===============
Terkadang hidup mengisahkan banyak permasalahan. Membuat eluhan demi eluhan timbul karenanya. Tapi percayalah, itu semua hanya suatu ujian. Ujian untuk membuatmu, menjadi lebih dewasa.
*
Kisah sederhana, bukan kisah Cinderella, Puteri salju, apalagi Puteri yang tertukar.
*
9 tahun silam…
Bocah kecil itu beringsut dari tempatnya berpijak, sambil menyeka aliran bening yang membasahi lekuk wajah mungilnya. Bibirnya mengerucut. Lalu memandangi boneka beruang hitam putih yang sejak tadi ia pegang erat.
“Ayyan jahat, Ay bohong. Kata Ay, boneka ini dikirim bunda buat Ami. Tapi mana bunda sekarang ini? Ami sakit, bunda..”
Gadis kecil itu bergumam sambil sesekali menyusupi beberapa helai rambutnya yang dibiarkan terurai berantakan di sekitar pelipisnya.
“Ami… Ayy ngga bohong, ini dari bunda. Bunda bilang sama Ayy, kalo Ayy harus jagain Ami sampai bunda datang. Ami percaya, ya?”
Bocah lelaki yang memakai kaos cubitus berwarna orange itu terus berusaha meyakini gadis itu, bibirnya yang mungil dan berwarna kemerahan terus menyunggingkan senyum manisnya. Gadis itu menatap si lelaki dengan lekat. “Ayy ngga bohong, kan?”
Bocah itu menyeka pipi si gadis dengan kedua tangan mungilnya.
“Ami jangan nangis, Ayy ngga bohong, kok.”
“Janji.”
Sepasang jari manis milik kedua malaikat kecil milik Tuhan itu menyatu, menyimbolkan suatu janji yang seperti biasa dilakukan anak-anak seumuran mereka. Persahabatan yang begitu manis, bukan?
*
Hidupku sempurna, menurut tiap juta pasang mata yang menyaksikan keseharianku. Hidupku berkecukupan, aku memiliki banyak teman-teman disekitarku, banyak orang yang menyayangiku. Aku pun sosok yang selalu ceria, bahkan nyaris tak pernah menangis seperti teman-teman seumuranku pada saat aku kecil. Aku bukanlah anak yang cengeng. Bukan. Tapi aku pun bukan anak yang kuat, aku punya kelemahan. Atau mungkin sebenarnya, aku memang sudah rapuh.
Catatan Harianku. Selasa, 23 Maret 2011.
*
Fahmi Azzahra Valiantika. Panggil saja aku Fahmi. Cukup Fahmi. Just Fahmi. Aku disini, ingin menceritakan beberapa helai lembaran kisah dalam hidupku. Bukan. Bukan hidup yang seperti Cinderella di negeri dongeng, bukan juga cerita Prince William yang sedang berbahagia setelah menikah dengan Princess Kate. Bukan pula tentang seorang anak perempuan yang tertukar dengan anak lainnya saat kecil. Ya, Tidak ada yang spesial dalam hidupku, itu menurutku. Semua terasa hampa, terasa tak berarti. Iya, aku menjalani hidup ini hanya karna tuntutan Tuhan. Andai saja aku bisa mati saat ini. Aku lebih memilih, mati.
Sungguh. aku masih terpaku dalam kertas-kertas usang yang sedari tadi kupandangi isi didalamnya. Hanya beberapa patah kata dan tulisan khas anak kecil yang baru saja lulus tes menulis tegak bersambung. Haha. Lihatlah! Tulisan dalam kertas file bertema kartun doraemon ini. Apa pertanyaan di benak kalian? Oh. Baiklah aku akan menjawabnya. Menulis. Ya, aku memang suka menulis sejak kecil. Entah apa dorongan yang membuatku nyaman bercerita dengan sebuah benda mati yang bernama kertas ini. Hanya saja mungkin, karna aku tak punya pilihan lain. Untuk mengadu, ataupun membagi kisah hidupku.
“Aku tadi liat Dido, berangkat di antar sama ibunya, dicium lagi. Senang ya jadi Dido,”
Haha. Aku terkekeh kecil melihat tulisan polos ini. Mengingat tulisan ini terlahir dari tangan mungil milikku sekitar 10 tahun yang lalu. Aku tersenyum. Lalu merasakan aliran hangat menetes di lekukan cembung diwajahku. Lucu, ya? Saat itu saja, aku sama sekali tidak menangis meratapi nasib yang tiap hari harus berangkat sekolah sendiri, bangun pagi sendiri, menyiapkan semuanya sendiri, bahkan untuk mengajarkan menulis tegak bersambung seperti yang aku pelajari saat duduk di bangku TK saja, aku harus berjuang menuntaskannya sendiri.
^^
Apa salah?
Jika aku iri
Disaat mereka yang lain mampu tertawa dengan kebahagiaan(batin) yang mereka punya
Disaat mereka mampu mengetahui apa itu'kasih sayang' dan mampu merasakan itu semua
Disaat mereka mampu menangis di pelukan ibu mereka saat terjatuh
Disaat mereka yang selalu bergurau dan tertawa dengan ayah yang selalu menyayanginya,selalu ada di sampingnya
Membela jika ada yang menyakitinya,
Memarahi siapapun yang membuatnya menangis.
Apa salah?
Sedangkan aku..
Bocah kecil yang selalu sendiri,
Sendiri saat menangis,
Sendiri menahan semua amarah, yang tersimpan sejak lama.disini!
Membiarkannya terlarut,
Dengan selalu berharap semua ini selesai
Atau mungkin hanyalah mimpi seorang anak kecil.(seperti aku)
Aku hanya anak kecil yang merindukan..
Secuil kasih sayang!
Yang entah kapan terakhir aku mendapatkannya
Yang entah kapan aku mendapatkannya lagi
Namun,aku percaya
Semua akan indah pada waktunya:)
Kapanpun itu,akan slalu kutunggu:)
*
Pikiranku pun kembali menerawang, mengingat segalanya yang masih terekam jelas dalam memori otakku.
PLAKK!
Aku merintih. Memegangi lekukan cembung di wajahku yang kini terlihat me merah karna gesekan keras yang baru saja mendarat di atasnya. “Kamu! Anak tidak tahu diri! Kerjaan tiap hari main terus. Ambil jemuran di belakang! Kamu setrika semuanya.”
Aku beringsut. Berjalan dengan terseok ke arah belakang rumah, benar saja. Kulihat langit di atas sana sedang menumpahkan segala tangisannya ke bumi semesta. Apa? Langit menangis? Haha. Lucu. Hei, aku menertawakan langit yang menangis. Aku sendiri? Dan mungkin sekarang langit sedang menertawakanku atas tangisanku malam ini.
“Anak tidak tahu diri. Anak sial.” Kudengar ayah menggerutu dari balik tirai pembatas ruangan. Dan air mataku, kembali bertumpah ruah membasahi lekukan wajahku yang tak sempurna ini. Aku pun berlari, dengan membabi buta di jalan yang masih terguyur derasnya hujan.
“Ami!” sebuah suara yang tersamarkan air hujan muncul dari arah belakangku, aku menoleh. Rayyan, sahabat kecilku yang saat ini sudah beranjak dewasa, ya.. tak jauh beda sepertiku.
“Kamu ngapain hujan-hujanan? Sini, masuk kerumah, yuk?” ajaknya, aku menurut. Naik ke sebuah anak tangga dan mencoba mengeringkan tubuhku yang basah sebelum masuk ke rumah Rayyan.
“Ya ampun Ami, kayak dirumah siapa aja. Udah masuk, yuk.”
Aku tersenyum melihat sikap baik Rayyan. Sangat baik. Aku bahkan sudah menganggapnya lebih dari seorang sahabat, kakak. Ia sudah menjadi sosok kakak untukku. Aku duduk di sebuah kursi kayu sederhana di teras rumah Rayyan. Lalu menelungkupkan kedua tanganku yang telanjang. Maksudku, aku hanya mengenakan kaos putih polos dengan lengan pendek yang sudah basah. Membuat sekujur tubuhku kedinginan. “Aku buatin cokelat panas, ya?”
Cokelat panas. Minuman kesukaan ku dan Rayyan setiap hujan tiba.
“Mi, kamu nangis?” Tanya Rayyan yang tiba-tiba sedang berada disebelahku. Sepertinya rencananya membuat cokelat panas tertunda saat mendengar desahan kecil yang keluar dari mulutku.
“Ngga pap….”
“Kamu bohong. Kenapa? Ayah kamu lagi, ya?”
Mataku yang mulai berkaca dan dibasahi air hujan ini menatap sepasang pijar hitam milik Rayyan yang tepat dihadapanku. Tatapannya yang selalu mampu membuat tubuhku melemas dan seolah ingin meraung-raung melepas segala sesak yang tersimpan di dada.
“Nangis aja, Mi.. nangis yang banyak. Aku masih disini, kok. Setelah ini, janji ya senyum lagi?”
Tangisku makin menjadi dibalik dada bidang milik Rayyan. “Mi, perutku mules nih. Lanjut nanti ya, nangisnya?”
Tawa ku meledak mendengar pernyataan polos yang terlontar dari mulut Rayyan tadi. Haha. Dasar Rayyan, hebat sekali kamu.
*
Ibu.
Ingatkah waktu kecil dulu Ibu kita yang selalu menemani kita ketika kita pergi?
Kita yang dulu lemah yang selalu dibimbing oleh ibu kita hingga menjadi seperti sekarang. Ibu kita yang selalu tersenyum pada kita walaupun kita dimarahi oleh Ayah. Apakah Ibu kita pernah marah kalau kita pergi dengan kekasih dunia kita? Apakah kita sadar kalau Ibu kita merasa gagal mendidik kita kalau kita tidak bisa mewujudkan cita-cita kita? Apakah kita sadar apa saja doa yang telah ibu panjatkan untuk kita? Tapi balasan kita? Apa? Hanya kalian yang bisa menjawabnya.
Dan apakah.. ini semua mampu kurasakan?
Sayangnya, ini hanya beberapa khayalan ku dengan sosok ibu yang sering kudengar dari teman-temanku. Ibuku? Kemana ia?
Bersyukurlah, kalian yang masih bisa merasakan itu semua. Seperti apapun keadaan ibu kalian, nikmatilah selama semua itu masih bisa kalian nikmati. Karena aku, disini. Merindukan sosok itu.
Catatan Harianku.
*
Kini aku terpaku. Menatap kosong jalan raya yang menimbulkan bunyi-bunyi nyaring disekitarnya. Klakson-klakson kendaraan bermotor tidak cukup mengganggu lamunanku saat ini, sampai dua malaikat kecil yang masih terlihat polos dengan balutan pakaian lusuh –tidak compang camping- tersenyum manis ke arah ku.
“Kakak, sendirian?” tanyanya. Aku tersenyum.
“I..ya. kenapa?” balasku. Mereka –bocah kecil itu- lalu mengalihkan pandangannya sedikit menurun dari tatapannya barusan. Eh? Aku mengernyitkan alis melihat tingkah dua bocah ini. Lalu menelungkupkan tas ransel yang ku bawa di dada. Kulihat dua bocah kecil itu berpandangan.
“Kakak, em.. makanannya, dimakan nggak?”
Heh. Tubuhku tersentak melihat ucapan polos yang keluar dari bibir mungil kehitaman dari kedua bocah itu. aku sendiri pun baru ingat, sebelum berangkat sekolah tadi, aku mampir ke warung mbak Jum untuk membeli 2 potong donat warna-warni. Saking buru-buru, aku sampai tidak sempat memasukannya.
“Kak, dimakan nggak, nih?”
“Eh? Iya iya. Eng, maksudku. Nggak kok, ini bisa untuk kalian.” Aku tersenyum senang melihat kedua bocah itu menyeringai dengan puasnya. Seperti merasa ikut senang dengan apa yang baru saja aku lakukan tadi. Padahal, itu hal yang.. biasa, bukan?
“Makasih kakak!” Seru kedua bocah itu kompak. Aku terkekeh kecil melihatnya.
“Orang tua kalian, mana?” entah mendapat ide darimana pertanyaan itu terlontar, yang jelas, aku menyesal telah mengatakannya.
“Ibu udah pergi ke surga, kalo bapak lagi tidur tuh disana,”
“Bapak mulutnya bau. uek. Bapak juga lagi sakit kak, karena ketawan mencuri tadi malam.”
“HUSH!”
Sepertinya bocah yang terlihat lebih tua dari bocah yang satunya itu membisikan sesuatu pada adik kecilnya. “Jangan bilang yang itu, otong…”
Aku tersenyum simpul mendengarnya.
“Ya udah deh adik-adik. Kakaknya mau pergi sekolah dulu, ya? Kalian belajar yang baik, biar bisa sekolah kayak kakak. Daah.” Ujarku lalu langsung berlari ke arah metromini yang sedang berjalan perlahan mendekatiku.
Hihi. Satu lagi pelajaran yang aku dapat hari ini, aku bukan hanya harus bersyukur karna masih bisa membeli berkali lipat roti yang baru saja aku berikan kepada anak-anak itu, tapi aku juga seharusnya bersyukur, karna paling tidak, ayahku tidak pernah babak belur seperti ayah mereka. Yah, walaupun aku yang tiap hari harus babak belur. Ha.
Cita-cita ku bertambah lagi saat ini. Ya, aku sangat ingin. Bermanfaat untuk anak-anak jalanan itu, suatu saat nanti. Aku ingin merubah mereka.
*
Jangan! Jangan sekali-kali kalian sia-siakan keberadaan ibu disamping kalian. Seperti apapun tabiat seorang ibu kalian. Sesungguhnya, kalian lebih beruntung daripada aku.
*
“Mi, bibir kamu jontor lagi, ya?” celetuk seorang sahabatku. Rayan. Ya, kalian tau,kan? Sahabatku sejak kecil, saksi dari setiap lembaran yang terukir dalam kisah hidupku.
“Hah? Nggak, kok..” jawabku basa-basi, lalu membalik lembaran buku paket Biologi yang sedang ku pelajari ini.
“Kamu bohong. Ayah kamu, ya? Ayo ngaku.” Rayyan terus mendesakku, aku memutar pandanganku seratus persen ke arahnya.
“Huhuuuu. Iya, yaan. Aku dipukul ayah, di sabet pakai sapu lidi, dicubit pakai jepitan jemuran, di tusuk matanya pakai sumpit mie ayam. Huhuuu.”
Rayyan melotot. “Yang bener, Mi??”
“Ya enggaklah, dodol. Haha.” Aku cekikikan melihat tampang cengo Rayyan saat tau aku sedang melakukan suatu guyonan padanya.
“Dih, ngelawak. Serius? Ayah kamu gak ngapa-ngapain, kan?” Ia mencoba mendesak lagi, aku tersenyum meyakinkan. “Ngga, ini kejedot pintu kok.” Jawabku asal-asalan. Rayyan mengulum bibirnya, membuat aku merasa tidak enak sudah membohonginya.
“Eh iya, kamu udah dapet kabar tentang ibu kamu, Mi?” seru Rayyan mengubah topik pembicaraan. Sekarang justru aku yang mengulum bibirku, lalu dengan kebiasaan menggigitinya kalau sedang kebingungan.
“Belum, Yan.. aku belum dapat kabar.”
Dahi Rayyan mengernyit. “Udah coba cari di Rumah Sakit Jj… upp.”
Aku menatap sinis ke Rayyan, ia sepertinya sudah mengerti arti dari tatapanku itu, buktinya, ucapannya tadi tidak ia terusin, kan?
“Ibu nggak mungkin gila, Yan..”
Kulihat Rayyan menunduk. “Iya, deh.”
*
Ibu..
Sosok yang selalu kurindu. Rindu bukan karena ingin bertemu. Namun, karna memang belum pernah bertemu. Belum pernah merasakan sosok itu. Bagaimana sih yang namanya, Ibu? Terutama, ibuku?
*
Hujan yang mengguyur ibukota disaat senja seperti ini, sudah cukup membasahi seluruh badan jalan kota. Membuat bulu kuduk yang terasa meremang dikarenakan suhu sekitar yang ikut menurun. Langkah-langkah kecil berlarian mencari tempat berteduh, sama sepertiku saat ini. Meneduhkan diri dari tumpahan langit alam semesta di sore itu.
“Mi, pake jaket aku nih.” Ucap Rayyan seraya melepaskan salah satu lengan jaket yang ia pakai. “Eh, ngga usah ah. Kayak gak tau aku aja. Hehe.”
“Ye.. aku tau, kamu ini emang wanita macho, Mi. tapi kalo kedinginan kan, bisa sakit juga.”
Haha. Rayyan kembali sukses membuat bibirku kembali menyunggingkan senyuman,. Tanpa menggubris ucapan Rayyan, aku memutar pandangan ke sekitar. Tanpa sengaja, mataku mengarah ke seorang wanita yang –sudah tua- namun masih terlihat sehat itu sedang meliuk-liukan tubuhnya tepat di depan jalan raya yang masih terguyur hujan. Aku mengernyitkan kening. Memperhatikan tingkah aneh wanita tersebut. “Aneh.” Gumamku.
“Rayy! Ada tukan cokelat panas, loh. Beli yukk?”
Rayyan mengernyit. “Hujan, Ami…”
Tanpa menuju persetujuan sahabatku itu, aku berlari melintasi medan becek di sepanjang jalan, seraya menengadahkan kedua tanganku keatas, menutup sebagian kepalaku dari guyuran air hujan. Lalu menyebrangi jalan raya yang tidak terlalu besar untuk membeli cokelat panas itu.
“Lah, Mi? mii!!!” Rayyan memutar pandangannya sedikit ke kanan.
“Amiii, ituuu! Awaas!”
Teriakan Rayyan terdengar samar ditelingaku. Aku menoleh, meski sudah sangat terlambat. Sebuah mobil Toyota Fortuner berwarna hitam mengkilat terlihat melaju kencang dari jalan sebelah kananku. Aku mengangkat kedua tanganku refleks ketika mendengar pekikan memekakan telinga yang tiba-tiba membuyarkan seluruh konsentrasiku.
BRAKK.
Baiklah. Aku sama sekali tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah kejadian bodoh yang aku lakukan barusan. Mungkin, aku sudah mati terlempar sejauh beberapa meter, atau terlindas ban mobil yang menabrakku tadi, atau mungkin terkena serangan jantung tiba-tiba saat aku tertabrak tadi. Iya, yang aku pikirkan hanyalah, Aku saat ini sudah mati. Dan semoga penderitaan dalam hidupku pun telah berakhir.
Aku membuka mataku, mencoba menelaah lingkungan sekitarku yang menurutku.. basah. Hah? Basah? Iya, memang tadi itu kan sedang hujan, tapi kan ini?
Kulihat kerumunan orang menghiasi pandanganku saat ini, kerumunan orang yang.. tidak mengerumuniku. Tapi? Hah? Aku beranjak, mencoba menahan perih yang terasa di bagian lututku saat ini. Lalu menyelip diantara beberapa kerumunan orang ini.
“Haah?”
Aku terjatuh dan terduduk bertumpu beralaskan aspal memperhatikan pemandangan mengenaskan dihadapanku kini. Aku mendekati sosok yang sudah berlumuran darah bercampur air hujan itu, lalu mencoba menelaah seluruh tubuhnya hingga ke sudut. Ini, wanita ‘gila’ tadi?
Kucoba menyentuh pelipisnya yang berdarah, memegang lembut lekukan cembung di wajahnya sampai kelopak mata miliknya, yang… persis sekali denganku.
*
Ibu.
Sekalipun takdir memang tak pernah mempertemukanku dengan sosok itu. Tuhan, izinkanlah aku untuk tetap memanjatkan doa ku untuknya. Siapapun yang telah rela mengorbankan rahimnya untuk melahirkanku di dunia ini.
*
Teman-teman. Seperti inilah sekiranya kisah hidup yang dapatku ceritakan. Aku. Fahmi Azzahra Valiantika. Seorang anak yang terlahir hanya untuk membuat hidup orang lain ikut menjadi sial karena kehadiranku. Haha. Terang saja, lihatlah wanita itu.. Akulah, yang dengan secara tidak langsung telah membunuhnya!
Ha. Tentunya kalian berfikir, mengapa aku sangat menyalahkan diriku sendiri. Baiklah, aku akan menceritakan semuanya. Ayahku. Mengapa selama hidupku ia selalu bersikap keras kepadaku? Mengapa?
Karna ayah tidak pernah suka dengan anak perempuan. Ya, saat aku lahir dari rahim ibuku. Ayah sudah berniat untuk membuangku, bahkan membunuhku dan melenyapkanku dari dunia ini. Tapi, karena ibu. Beliaulah yang mempertahankanku, dengan segala macam caci maki yag ayah berikan pada ibu. Ibu pun lemah, beliay\u kalah. Dan akhirnya aku diberikan kepada bibiku.
Ya, setelah kejadian itu, ibuku tak pernah ingin menjalani hidupnya. Hingga pada waktunya, ibu menderita sakit jiwa. Dan ayah, menyalahkanku atas semua ini. Ketika aku beranjak balita, bibi dan paman ku meninggal karna kecelakaan saat mereka pergi ke sukabumi untuk melanjutkan usahanya. Yang pada saat itu, bibi sudah memberi tahuku tentang semuanya. Kalau aku, bukanlah anak kandung darinya. Dan pada akhirnya, aku menjalani hidupku yang sangat tragis ini bersama ayahku. Ya, setelah ayah tahu ibu meninggal karna kecelakaan itu, ia tambah membenciku. Dan dengan seketika meninggal Karena penyakit serangan jantung yang ia derita.
Sangat sial kah, hidupku?
*
2 Tahun kemudian..
Tapi paling tidak, salah satu cita-citaku saat kini telah terwujud. Aku membangun sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan bersama Rayyan, sahabatku. Dan saat ini, aku telah duduk di bangku kuliah. Ya, Fakultas Psikologi. Walaupun aku sedikit trauma dengan beberapa pelajaran dari fakultas itu.
*
Dan aku sadar, seharusnya aku tidak banyak lagi mengeluh dengan hidup ini. Tuhan telah mengabulkan doaku, kan? Bertemu dengan ibuku yang sejak dulu aku tunggu-tunggu. Meski dengan jalan yang seperti ini.
*
Sesungguhnya semua apapun yang terjadi didunia ini sudah dalam garis dan ketentuan Nya. Tidak perlu di pungkiri, karna tiap manusia memiliki batas keimanan masing-masing. Dan Tuhan, tidak akan memberikan cobaan diluar batas keimanan manusia itu sendiri. Ingat, batas keimanan. Bukan kesabaran, teman-teman. :)
================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar