya. Dan berkata "Gue pergi. Jangan nangis, hujan ga pernah suka liat lo nangis."
Dan setelah perkataanya dia berlari. Menerobos hujan. Sampai akhirnya sosoknya pun hilang beserta semua rentetan kisah ini yang tertelan hujan.
*
Meski hati tak mampu menyatu.
Meski kisah ini harus musnah.
Meski cinta berjalan tidak semestinya.
Yakinlah, semua akan tetap baik-baik saja.
*
Waktu harus terus melaju. Masa harus tetap berjalan. Aku tak punya mesin pembeku waktu, untuk mengkristalkan tiap detik yang kita lalui bersama. Dan seharusnya aku bangkit. Meninggalkan juni yang ku cintai. Berlari memburu juli yang sudah menanti. Bergegas menyongsong juli yang -aku harap- berarti.
Selamat tinggal Pangeran Bulan Juni. Kau harus tahu, di setiap lantunan doaku, namamu selalu ku ucap. Ya, aku berdoa, semoga kita dapat bertemu lagi. Semoga kita dapat menikmati tiap rinai hujan yang selalu mengiringi kebersamaan kita. Semoga kita dapat bercerita tentang keluh kesah kita pada sang rembulan. Semoga kita dapat mengukur panjang lengkung sang pelangi. Aku berdoa untuk semua itu.
Dan, aku hanya berharap kisah ini takkan terlupa begitu saja. Dan semoga kenangan yang tersisa akan terus bertahan. Takkan lapuk oleh waktu, terkikis oleh masa, terbunuh oleh zaman. Kenangan tentang kisah ini. Antara aku, kamu, dan Hujan Bulan Juni.
*
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni.
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.
~Sapardi Djoko Damono~
*
Kala waktu enggan menanti, aku akan tetap ada di sini.
Kala masa tak dapat lagi teraba, aku takkan beranjak ke mana-mana.
Kala cinta tak kasatmata, aku akan mencoba menguraikannya.
Kala kisah ini harus berakhir, hanya kenangan yang dapat ku ukir.
*
Hari ini, hari perdana di bulan juli. Hari eksekusi antara hidup dan mati.
Ah. Berat rasanya meninggalkan bulan juni. Bagiku, juni bukan hanya sekedar bulan. Tapi lebih dari itu. Aku sangat mencintai bulan juni. Mencintai segalanya tentang bulan juni. Hujan bulan juni. Mentari bulan juni. Purnama bulan juni. Gerhana bulan juni. Gugus bintang bulan juni. Pelangi bulan juni. Langit bulan juni. Dan tentunya kamu, Pangeran Bulan Juni.
Pangeran Bulan Juni. Ya, aku fikir julukan itu layak disematkan padamu. Bagaimana tidak? Kau lahir di bulan juni. Kau masuk sekolah ini di bulan juni. Kau berhasil membawa tim sepakbola sekolah ini di bulan juni. Catatan gemilangmu selalu tertoreh di bulan juni. Dan di bulan juni pula, kisah itu bermulai. Sebuah kisah yang tak pernah tersentuh. Bukan kisah tentangku atau tentangmu. Tapi kisah tentang kita. Aku, kamu dan hujan bulan juni.
*
Hujan selalu melaksanakan tugasnya dengan baik. Tugas untuk menyelipkan sebuah asa di dalam jiwa. Asa berisikan mimpi-mimpi yang selalu siap teronggok mati kapan saja dan mimpi-mimpi yang kuat dan takkan menyerah walau badai menerjang.
Dan kali ini, hujan bukan hanya melakukan hal itu. Lewat tiap rinai hujan yang beriringan menyerbu bumi, dia menyalurkan tiap inci harapan. Harapan akan kisah yang -mungkin- tak berharga ini akan selalu bertahan.
*
Hujan deras mengguyur kotaku sore ini. Angin pun turut menyertainya. Menghasilkan dingin yang menusuk tulang. Membuatku harus melipat kedua tangan dan memeluk badan. Untung saja petir tak ikut berparade menyerbu bumi bersama hujan dan angin. Kalau sampai hal itu terjadi, aku takkan berani berdiri di sini, di sebuah halte tua yang tak jauh dari sekolahku.
Aku menggosok-gosokan kedua telapak tangan, mencoba membuat sedikit kehangatan agar mengurangi dingin yang dihadirkan sang hujan.
Ck. Aku berdecak. Kesal sendiri. Sudah hampir satu jam aku berdiri di sini, menunggu ayah yang berjanji akan menjemputku sore ini. Tapi, kenapa sampai sesore ini beliau belum juga datang?
Aku mengulurkan tangan ke depan, menengadahkan telapak tangan, agar rintakan hujan dapat leluasa mendarat di atasnya. Aku mendesah lalu berkata "Hujan, ayolah berhenti! Ayah terlambat menjemputku pasti karena terhalang olehmu. Ayolah pulang! Aku takut!" dengan nada memelas.
"Ckck..." seseorang berdecak. "Dasar manja!" cibir orang itu.
Aku mengerutkan kening. Siapa orang yang tidak sopan yang berani berkata seperti itu? Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda yang memakai kaos bola tengah duduk di kursi panjang halte. Pemuda itu sangat amat ku kenal. Ya, tentu saja. Sudah dua tahun aku harus sekelas dengannya. Pemuda yang memiliki tubuh tinggi. Kulit yang agak gelap. Mata yang tajam dengan tatapan yang mematikan. Senyuman yang terkesan meremehkan. Rambut acak-acakan. Cara berpakaian yang seperti preman. Gaya bicaranya yang sangat angkuh. Kebiasaannya yang selalu pergi saat jam pelajaran. Dan semua keburukan yang dia perbuat. Aku sangat mengetahuinya. Dia, Mario Stevano.
Aku bergegas menghampirinya. Berkacak pinggang dan menatapnya tajam. "Heh!"
Dia tak menghiraukan kehadiranku. Dia malah memutar-mutar bola sepak yang di pegangnya.
Aku mengulum bibir. "Heh!" kataku lagi sambil mendorong bahunya.
"Hehe,.." dia terkekeh. "Dasar anak manja!" ujarnya sambil memutar kedua bola matanya. Menyebalkan.
"Lo..."
"Ifyyyy! Ayo pulang!" teriak ayah dari dalam mobil. Beliau baru saja tiba.
Ayah datang di saat yang kurang tepat. Membuat sejuta cacian yang sudah siap terlontar dari mulutku harus tertahan. Aku meneguk ludah.
Aku berdecak lalu melengos masuk ke dalam mobil. Menyuruh ayah agar segera menancap gas. Aku muak berlama-lama di sini. Apalagi ada pemuda yang sampai saat ini masih terus memutar-mutar bola sepaknya. Kurang kerjaan. Aku berdecak lagi.
Akhirnya kami pergi. Melaju menerobos hujan. Bergegas menantang angin. Meninggalkan dia. Dia yang tanpa aku sadar adalah bagian terpenting dari kisah yang disusun oleh tiap jengkal harapan.
*
Rasa masih terlihat samar.
Cinta sama sekali belum teraba.
Berdoalah, agar semua baik-baik saja.
*
Aku tak menyadari, bahwa tiap rinai hujan yang mengiringiku sore itu dan desauan angin yang berhembus mendukung sang hujan adalah awal dari kisah ini. Tak teraba raga. Tak terlihat mata.
*
Aku adalah seorang gadis yang lebih senang menyendiri. Menghabiskan waktu istirahat hanya dengan duduk berselonjor kaki di tepi kolam kecil, di dekat lapangan sepakbola sekolah.
Tangan kananku sedang menimang-nimang sebuah gelang cantik dengan manik-manik beraneka warna. Gelang pemberian dari ayah. Dan saat sebuah bola sepak tepat menghujam tanganku, membuat aku terkejut, dan sang gelang melompat masuk ke dalam kolam. Tenggelam.
Aku ternganga. Tak bisa mengatakan apa pun. Bahkan aku merasa lemas. Aku melipat kedua kaki lalu memeluk lutut. Menggigit bibir. Menahan agar tangisku tidak pecah. Ah, aku memang gadis yang mudah menangis. Dan kali ini pun, aku menangis.
Terdengar suara derap kaki saling bersahutan, mendekat. Aku merasakan seseorang kini sudah berada di hadapanku. Dan saat aku mendongak, dia sedang berjongkok di hadapanku. Dia merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih. Lalu mengusapkannya pada pipiku. Menghapus deretan kristal bening yang beriringan merembesi pipi tirusku. "Gue yang nendang bolanya." ujarnya.
"Gelang gue..." kataku dengan suara bergetar.
Dia menyimpan sapu tangannya di tanganku. Melepas sepatu bola beserta kaos kakinya. Dan tanpa terduga, dia melompat masuk ke dalam kolam.
Dia menyingkirkan rambutnya ke pinggir. Lalu setelahnya menenggelamkan kepala dan tangan kanannya ke dalam kolam untuk menemukan gelangku.
Dua menit kemudian, dia mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Tersenyum sinis. Lalu keluar dari kolam.
Dia berhenti melangkah. Melempar gelang yang bercampur dengan lumpur. Dan sang gelang jatuh tepat di ujung kakiku. "Jangan nangis! Hujan ga pernah suka liat lo nangis!" ujarnya.
Dan akhirnya dia pergi sambil menenteng sepatu bolanya. Meninggalkanku yang sedang tertunduk dan menggenggam erat gelangku.
"Makasih!" ucapku pelan.
*
Cahaya itu datang.
Mengungkap kebenaran.
Menyibak kenyataan.
Yakinlah, semua akan baik-baik saja.
*
Jangan pernah menyalahkan hujan karena telah mengawali kisah ini. Berterimakasihlah pada hujan yang telah membantu kita melanjutkan kisah klasik ini. Dan kau harus tahu, aku menikmati tiap sudut dari kisah ini.
*
Sore lagi. Hujan lagi. Terjebak lagi. Aku kembali mengulang peristiwa di awal juni yang lalu. Bahkan kali ini, aku masih berada di depan pos satpam. Menyebalkan.
Aku tak mau berlama-lama di tempat ini. Karena pos satpam ini ternyata lebih menyeramkan dari halte tua itu. Aku memutuskan untuk menerobos hujan.
Dan langkah pertama yang baru ku ambil terhenti, saat sebuah tangan kokoh menyergap tanganku.
Aku menoleh. Dia lagi.
"Bodoh! Lo bisa sakit kalau hujan-hujanan!" ujarnya ketus.
Aku mengulum bibir. Kenapa pemuda menjengkelkan ini sangat gemar mencibirku sih? Aku berdecak.
"Pakai jaket gue!" dia melempar jaket putihnya.
Aku segera menuruti perintahnya. Dan setelah itu berlari menerobos hujan.
Baru saja lima langkah, aku berhenti. Aku tergoda untuk menengok ke belakang, melihat keadaannya.
Saat aku berniat untuk menoleh, tiba-tiba tangan kokoh itu kembali meraih tanganku. Dan kali ini menariknya, membuatku harus mengekorinya.
*
"Lo emang cewek bodoh! Bukannya lari, malah berhenti!" ujarnya sambil mengibaskan rambutnya yang basah kuyup oleh hujan.
Dia duduk di sampingku. Menggosok-gosokan kedua telapak tangan lalu meniupnya. Dia gemetar. Kedinginan.
Aku menunduk. Menggigit bibir dan menangis lagi. Bukan karena aku kedinginan atau ucapan ketusnya. Tapi aku sedih melihatnya harus basah kuyup untuk yang kedua kalinya karena aku. Ya, aku mempedulikannya.
"Maaf..." ujarku terisak.
"Jangan nangis! Gue kan udah bilang, kalau hujan ga suka liat lo nangis." katanya.
Aku masih terus menangis.
"Udah dong!" dia mengulurkan tangannya. Merangkul tubuhku dan akhirnya membiarkanku menumpahkan tangis dalam dekapannya.
Sambil terus menangis, tanpa sadar aku pun menikmati detik ini. Saat dada kokohnya menjadi sandaran tangisku. Saat kedua tangannya melingkari tubuhku. Saat dengan leluasa aku mendengar debar jantungnya yang bertalu. Saat aku merasakan hangat tubuhnya. Saat aku mencium aroma khas tubuhnya yang bercampur aroma hujan. Saat aku merasakan tiap tetesan air hujan yang bergelayut di ujung rambutnya jatuh tepat di puncak kepalaku. Saat sebuah getaran hebat menyergapku. Dan saat tanpa sadar pula, aku merasa untuk pertama kalinya, aku menyukai keberadaanya.
*
Jangan biarkan aku menyesali ini semua.
Tolong yakinkan aku akan perasaan ini.
Dan tetaplah berdoa, semuanya baik-baik saja.
*
Pangeran Bulan juni. Aku sangat menyukaimu. Menyukai tiap detik yang terlewat bersamamu. Entah itu saat langit cerah atau alam menangis. Entah itu saat aku tertawa bahagia atau aku jatuh terpuruk. Semoga Tuhan tak menyuruh hujan untuk mengakhiri kisah ini.
*
Aku tak bisa mencegah hujan untuk turun dan menolak kedatangan eksekusi itu.
Dan, di sore berhujan, di penghujung bulan juni, dia datang menemuiku di halte tua ini, dengan wajah yang teramat kalut.
Dia duduk di samping kananku. Menggigit bibir. Mendesah berat. Lalu tertunduk. Gelisah.
"Gue..." ucapnya terbata-bata. "Gue mau pergi, gue mau pindah ke Inggris, nanti malam."
Aku berusaha menutupi perasaanku saat ini. Saat ucapannya tadi menohokku, memukulku, telak. Hatiku mencelos. Dan jujur, aku tak ingin berpisah dengannya.
"Emang, gue peduli?" ujarku sebiasa mungkin. Walau sebenarnya aku merasakan sakit yang sangat luar biasa.
"Gue tau, lo ga mungkin peduli sama gue. Tapi, lo harus tau, kalau gue selalu peduli sama lo. Gue sayang sama lo dari dulu. Dari awal kita ketemu. Dari juni dua tahun yang lalu. Sampai nanti, sampai juni-juni yang akan terlewati." ujarnya.
Aku memang tak pernah pandai berbohong. Apalagi membohongi perasaanku sendiri. Perasaan bahwa aku juga menyayanginya. Maka aku pun kembali menangis. Menyedihkan.
Dia kembali melakukan hal itu. Dia merangkulku dan membiarkan aku menangis dalam dekapannya. Dan sekarang, aku melingkarkan tanganku untuk membalas pelukannya, erat sekali, tak ingin dia pergi.
Dia mengelus lembut kepalaku. Membuatku memejamkan mata untuk meresapi tiap usapannya. "Jangan...! Jangan pergi! Jangan biarin gue nangis tanpa lo!" kataku.
Dia berhenti mengusap kepalaku. Lalu dengan mata terpejam mengecup ubun-ubunku. Membuatku semakin berat untuk melepasnya. Membuatku harus mengakui, bahwa aku sangat membutuhkannya. Membutuhkan tangan kokohnya untuk mencegahku melakukan hal bodoh. Membutuhkan dada kokohnya untuk menjadi sandaran tangisku. Membutuhkan aroma khasnya untuk menenangkanku. Praktisnya, aku membutuhkan segalanya tentangnya.
Dia berhenti mengecup ubun-ubunku. Melepas pelukannya. Bangkit dari duduknya. Dan berkata "Gue pergi. Jangan nangis, hujan ga pernah suka liat lo nangis."
Dan setelah perkataanya dia berlari. Menerobos hujan. Sampai akhirnya sosoknya pun hilang beserta semua rentetan kisah ini yang tertelan hujan.
*
Meski hati tak mampu menyatu.
Meski kisah ini harus musnah.
Meski cinta berjalan tidak semestinya.
Yakinlah, semua akan tetap baik-baik saja.
*
Waktu harus terus melaju. Masa harus tetap berjalan. Aku tak punya mesin pembeku waktu, untuk mengkristalkan tiap detik yang kita lalui bersama. Dan seharusnya aku bangkit. Meninggalkan juni yang ku cintai. Berlari memburu juli yang sudah menanti. Bergegas menyongsong juli yang -aku harap- berarti.
Selamat tinggal Pangeran Bulan Juni. Kau harus tahu, di setiap lantunan doaku, namamu selalu ku ucap. Ya, aku berdoa, semoga kita dapat bertemu lagi. Semoga kita dapat menikmati tiap rinai hujan yang selalu mengiringi kebersamaan kita. Semoga kita dapat bercerita tentang keluh kesah kita pada sang rembulan. Semoga kita dapat mengukur panjang lengkung sang pelangi. Aku berdoa untuk semua itu.
Dan, aku hanya berharap kisah ini takkan terlupa begitu saja. Dan semoga kenangan yang tersisa akan terus bertahan. Takkan lapuk oleh waktu, terkikis oleh masa, terbunuh oleh zaman. Kenangan tentang kisah ini. Antara aku, kamu, dan Hujan Bulan Juni.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar