Kamis, 08 Maret 2012

REPOST - Seputih Abu-Abu


Desah nafas memburu. Aliran darah turut berpacu. Ikut menjemput bersama sang waktu. Yang jauh terkubur bersama sang waktu. Kisah Putih dan Abu-abu…

Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan ini. Membiarkan ingatanku larut bersama udara yang menjemput kenangan masa lalu. Secuil kisah yang bahkan sudah rapuh tertimbun oleh waktu. Helaan nafasku pun sudah ragu untuk mengenali memori kala itu. Sebegitu jenuhkah otakku karena terus dijejali dengan ingatan tentang rasa itu? Pandanganku membeku, tatkala mataku berhenti pada satu titik. Objek itu seakan menahan kedua indra penglihatanku untuk tidak lepas dari sana. Dia… bersama dua orang temannya baru saja melangkah memasuki pintu. Gelak tawa selalu menyertainya sampai ia dan kedua temannya mendudukan diri di bangku yang telah tersedia. Seakan kebahagiaan takkan pernah menjauh darinya…

***
Putih dan Abu-abu. Dua perbedaan yang bukan tak mungkin untuk bisa disatukan. Pada kenyataannya. Pun kisah indah selalu berawal darinya. Dimasa putih abu-abu.

Lagi-lagi aku hampir tergelincir. Pematang sawah yang sedang kutapaki ini selalu saja membuatku kesal. Lebarnya yang tidak lebih dari penggaris 30 cm ini tak berniat mengasihaniku sedikit, dengan cara melebarkan pematangnya sebesar bandara mungkin? Itu gila, batinku menampik. Argh sial! Kenapa pula penutupan MOS dengan cara kemping di tempat seperti ini sih? Dan kenapa harus AKU yang ditunjuk oleh kakak-senior-sialan itu untuk membawa barang bawaannya? Belum lagi perlengkapan kelompok yang harus jadi tanggung jawab tiap anggota. Dan…

BRUKK … !!




Sial! Sial! Sial! Umpatku dengan kepala yang mendidih. Inilah muara kesialanku. Entah mungkin ditakdirkan tali sneakers kiriku untuk lepas, dan membiarkan yang kanan menginjaknya. Maka, disinilah aku sekarang. Terjatuh ke sawah berlumpur yang mungkin ditakdirkan pula untuk menerimaku. Segera aku mengalihkan pandangan pada teman-temanku yang sudah jauh di depanku. Tidakkah mereka tahu apa yang baru saja menimpaku? Jangankan menghampiriku, menoleh pun tidak. Aku bangkit dan mengambil barang-barang yang ikut terjatuh. Lalu kuseret ikut mendudukan diri di pematang. Selanjutnya, aku mencoba membersihkan pakaian dan bawaanku yang menjadi korban lumpur, sembari mengistirahatkan diri.

“Ehm… Sini gue Bantu.” ujar sebuah suara yang kontan menghentikan aktivitasku. Aku terperangah, saat laki-laki itu mengambil barang perlengkapan kakak senior dan dibawanya mendahuluiku. Bahkan tanpa pernyataan setuju dariku. Saat sosoknya semakin jauh, aku tersadar. Cepat-cepat aku berdiri dan mengemasi bawaanku, dan ikut berjalan mengikutinya. Tentu saja setelah selesai menalikan sneakersku dulu.

Langkahku berhenti di ujung pematang sawah. Sebuah lapangan terbuka terhampar dihadapanku. Dipenuhi oleh siswa-siswi yang sebagian besar duduk betebaran bersama barang bawaannya. Tidak sedikit pula yang sudah mulai mendirikan tenda, agar segera mendapat yang nyaman sepertinya. Kuteliti lagi setiap penjuru lapangan ini lebih cermat. Hingga mataku menangkap apa yang yang kucari. Itu mereka. Bersandar pada ranselnya masing-masing, kelelahan luar biasa terpeta dari wajah mereka. Aku jadi geleng-geleng sendiri melihat ulah kelompokku itu. Tidakkah mereka sadar bahwa masih dalam kekuasaan para senior?

Tak ingin dianggap orang linglung karena sedari tadi berdiri, aku memutuskan untuk mendekati mereka. Lumpur yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhku, menimbulkan keraguan untuk kesana. Mungkin takut lebih tepatnya. Takut jika kesialan itu masih mendekatikudan menuntunku menuju muara yang lebih luas lagi. Hingga akhirnya aku menjadi pusat gravitasi di lapangan ini, hanya karena lumpur di sneakersku berhasil membuatku terpeleset saat menginjak lapangan basah berumput ini. Lalu tawa menggema di lapangan ini. Huh… sungguh menggelikan. Ah, masa bodoh lah. Aku mengusir mimpi buruk itu jauh-jauh. Jika benar itu terjadi, sepertinya aku harus berlapang dada menerima kesialan itu menjadi sahabatku. Perihal lumpur di badanku, otakku menyimpulkan, resiko kemping dekat sawah.

Aku bersyukur mimpi buruk itu tidak terjadi hingga aku mendapati kelompokku. Aku menghembuskan nafas lega dan turut melakukan hal yang serupa dengan mereka. Tiba-tiba saja kedatangan seorang senior sontak membuat kami membenarkan posisi. Belum semenit aku bernafas lega, senior itu tampaknya akan memfungsikan jabatannya, dan kelompok kami jadi sasarannya. Mungkinkah kesialan itu lagi? Entahlah…

“Heh! Lo yang bawa barang gue tadi, kesini!” tanpa prolog terlebih dahulu, nada suara khas seniornya membentak kami. Tunggu… Tunjuknya mengarah padaku. Akukah yang dimaksudnya? Ya ampun! Aku benar-benar melupakan laki-laki yang membawa barang kakak senior itu. Dimana dia? Keselamatanku bergantung padanya.

“Lo kesini!” hardiknya lebih keras, karena tatapan pasrahlah yang aku beri sebagai jawaban bentakannya yang pertama tadi. Firasat buruk! Batinku menyerukan.

“Ya kak.” ucapku mempraktikkan seorang junior terpatuh.

“Barang gue yang lo bawa tadi mana?” katanya ketus.

“Hmm… mmm.. eh, i..itu..”

‘Ini kak, tadi gue yang bawain.” laki-laki itu muncul tiba-tiba dan lansung menyodorkan barang itu pada senior tadi. Dia menerimanya dan berlalu dari hadapan kami, meninggalkan arogansi pada setiap jejaknya. Selepas dari senior tadi, laki-laki disampingku juga beranjak meninggalkanku. Dia pergi tanpa mengucapkan apapun padaku. Bahkan ucapan terima kasih pun belum sempat keluar dari mulutku. Diam-diam hatiku mengabadikan sosoknya.

*
Satu sisi mencoba mengenali. Meskipun yang lain tak pernah peduli. Ia akan tetap diam dan menanti. Menunggu asa yang tak akan pernah terjadi  Seperti Abu-abu yang mencoba menjadi Putih.

Namanya Rio. Lengkapnya Mario Stevano Aditya Haling. Semenjak pertemuan singkatku dengannya, hatiku sedikit berbeda. Dia seolah menarikku kedalam pusat medan magnetnya. Membuatku tak hentinya berfikir tentang apa yang kurasa disaat aku memandangnya, bahkan mengingatnya. Rasa itu membuncah tatkala aku berpas-pasan dengannya, atau saat dia secara tak sengaja menatapku disaat aku sedang memandangnya juga.

Dalam diam aku mencoba mengetahui segala tentangnya. Kelasnya yang hanya berjarak tiga kelas dengan kelasku. Posisi dimana dia duduk sewaktu menyimak materi dari guru pun aku tahu. Bahkan mata pelajaran paling disukainya pun tak terlewatkan untuk kuketahui pula. Aku tahu, setiap jam istirahat dia selalu duduk di bawah pohon di taman sekolah. Menyibukkan dirinya dengan bacaan yang dibawanya. Dan sekali lagi aku tahu, buku apa yang betah membuatnya berlama-lama disana. Novel misteri atau cerita detektif yang sangat disukainya. Ingin sekali aku bisa disana dengannya. Setidaknya, berbicara tentang apa yang dibacanya. Mungkin komik-komik detektif yang sesekali kubaca bisa sedikit mengimbanginya. Dan itu takkan pernah jadi nyata.

Diluar semua itu, sisi lain diriku mengatakan sebaliknya. Menyembunyikan ketertarikanku padanya dibalik ketidakpedulianku. Aku bersikap seperti yang seharusnya, seperti aku yang tidak mengenalnya. Tidak sedikit pun aku menunjukan kekagumanku padanya, tidak juga pada orang-orang disekitarku. Rasa itu hanya berada dalam hati. Benarkah aku menyukainya?

*
Putih dan Abu-abu terus berlari. Mencoba menemukan ujung akhir rasa ini. Walaupun untuk tidak dikenali. Demi suatu yang tak pasti.


Semua terasa berbeda disaat aku sudah berada di kelas XI. Tidakku duga, semua yang tercetus oleh anganku dapat diwujudkan sang waktu. Dia mengenalku. Dan aku, tentu saja sudah mengenalnya dari dulu, walaupun dalam geriliya ku sendiri. Tidak hanya itu, kesamaan jurusan walaupun beda kelas, membuatku setidaknya bisa mengakrabkan diri dangannya.

Aku mengikuti ekskul PMR, begitu juga dengannya. Membuatku merasa sangat bersykur karena setidaknya aku memiliki alasan untuk bisa berbicara dengannya. Mengukir cerita tak berarti apa apa baginya tapi sangat berharga bagiku.

“Eh, Shill! Kayaknya kain kasanya kurang deh. Tuh liat, kayunya masih keliatan. Dan lo ngikatnya juga gak kenceng, bentar doang, lepas pasti tuh iketannya.” ucapan Rio menghentikanku saat mengikat tangan salah seorang temanku yang kali ini menjadi korban disela-sela latihan PMR. Serasaku tidak ada yang salah pada kainnya, lagipula ikatannya juga tak terlalu kuat, kasian korbannya kan?

“Sok tau banget sih lo, Yo! Kainnya emang segini kok. Dan lo mau tangung jawab kalo korban kesakitan, gara-gara iketannya terlalu kuat?” aku malah menjawabnya dengan pembelaanku.

“Yee dibilangin. Lo pikir kasa kita kurang? Makanya lo ngebalutin kayunya sedikit. Itu yang buat korban semakin sakit. Dan gue gak mau kelompok kita gagal gara-gara lo.” dia masih tetap meyakiniku.

“Gak bakal deh… lo liat aja ntar, pekerjaan gue pasti berhasil.” aku tetap bersikeras. Sedangkan Rio malah mencibirku.

Munafik memang. Bahkan sudah sedekat ini aku tetap tidak pernah menunjukan perasaanku. Kemunafikan itu memang selalu menjadi tamengku disaat rasa itu kian menghantuiku. Rasa itu tak akan pernah berhenti tumbuh dan akan selalu menunggu untuk dikenali. Begitu juga, kemunafikan selalu berhasil menyelip. Membuat aku selalu tidak setuju pada apa yang dikatakannya. Yang akan menjadikanku rival dalam setiap perdebatanku dengannya.

Aku mulai mersa bosan dengan suasana ini. Istirahat dalam ekskul PMR ini selalu membuat semua orang sibuk dengan urusannya. Termasuk dia. Rio sedang duduk berselonjor disamping lemari peralatan tampak serius dengan benda ditangannya. Demi apapun, itu pasti novel misteri yang sedang dibacanya. Karena tidak tahu harus melakukan apa, aku berjalan mendekati DVD Player yang terletak di sudut kanan ruangan. Berseberangan dengan tempat Rio tadi. Tanganku membolak-balik CD-CD yang ada disana. Mencari lagu kira-kira cocok untukku. Aku menemukannya. Kurasa lagu ini cocok untuk. Kuputar lagu itu dengan volume pelan, takut mengganggu kesibukan yang lain. Musiknya mengalun lembut ditelingaku. Menghanyutkan aku dalam setiap liriknya.

Apalah arti cinta
Bila aku tak bisa, memilikimu…
Apalah arti cinta
Bila pada akhirnya, takkan menyatu…
Sesulit inikah jalan takdirku
Yang tak inginkan kita bahagia…

Hei. Benarkah lagu ini cocok untukku? Apa iya aku mengharapkan bahagia pada akhirnya? Bahkan sebagian diriku masih tak mau mengenali perasaan itu.

“Gue gak nyangka lo suka lagu ini, Shill.” aku terperanjat. Rio sudah berada disampingku. Sejak kapan dia muncul?

“Hmm.. kenapa emannya?” aku balik nertanya.

“Hehe, gak kenapa-kenapa sih! Gue gak ngira aja, lo suka yang perginya keperasaan. Kayak lagu ini.” ujarnya sambil membolak-balik novelnya.

“Ohh…” tanggapku. Entahlah… Tapi aku menemukan keanehan dari perkataan Rio. Nada bicaranya yang berbeda dan tingkahnya yang tak sama dari biasanya. Semuanya membuatku tak berniat untuk mendebatnya kali ini.

Entah kenapa aku ingin mengganti lagu ini. Tanganku bergerak meraba-raba tombol next.

“Eh, lagunya jangan diganti dong.” Rio mencegahku.

“Hah?”

“Iya. Gak usah ganti lagunya. Biar aja lagu ini sampai abis.” Dan aku menurutinya. Membiarkan lagunya mengisi keheningan diantara kami berdua.

Benarkah aku menyukainya? Pertanyaan itu muncul lagi. Hatiku tak mampu menjawabnya. Masih berada dikebimbangan diriku. Perasaan itu masih ada, dan terus tumbuh setiap harinya. Begitu juga dengan yang satunya. Ia tetap mampu bertahan, hingga munafik itu bisa menyamainya. Semuanya mendatangkan keraguaan. Aku takut ini hanya fatamorgana yang akan hilang dalam sekejap. Tidak. Batiku mulai berteriak. Bukankah itu hanya kepura-puraan yang selalu kutunjukan di depannya? Aku menyukainya. Masih setia menjadi pengagum rahasianya. Dan mungkin akan begitu seterusnya.

*

Adakalahnya Putih dan Abu-abu berlalu. Meninggalkan segala yang tak tentu. Pasrah pada sang penentu. Berharap kisahnya dibekukan oleh waktu.

Akhirnya dipenghujung kelas XII, kami dan Ujian Nasional berjumpa. Euphoria ujian sangatlah terasa. Semua kelas XII terlarut dalam suasana yang akan mengantarnya diakhir. Tak ada lagi ekskul PMR. Aku dan Rio pun jarang bersua. Sosoknya juga tak pernah nampak di bawah pohon di taman. Dan rasaku tetap bertahan. Masih akan tetap sama, meskipun aku merasa akan menemui akhirnya.

Sekolah sudah sepi sejak 20 menit yang lalu. Tapi aku masih bertahan untuk tetap di sini. Menyusuri setiap tempat yang dijajahi oleh kakiku. Mencoba menggali ingatan yang pernah terlalui. Dan berharap aku bisa mengulangnya lagi di kemudian hari.

Langkahku berhenti disuatu tempat. Di bawah pohon, tempat dimana setiap jam istirahat selalu ku pandangi. Lebih tepatnya orang yang berada disini. Aku duduk bersandar pada batangnya. Lalu, mengeluarkan benda-benda tidak seberapa. Kertas-kertas lusuh dan kain kasa atau perban yang sudah tak terpakai. Hatiku sesak tatkala memandangnya. Benda-benda yang sama sekali tak berharga. Tapi tidak bagiku. Benda-benda ini merupakan saksi bisu kisahku dan Rio, dan diam-diam aku mengabadikannya. Berharap setiap aku memandang benda tak bernyawa ini aku bisa mengenang semuanya. Mengingat setiap detik yang pernah terukir bersamanya. Agar perasaanku tetap seperti sedia kala.

Dadaku semakin sesak. Oksigen dari pohon ini juga tidak membantu. Dan inikah akhirnya? Akhir dari perasaan tak tentuku selama ini? Membiarkan kemunafikan turut hadir bersamanya. Mengacaukan kebenarannya. Dan sekarang aku benar-benar mengakuinya. Aku mencintainya. Aku sungguh mencintaimu Mario. Dan aku menyesal mengapa baru sekarang aku menyadarinya. Di pengujung kisah tak seberapa. Disaat aku merasa inilah akhirnya.

Aku masih menatapi benda-benda di tanganku. Mereka sudah tak berbentuk dan hampir tak dapat dikenali. Karena saking seringnya kubawa kemana-mana. Hatiku miris seketika, mungkinkah perasaanku juga akan bernasib sama dengan benda ini? Lama kelamaan semakin tak berbentuk dan tak bisa dikenali pertahanan mataku mulai melemah. Cairannya seakan mau tumpah entah kenapa.

“Shilla?”

Aku terkesiap. Bodoh sekali masih menganggap tak ada manusia di sekolah ini. Nyatanya masih ada yang menemukanku. Dia…Rio.

Cepat-cepat aku memasukkan benda tadi dan mengatur agar mataku kembali normal. Aku berdiri dan berbalik menghadapnya. Wajah ragu Rio semakin membuat hatiku tak tenang. Membuka semua kenangan tertutup di otakku yang pernah aku ukir bersamanya. Dan itu membuatku tambah parah.

“Shilla” sekali lagi ia bersuara.

Dan aku benar-benar tidak tahan. Aku berlari meninggalkannya. Berlari kemana saja sekuat aku bisa. Membiarkan pertahanan mataku goyah. Kuharap air mata ini membawa sesak yang kurasa turun bersamanya. Hingga habis tak bersisa. Dan rasa yang tinggal, tidak akan terasa apa-apa.

***
Putih tetaplah putih. Dan Abu-abu akan selamanya begitu. Entah untuk berapa lamanya menunggu. Ia takkan pernah tersentuh. Karena Putih bukanlah Abu-abu.

Aku tersadar dari lamunanku. Menyadari ternyata ruangan ini sudah melantunkan sebuah lagu bernada riang. Sangat cocok untuk acara reuni seperti ini. Sangat cepat mengembalikan keakraban. Aku merogoh tas kecilku. Mengeluarkan Mp3 Player dan menyambungkan headseatnya ke telinga. Lagu itu lagi. Tapi biarlah, telingaku tak menolak untuk mendengarkan. Aku memejamkan mata untuk menikmatinya.

Bila aku tak berujung denganmu
Biarkan kisah ini ku kenang slamanya
Tuhan tolong buang rasa cintaku
Jika tak kau izinkan aku bersamanya.

Sambungan headseatku dengan Mp3 Playernya terlepas. Membiarkan lagu itu berbaur bersama udara disana. Dan aku lebih terkehut lagi, suara siapa yang terdengar setelahnya.

“Lo masih suka lagu ini, Shill?” tanyanya. Aku tidak menjawabnya. Masih diam memandangnya. Ia tertawa kecil melihatku.

“Kenapa sih, lo suka banget sama lagu ini?” ia bertanya lagi.

Kuputuskan sekarang untuk menjawabnya, “ Karena …”

“Yo, kesana yuk. Yang lain pada disana.” Salah seorang temannya membuat ucapanku tak berlanjut.

“Ya udah ya Shill, gue kesana dulu.” Ujarnya berlalu. Aku masih termangu menatap kepergiannya.

Kuputuskan untuk mengeluarkan sebuah catatan kecil dari tasku. Membuka-buka halamannya sebentar, aku berhenti pada benda-benda lusuh yang ikut kutempel disana. Memandanginya sejenak dan kubalik lagi halamannya, sampai halaman yang kucari bersua. Aku memandangi satu-satunya tulisan di halaman itu.Sebuah kalimat yang sudah berkali-kali juga dibingkai dengan lingkaran tak beraturanku.

‘Kembalilah pada rasa yang ada pada dirimu. Maka kamu akan bahagia.’

Ku baca dan kupahami maknanya dalam-dalam. Seperti yang terus kulakukan setahun ini. Sehingga rasa ini tidak terlalu terasa menyesakkan. Yah, pada akhirnya aku menyimpulkan, mencintai dalam hati akan lebih baik jika terus tersimpan rapi dan tetap disana. Tak akan pernah berubah, dan indahnya masih sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar