Bad Valentine
Oleh : Indah Rahmawati
“Ketika aku masuk kedalam hidupmu. Ketika sebuah rasa merasuk kedalam titik kelemahanku. Kau mengucap akan kasih seribu harapan untukku. Semua hilang seakan mati meregang kalbu”
Aku tersudut dipojok kamar, dengan gaun merahku. Aku melihat sosoknya tak seperti dulu. Ya, dulu saat pertama aku mengenalnya. Mata nutbrownnya yang dingin, yang selalu kukagumi keindahannya. Sekarang menjadi mata yang merampas akan dendam yang harus ia balas sendiri atas kehancuran yang aku tak tau asal mulanya.
Tangannya berbalut cairan merah dengan tetesannya yang kontras dari ubin kamarku. Keringat dingin membasahi dahiku. Pecahan vase bunga dengan darah diujungnya, pertanda akan kemarahannya yang siap menghujam dendam terakhirnya sekaligus cinta pertama untukku…
….
Aku berlari melintasi gerbang sekolah. Hari ini jadwal biologi pertama tak boleh kulewatkan. Nafasku memacu seraya mataku awas akan penjaga sekolah.
“Kau terlambat nona,” ucap seseorang dari belakang.
Aku meringis. Lalu membalikkan badan.
“Maafkan aku, ijinkan aku menuju kelas pak,” ucapku.
“Hm, ada baiknya kau ikut aku kekantor,” ucapnya. Dia menatapku, sorot matanya menandakan “Jangan berlari, kau akan dapat masalah jika melakukannya.”
Kami melintasi koridor sekolah. Suara sepatu kulitku berdetak diubin koridor, seakan berkata “Hai Kimmy, ulanganmu kosong hari ini.” Sial.
Akhirnya kami sampai diruangan Bu Reyna, wali kelasku. Penjaga sekolah itu menyuruhku masuk. Namun aku enggan melakukannya.
“Masuklah Kim,” ucap Bu Reyna.
“Baiklah”
“Kenapa akhir-akhir ini kau sering terlambat Kim?”
“Maafkan aku. Hm, aku mengalami insomnia dan tidur saat pagi menjelang,” tukasku.
“Baiklah, mungkin ini masih bisa ditoleransi. Tapi jika kau terlambat lagi besok, lihatlah surat kuning untuk orang tuamu”
“Baiklah bu, terimakasih.”
Segera aku beranjak dari tempat itu. Aku melintasi koridor sekolah kembali, kulihat seseorang duduk dibangku taman disamping perpustakaan. Dia terlihat kebingungan dan memutuskan untuk duduk sebelum ia berdiri dan berjalan kembali. Tak ada tujuan yang jelas. Sepertinya dia murid baru. Aku mulai mendekatinya.
“Hai, apa kau butuh bantuan?” tanyaku.
“Ah, iya. Terimakasih,” ucapnya bingung sekaligus terkejut.
“Lalu?”
“Hm, aku mencari ruang kelasku. Jadwal pertama, Biologi pak Albert diruang Biologi 1,” ucapnya.
“Hey, kita satu kelas. Mari ikut aku,” ucapku.
Sunyi. Kami hanya terdiam saat melintasi beberapa ruang. Akhirnya dia mulai berbicara.
“Apa disekolah ini semua muridnya baik seperti kau?” ucapnya.
Aku tersenyum. Pertanyaan yang membuat lidahku terasa geli menjawabnya.
“Tentu, jika kau juga bersikap baik terhadap mereka.”
Kami sampai diruangan Biologi 1. Kulihat dari kaca pintu pak Albert duduk menunggu seseorang menyerahkan lembar jawaban dan berlalu dari ruangan itu.
Clek!
“Permisi pak,” ucapku. Seraya menjulurkan kepala kedalam ruangan.
Pak Albert menatapku.
“Sudah 2 kali kau terlambat dijadwalku,” ucapnya.
“Maafkan aku, aku berjanji ini tak akan terulang kembali,” tukasku.
“Baiklah, masih ada waktu untuk mengikuti ulangan. Dan… siapa dibelakangmu?”
“Hm, dia murid baru,” ucapku seraya menatapnya lelaki itu.
“Saya Robert Kensley pak. Saya…” ucapannya terpotong.
“Saya baru melanjutkan sekolah kembali,” tambahnya.
Hey, aku baru ingat. Aku belum menanyakan namanya sedari tadi. Ah, aku melakukan tindakan bodoh hari ini. Ternyata nama lelaki itu Robert. Yang menjadi pertanyaan, apa maksudnya ‘melanjutkan sekolah kembali?’
“Oke, silahkan kalian duduk dibangku yang masih kosong disana,” ucap pak Albert.
“Dan ini soal ulangannya,” tambahnya.
Aku duduk disamping Robert. Disela-sela ulangan kurasa ada yang menatapku, membuatku tak konsen untuk berfikir. Ternyata Robert.
“Ada masalah?” ucapku.
“Tidak”
Aku menatapnya. Baru kusadari matanya berwarna nutbrown, indah sekali. Serta rambutnya yang berwarna russet dengan style potongannya rapi berponi samping menambah sensasi sendiri menatap parasnya. “Hey Kim, apa yang kau fikirkan,” batinku.
“Lalu?” tanyaku.
“Siapa namamu?”
Aku tergelak. Dia lucu.
“Namaku Kimmy Pidle, kau bisa panggil aku Kim,” tukasku.
“Dan kau bisa panggil Aku Rob,” ucapnya.
“Yeah, aku fikir itu lebih memudahkan kita dengan mengingat nama awalan saja”
Kali ini dia yang tertawa.
“Aku senang bertemu denganmu disekolah pertamaku,” ucapnya.
Tiba-tiba pak Albert berdehem dari mejanya. Segera kami terdiam dan melanjutkan ulangan.
Aku menuju kantin ketika jam istirahat. Aku menghampiri Stella yang tengah duduk dimeja kantin paling depan, melahap bekalnya.
“Wow, cepat sekali kau makan Stell,” ucapku seraya menepuk pundaknya dari belakang.
Dia terkejut. Tersedak. Wajahnya memerah. Segera aku menyodorkan minumku untuknya.
“Maafkan aku,” ucapku.
Kini tawaku tak bisa kupendam lagi, melihat wajahnya yang merah seperti kepiting rebus membuat perutku geli.
“Kau…” ucapnya geram.
Aku membentuk jariku seperti huruf ‘V’ menandakan damai akan tragedi tersedaknya.
“Okey-okey, ini sudah ketiga kali kau hampir membunuhku Kim,” ucapnya seraya tetap melahap bekalnya.
“Hey, keempat bukan ketiga Stell.”
Dia melotot kearahku. Aku kembali tergelak. Dia memang sahabat yang baik.
“Siapa yang bersamamu dikoridor saat jadwal pertama? Tadi aku melihat kalian saat melintasi ruanganku,” tanyanya.
“Oh, dia murid baru. Kebetulan dia satu kelas denganku dijadwal pertama. Tapi tidak untuk jadwal kedua setelah istirahat ini,” ucapku.
“Waw, pasti kau senang mendapat teman baru yang tampan kan Kim,” ucapnya .
“Tampan?” ucapku.
Tiba-tiba seseorang datang dan menyenggol lenganku. Seketika sandwich isi dagingku terjatuh kelantai kantin.Ugh.
“Maaf,” ucapnya.
Aku mengadahkan wajahku. Ternyata Rob.
“Ah, tak apa. Aku sudah kenyang…”
“Aku tak bermaksud membuat makan siangmu berantakan Kim”
“Yeah aku tau, sudahlah tak apa”
“Hm, boleh aku bergabung disini? Mejanya sudah penuh,” ucapnya seraya melihat sekeliling kantin.
“Oh, silahkan…” ucap Stella.
Kulihat Rob membawa bekal juga. Dia membawa sepotong burger. Dia membelah dua dan memberikan setengah potongan burgernya untukku.
“Untukku?”
Dia mengangguk.
“Terimakasih.”
Ternyata Burger isi daging lada hitam. Mukaku memerah. Stella tertawa. Rob tersenyum melihat mukaku yang merona merah akibat pedas. Tatapan mata nutbrown itu dingin.
“Jadwal kedua kau dimana?” tanyaku pada Rob.
“Aku dikelas Matematika 2 bu Hitller, kau?”
“Aku satu kelas dengan Stella di Bahasa Prancis 1 pak Erick”
“Ok sampai bertemu besok,” ucapnya sambil berlalu.
Aku pulang dengan berjalan kaki melewati jalan bersalju. Bulan ini kota Edinburgh musim dingin. Dan sialnya sarung tanganku tertinggal didalam loker. Aku melipat tanganku didada, berusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tulangku. Tiba-tiba seseorang dari belakang meraih pundakku. Aku tersentak. Ternyata dia lagi, Rob.
“Hai,” sapanya.
“Hai,” balasku.
“Kau terlihat pucat. Apa kau kurang baik hari ini?”
“Tidak, aku baik. Sedang apa kau disini?” ucapku seraya tetap berjalan.
“Aku menuju rumah. Rumahku diujung jalan sana. Lalu kau?”
“Ya, sama halnya dengan kau. Rumahku setelah ujung jalan itu, dua rumah setelah tikungan”
“Hey, kau tak membawa sarung tangan?” ucapnya ketika menatap tanganku.
“Ya, aku yang salah. Sarung tanganku tertinggal diloker setelah kusadari jadwal terakhir tadi”
“Pakailah,” ucapnya seraya menyodorkan sarung tangannya untukku.
Aku menggeleng.
“Tak apa pakailah, aku bisa melipat tanganku lebih dalam dibalik jaket”
“Itu tak mengobati rasa dingin Rob,” ucapku.
Dia meraih tanganku dan memasangkan sarung tangannya untukku.
“Sudah merasa hangat?”
Aku mengangguk.
“Itu lebih baik. Sampai jumpa setelah libur musim dingin Kim,” ucapnya seraya berlari menjauh dan menghilang dibalik kepulan salju. Kini kurasa rona merah menghiasi pipiku.
Aku baru ingat hari ini sekolah terakhir dan besok sudah libur musim dingin. Pantas para guru memberikan banyak sekali tugas. Ugh.
Sudah 2 hari libur musim dingin. Aku mencari bahan untuk tugas biologi yang diberi pak Albert. Aku pergi menuju perpustakaan kota dengan sepedaku. Setelah sampai, aku memberikan kartu tanda anggota oleh pengurus perpustakaan. Kulepas syal, jaket dan sarung tanganku dan kumasukkan kedalam loker. Aku mencari beberapa buku, kulihat buku biru tentang anatomi manusia tiga rak diatasku. Aku berusaha menggapainya. Sulit, aku terlalu pendek untuk itu. Seketika kurasa seseorang berada dibelakangku. Aku tersentak dan segera berbalik. Posisinya hanya beberapa inchi dari posisiku, sangat dekat. Aku tersandar dirak-rak buku. Lalu ia menyodorkan buku biru itu padaku. Wajahnya sangat dekat dan membuatku kaku. Nafasnya terasa menerpa wajahku.
“Hai Kim, lama tak bertemu,” ucapnya.
Ternyata Rob.
“I-iya. Kau juga mencari bahan untuk tugas disini?” jawabku kaku.
“Tidak, aku hanya membaca novel disini,” ucapnya dan segera ia mundur setelah mengetahui ketidak nyamanan posisi kami.
Kami berjalan menuju meja untuk membaca. Dia terlihat berbeda tanpa seragam sekolah. Kaos putih dengan kemeja berwarna azure lapisannya, celana panjang hitam serta topi hoodie biru tua membuatnya terlihat manis.
“Kau sudah mengerjakan tugas pak Albert?”
“Belum,” jawabnya datar.
“Kenapa?”
“Aku tak akan masuk jadwal dia lagi?”
“Maksud kau?”
“Aku tak akan sekolah lagi, sebelum mengetahui siapa yang telah menipu keluargaku”
“Menipu? tentang ap…” ucapanku terpotong.
Rob berjalan menjauhiku. Aku berusaha mengimbangi langkahnya.
“Kau boleh cerita padaku,” ucapku dari belakang yang tertinggal jauh darinya.
Dia berhenti. Wajahku beradu dengan punggungnya. Dia berbalik menatapku.
“Kenapa kau ingin mendengar ceritaku?”
“Karena kau baik”
“Itu saja?”
Aku mengangguk. Mungkin saat ini aku terlihat bodoh….
Aku mengganti siaran televisi berkali-kali. Tak ada yang menghibur sedikitpun. Aku berusaha mengirim pesan kehandphone Stella tapi tak ada jawaban, mungkin dia sudah tidur. Diluar dingin, mungkin bisa-bisa aku mati jika hanya menggunakan baju tidur ini diluar sana. Hey, itu lucu. Atau aku harus mencobanya dibalkon kamarku. Segera kubuka pintu yang membatasi kamar dan balkon kamarku. Udara dingin menusuk tulang, pergantian suhu kamarku yang hangat dengan balkon yang dingin sangat kontras membuat bulu kudukku berdiri. Aku meletakkan tanganku dipembatas balkon, lalu mencondongkan kepalaku kebawah. Melihat disepanjang jalan siapa saja orang yang berlalu. Mataku tertuju dengan seseorang yang memekai topi hoodie. Hey, itu Rob!. Aku melambaikan tangan kearahnya, dia membalas dengan sebuah senyuman. Udara semakin menusuk, aku tak tahan. Aku memberi kode dengan menunjuk pintu pembatas balkon dan kamarku dengan kepalan tangan dan ibu jari yang mengacung menunjuk kepintu. Pertanda aku harus masuk kesana. Dia mengangguk pertanda mengerti apa maksudku.
Setelah masuk segera aku berselimut, mematikan lampu serta televisi lalu tidur. Selang beberapa waktu, sebuah ketukan terdengar dari pintu balkonku. Aku membuka mata. Pelan-pelan aku menuju pintu tanpa menghidupkan lampu. Aku mengintip dari cela pintu. Tak terlihat siapa-siapa.
Clek!
Kubuka pintu. Tak ada siapa-siapa. Aku berbalik dan siapa yang aku termukan ? Rob!. Dia disini.
“Hai Kim,” ucapnya.
Aku terlonjak.
“Kau?!” ucapku terkejut.
Segera aku mendorongnya lebih masuk kedalam kamarku. Menghindari seseorang melihat dan mengetahui Rob berada dikamarku.
“Sedang apa kau kemari?” ucapku lirih.
“Bukannya kau yang menyuruh aku kemari?” ucapnya lirih.
“Ha? Sejak kapan aku menyuruhmu kemari?”
“Tadi terakhir kau menunjuk kearah pintu itu padaku”
Aku ternganga. Ternyata dia tak mengerti apa yang aku maksud.
“Maksudku, aku ingin masuk kedalam kamar karena diluar udaranya sangat dingin”
“Oh, maafkan aku. Aku salah mengira. Lalu…”
“Lalu apa?”
“Bisakah kau mendengar ceritaku sekarang?”
Cerita? Cerita apa?. Ah iya, aku sudah berjanji akan mendengar ceritanya siang tadi diperpustakaan.
“Okey. Duduklah,” ucapku dan segera kami duduk diatas sofa coklatku.
Lalu dia menceritakan apa alasan dia mengatakan baru melanjutkan sekolah sekarang. Sedangkan seharusnya dia berada diatas tingkatan kelasku. Dia dari kalangan berada, dan sekarang ia menjadi seperti ini karena keluarganya telah ditipu oleh teman ayahnya. Ya, uang keluarga mereka diperas serta difitnah dengan kasus penipuan, miris. Ternyata dia pindahan dari kota Cambridge. Setelah lari dari masalah yang berada disana, mengungsi kemana-mana sampai dia tak bisa melanjutkan sekolah setahun ini. Dan yang terakhir dia mengetahui bahwa penipu itu berada di kota Edinbrugh.
“Lalu dimana orangtuamu?”
“Ayah… hm, ayahku gila. Sedangkan ibuku dipenjara”
“Maafkan aku…”
“Tak apa, aku tau kau tak bermaksud”
“Kau tinggal bersama siapa sekarang?”
“Dengan sepupu ayahku,” ucapnya
“Hm, ini sudah larut malam. Bolehkah aku tidur disini?” tambahnya.
“A-apa?!”
“Haha… aku hanya bercanda Kim. Senang bisa bercerita denganmu,” ucapnya seraya keluar dari pintu balkon.
“Ya, senang mendengar ceritamu”
Dia turun melalui pohon didepan balkon kamarku, lalu meloncat dan melesat hilang dari balik pandanganku. Mungkin sekarang aku mulai simpati dengannya. Tiba-tiba rasa hangat menjalar kedadaku. Ugh, apa-apaan kau Kim!
Aku berjalan menuju supermarket terdekat membeli makanan kecil untukku. Saat hendak pulang, kulihat ramai sekali anak-anak seumuranku bermain ditaman. Sekarang taman Lestance berubah menjadi arena ski untuk para skier. Wow, baru kusadari aku tak pernah berfikir untuk bermain ski saat musim dingin. Hey, disana ada Stella, Jasen, Amanda dan… ada Rob juga!. Tiba-tiba pandanganku dan Stella bertemu, dia berteriak memanggil namaku. Seketika lamunanku pecah.
“Kemarilah Kim!” panggilnya.
Aku berjalan menuju Stella. Kulihat Rob sedang asik bermain ski. Dia berhenti tepat didepanku, suara sepatu skinya berdecit.
“Ajari dia bermain ski Rob. Dia anak rumahan yang tak pernah bermain ski dimusim dingin,” ucap Stella.
Mereka semua tergelak. Ugh, Stella sialan.
“Tidak, aku tak punya sepatunya,” ucapku.
“Pakailah sepatuku Kim,” ucap Stella.
Aku berusaha berdiri tapi gagal. Kurasa arena ini sangat licin dan membuatku hampir terjungkal beberapa kali. Tiba-tiba Rob meraih tanganku, menarikku ketengah arena. Aku berusaha mengimbanginya. Lucu rasanya, seperti bayi yang baru bisa berjalan. Dia sangat sabar mengajariku. Tapi berulang kali aku terpeleset dan terduduk diarena.
“Mungkin harus beberapa kali berlatih baru kau bisa mengejarku,” ucapnya.
“Ya, kufikir begitu,” ucapku seraya tersenyum.
“Dan jika aku sudah bisa mengejarmu. Apa yang kau hadiahkan untukku atas keberhasilanku?” tambahku.
“Itu rahasia,” ucapnya seraya berkacak pinggang didepanku dan segera melesat dan meluncur menjauhiku.
“Hey, kenapa rahasia?!” ucapku seraya berusaha mengejarnya. Dan gagal kembali.
Aku terpeleset dan terduduk kembali. Kurasa bokongku panas terhempas arena ini.
“Hey kau tak apa?”
“Yeah kurasa. Hm, melihat arena ini aku teringat film barbie. Dia menari dan berdansa seperti cinderella.Aku sudah lama tak menontonnya kembali”
“Kau mau mencobanya?”
“Aku? Lebih baik jangan”
“Ayolah…”
Rob menarik tanganku. Meletakkannya disisi pundaknya. Dia merangkulku seperti difilm. Seakan dia seorang pangeran yang mengajakku berdansa. Lalu ia mengayun berdansa berputar-putar dengan indahnya. Aku susah mengimbangi geraknya. Tak sengaja kakiku menyenggol kakinya. Kami terjatuh. Kepalaku terantuk kepalanya.
“S-sorry,” ucapku.
Seketika dia tergelak. Lebih keras kurasa.
“Tak masalah Kim,” ucapnya.
“Kau tak apa kan?” tambahnya seraya mengitariku seakan mencari sesuatu.
“Aku tak apa Rob. Apa yang kau cari dariku?”
“Aku mencari luka. Ada yang terluka?”
“Haha… tidak, tenanglah Rob”
“Baguslah,” ucapnya seraya mengusap kepalaku.
Aku tak pernah diperlakukan seperti ini. Dan mungkin dialah yang pertama. Kembali wajahku memanas karenanya.
Setelah lelah bermain kami menuju rumah masing-masing. Stella dan yang lain beda arah dengan kami. Hanya aku dan Rob yang satu arah. Sebelumnya Stella memberikan undangan untuk kami agar datang hari selasa tepat jam 12 malam kerumahnya. Dia ulang tahun tepat hari rabu sekaligus dihari kasih sayang.
“Kau datang kepesta Stella?” tanya Rob.
“Tentu,” ucapku.
Kami masih terus berjalan.
“Kim…”
“Ya?”
“Kau pernah merasakan sesuatu menjalar hangat didadamu saat bersama seseorang?”
Jantungku seakan berhenti mendengar penuturannya. Sepertinya dia tau yang kurasakan.
“Ya, kenapa Rob ?”
“Pernahkah wajahmu terasa panas saat berbicara dengan seseorang?” tanyanya lagi.
“Ya… Lalu?”
“Dengan siapa kau merasakan itu semua?”
Aku terdiam.
“Kenapa kau ingin tahu?” tanyaku.
“Karena kurasa aku juga merasakannya sekarang,” jawabnya.
Ya, benar. Kini perasaanku sama dengannya. Rasa hangat ini selalu muncul dan susah untuk meredamnya.
“Benarkah itu?”
“Ya. Bisakah yang memberikah rasa itu sedikit untukku?” ucapnya. Dia tersenyum jahil.
“Bukankah kau sudah punya?” ucapku tak kalah darinya.
“Tapi aku ingin tahu rasa hangat yang menjalar dihatimu,” ucapnya. Wajahnya kini terlihat serius.
Kini ia berhenti. Menatapku. Mata nutbrownnya seakan menghipnotisku
“Maukah kau mengisi rasa hangat cinta untukku ? Sekaligus menjadi kekasihku…” ucapnya dengan jelas.
Aku tersenyum tak menyangka. Kini dia benar-benar mengatakan hal itu padaku. Aku mengangguk setuju.Seketika dia menggandeng tanganku dengan senyumannya yang mengembang seakan aku tak ingin hari ini usai.
Hari ini jam 12 tepat ulang tahun Stella sekaligus hari valentine. Rob berjanji menjemputku malam ini. Aku sudah mempersiapkannya jauh hari. Membeli gaun merah dan sepatu highell silver agar malam ini aku terlihat cantik dimatanya. Sebelumnya aku menyisir rambutku yang berwarna brown-coal panjang bergelombang lalu mengurainya. Memoleskan sedikit make-up minimalis dan siap menunggunya. Berkali-kali kutatap pantulan diriku dari cermin disamping pintu kamarku. Merasa ada yang kurang. Tapi apa?
Sebuah ketukan terdengar dari balik pintu. Wanita yang sekaligus ibu Kim membukanya. Dia terbelalak menemukan seseorang yang dia harap tak akan pernah bertemu dengannya dihidupnya kembali. Lelaki itu juga tak akan menyangka bertemu dengannya disini. Matanya membesar mengingat kejahatan yang pernah dia lakukan. Seketika ingatan lelaki itu kembali ketika orang-orang yang ia sayangi menjadi korban akan kejahatan wanita dihadapannya sekarang. Ibu Kim berteriak, memanggil suaminya. Lelaki itu sudah jelas akan menghabisinya sebelum rasa sakit dan kehancurannya terbalaskan sekarang juga. Dia menyeret wanita itu dengan tangannya yang kuat. Menjebloskannya kedalam bath-up berulang kali, wanita itu terengah-engah. Dia melawan, menendang tungkai kaki lelaki itu. Lelaki itu terjatuh dan melepaskan cengkraman tangannya dari leher wanita itu. Kemudian wanita itu berlari keluar dari kamar mandi dan mengutuk.
“Anak sialan! Bisa-bisanya kau kembali dikehidupanku!”
Aku terduduk dipinggir tempat tidur. Ah ternyata memang ada yang kurang. Aku belum memasangkan anting silver ditelingaku. Segera aku mencarinya, membuka laci kamarku satu persatu. Tapi tak kutemukan anting itu.
Wanita itu berlari menuju ruang tengah, melempar asbak kearah lelaki itu. Namun na’as lemparannya tak mengenai lelaki itu. Wajah lelaki itu dingin tanpa ekspresi. Tangannya meraih sebuah vase bunga yang cukup besar, lalu membantingnya.
Praaaaaaaaaak !
Aku terkejut. Sebuah suara seperti sesuatu yang pecah terdengar jelas. Sekarangpun anting itu tak kutemukan sama sekali. Sebaiknya aku menanyakan kepada ibu.
Dia mengambil pecahan vase yang tajam, cukup untuk melukai tangannya sendiri. Seakan rasa sakit ditangannya sudah mati, ia mengayunkan pecahan vase itu tepat didepan wajah wanita tersebut. Seperti angin, gerakkannya cepat melesat menghunus kejantung wanita itu seakan wanita tersebut tak dapat melawan kecepatannya. Dia menjerit menahan sakit. Seakan tubuhnya dicincang dan urat nadinya ditarik ulur paksa dengan kuku-kuku setan. Mata wanita itu terbelalak namun kosong akan jiwanya yang telah lenyap.
Aku turun kelantai bawah, kulihat jam diruang tamu sudah lewat dari jam sepuluh. Tapi kenapa Rob tak kunjung datang?.
Lelaki itu berjalan masuk kedalam kamar. Dia melihat sesosok lelaki paruh baya sedang sibuk dengan pekerjaannya dikomputer.
Clek!
Pintu terkunci. Lelaki paruh baya itu melihat seseorang yang sangat familiar dimatanya.
“Robert?! Kau sudah besar sekarang nak. Ada apa kau kemari tiba-tiba?” ucap lelaki menghilangkan ketakutan. Wajahnya seketika pucat.
“Hai tuan Pidle, lama kita tak bertemu. Bagaimana rasanya harta keluargaku?” ucapnya seraya menyeringai sadis.
Tuan Pidle melihat kearah kemeja putih Rob. Terdapat bercak darah disekitarnya.
“A-apa yang telah kau lakukan?!”
“Aku? Hm, aku sudah mensucikan istrimu dari dosa terbesarnya. Dia sudah bahagia disana,” ucapnya seraya menunjuk keatas.
“Sekarang giliran kau yang akan menyusul!” tambahnya.
Seketika iya berlari dan nerjang kepala tuan Pidle. Tuan Pidle terhuyung kelantai dan jatuh. Dia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Jangan, aku masih ingin hidup,” ucapnya.
Rob menyeret tuan Pidle. Dia mencabut kabel yang ada pada komputer. Mengikat leher lelaki tua itu ke tiang ranjang tempat tidur. Tuan Pidle tercekik, mukanya membiru.
“Maafkan aku tuan Pidle…”
Dan seketika ia menghunuskan pecahan vase itu keperut lelaki tua itu, mendorong pecahan vase bunga itu lebih dalam lalu membalikkan arah tusukan itu seperti kail. Terlihat darah hitam dari lambungnya meleleh turun melewati kakinya.
Aku berjalan keruang tengah seraya terus memanggil ibu. Aku melihat seseorang terbujur kaku dengan darah yang terus mengalir melalui dada kirinya. Aku terbelalak. Rasa sendiku tak ada lagi ditubuhku. Kepalaku berat. Aku terduduk lemas.
“Tak mungkin…”
Tangis ini tak bisa keluar. Dadaku sesak. Tiba-tiba kudengar langkah kaki seseorang, segera aku bersembunyi dibalik sofa. Aku merunduk berusaha menyembunyikan diriku. Langkah kaki itu semakin dekat. Nafasku memacu. Aku mengintip sedikit saat dia keluar dari kamar orangtuaku. Terlihat disana kejadian yang lebih membuatku gila. Sebuah kabel tersangkut dileher ayah dan cabikan tergambar jelas diperutnya. Aku mengadahkan wajahku sedikit. Yang tak kusangka, Rob lah yang telah melakukan semuanya. Aku terbelalak. Amarahku memuncak. Apa yang membuatnya melakukan hal tak manusiawai seperti ini?
Aku memberanikan diri berdiri.
“Hey kau!” sentakku.
Dia berbalik. Dia tersenyum kearahku. Seperti halnya senyuman saat diatas balkon saat itu.
“Hai Kim…”
Kulihat wajahnya. Dia memakai kemeja putih serta jas hitam yang melapisinya, jam perak dan sepatu kulit hitam. Dia berbeda hari ini, dia terlihat tampan. Namun tangisku tak dapat kubendung karena melihatnya.
“Kau cantik sekali hari ini Kim…” ucapnya.
Dia mendekatiku. Aku terisak. Segera aku menjauhinya.
“Kau gila!” sentakku.
Lalu dia duduk disofa. Aku berdiri jauh darinya.
“Iya aku memang sudah gila. Aku telah membunuh orangtua kekasihku sendiri,” ucapnya.
“Sebenarnya ada apa dengan kau Rob?” suaraku bergetar.
“Aku…” ucapannya terpotong. Dia terkekeh meremehkan. Lalu mengambil darah ibu dengan jari telunjuknya dan menjilatnya. Aku mual melihatnya.
“Aku membunuh orang yang pantas aku bunuh! Orang tuamulah yang telah menghancurkan keluargaku!”
“Kau tau rasanya terlantar?! Itu sakit!. Mereka relasi kerja yang bejat!. Lebih menyakitkan mereka memfitnah kedua orang tuaku! Kau tau keadaaan orang tuaku sekarang? Mereka menyedihkan!”
Sorot matanya penuh amarah dan penyesalan.
“Lalu apa maumu sekarang?” ucapku terisak.
Dia terdiam.
“Aku sudah berjanji akan memusnahkan semua yang menyangkut keluarga Pidle,” ucapnya seraya melihatku tajam.
Aku terbelalak.
“Tak mungkin…”
Segera aku berlari menjauhinya. Dia mengejarku. Aku menaiki anak tangga dan dengan cepat masuk kedalam kamarku dan menguncinya.
Braak!Braak!Braak!
Rob berusaha mendobrak pintu kamarku. Dan akhirnya pintu itu kamarku terbuka.
Aku tersudut dipojok kamar, dengan gaun merahku. Aku melihat sosoknya tak seperti dulu. Ya, dulu saat pertama aku mengenalnya. Mata nutbrownnya yang dingin, yang selalu kukagumi keindahannya. Sekarang menjadi mata yang merampas akan dendam yang harus ia balas sendiri atas kehancuran yang aku tak tau asal mulanya.
Tangannya berbalut cairan merah dengan tetesannya yang kontras dari ubin kamarku. Keringat dingin membasahi dahiku. Pecahan vase bunga dengan darah diujungnya, pertanda akan kemarahannya yang siap menghujam dendam terakhirnya sekaligus cinta pertama untukku.
“Bunuhlah aku jika kau berkenan seperti itu!”
Dia mendekatiku. Tubuhku bergetar. Dengan cepat ia memelukku erat.
“Maafkan aku Kim. Aku tak sanggup membunuh gadis baik sepertimu. Kau tak sama dengan mereka. Hatimu terlalu berharga” ucapnya.
Crak!
Sebuah suara pecah terdengar dari tengah pelukannya. Aku terbelalak. Rob menghunuskan pecahan vase itu keperutnya sendiri sampai pecah.
“Tidaaaaaaaaaaaak!”
Tangisku pecah. Aku memeluk erat tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Menciumnya lalu memeluknya kembali. Terdengar jam diruang tengah berdentang keras. Pertanda tepat jam duabelas dihari valentine semuanya kandas tak berbekas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar