Syukurku tersembah hanya untukMu Tuhanku
Sayangku berkali-kali bergelut pada satu wanita ciptaanMu
Wanita cantik seperti perempuan suci dari surgaMu
Wanita yang selamanya tetap kucinta
Aku sayang mama…
***
Fajar kembali membuka hari, langit yang berkelabu menghiasi jendela kamarku yang sengaja aku buka. Masih subuh.
Perlahan kakiku menapaki lantai keramik rumahku. Ruang tengah masih gelap. Kudengar suara kucuran air dari kamar mandi. Aku mendekat perlahan.
Mama. Tangannya dengan syahdu membasuh wajahnya. Wajah dengan pancaran tulusnya. Aku takzim memerhatikan beliau membasuh lengannya bergantian. Sampai pada akhir kakinya dibasahi lalu diusap dengan basuhan air yang turun bersorak dari kran.
Aku mendekat, mama mengangkat kedua tangannya. Mulutnya bergumam kecil. Lalu kedua tangannya tadi mengusap wajah cantiknya.
“Ai? Kau kah itu?” aku tersenyum.
“Iya ma.” Jawabku singkat masih terdiam di tempat yang sama. Disamping pintu kamar mandi.
“Lekaslah sholat ya sayang.”
“Baik ma.”
Beliau berlalu setelah tersenyum. Jalannya pelan sedikit meraba udara. Aku sesegera mungkin masuk ke kamar mandi. Membersihkan tubuh dan segera berwudhu.
***
“Pagi ma…” aku mengecup pipinya kilat. Mama hanya menggeleng dan lagi-lagi mengulum senyumnya. Selalu begitu.
“Hari ini Ai pulang telat ya ma.” Ucapku serentak dengan sendokku yang mulai menampung nasi gorengku yang siap kulahap.
“Berdoa dulu!” sentak mama pelan, aku hanya bergumam ‘oh iya’ dengan suara yang tak kalah pelan. Lalu aku membaca doa sebelum makan. Atas makanan yang masih bisa kumakan pagi ini. Dan agar makanan ini menjadi barokah untukku. Setelah meng-amini doaku langsung kusantap nasi goreng kesukaanku itu.
“Memang Ai mau kemana dulu?” aku terdiam sejenak.
“Ke rumah Lani ma…” ucapku agak tersendat “Mau belajar bareng.”
Tidak terlalu bohong juga… batinku.
Mama mengerutkan keningnya, “Lani siapa toh? Pacarmu ya ganteng?” mama terkikik di akhir kalimatnya yang membuatku tersendak nasi gorengku yang nikmat itu. Kutepuk-tepuk dadaku lalu kuraih gelas air mineral yang ada di hadapanku, kemudian kuteguk sampai separuh gelas.
“Hati-hati nak.” Wajahnya cemas sambil mengelus-elus tengkukku.
Bunyi dentingan pelan antara gelas dan meja kaca yang beradu mengakhiri penderitaan kecil tadi itu. “Ai gak apa-apa kok ma.”
Dengan santai kembali ku kunyah santapanku. “Lani temen Ai kok ma.” Mama hanya mengangguk lalu mengulum senyum. Benar kan? Beliau memang sering melakukannya. Sudah 17 tahun aku mengenal mama. Seumur hidupku.
“Yaudah ma, Ai berangkat dulu.” Setelah mencium tangannya dan mengucap salam. Di depan rumah, segera kujalankan motorku agar sampai tepat waktu. Kalau telat bahaya.
***
PLUKK
Lani menoleh ke belakang. Mulut mungilnya menggerutu kesal.
“Apa sih lempar-lempar sampah?” lalu Lani memungut gumpalan tisu kecil yang tadi mengenai kepalanya kemudian membuang tisu itu ke tempat sampah.
“Cuma gitu doang, jangan marah ya…” rayuku sambil mencolek-colek bahunya, “Nanti jadi kan?” lanjutku menghadang jalannya.
Lani nampak –sok- berpikir, dengan gaya lucunya dengan arah matanya menuju langit-langit dan telunjuknya menempel di dagu. “Emm, gimana ya? Yaudah deh, berhubung aku cantik hehe.” Lani terkikik dengan kata-katanya sendiri.
“Yaudah apa?” tanyaku dengan intonasi semi merayu.
Mulut mungilnya mengerucut, “Jadi ke rumah aku maksudnya!” jawabnya ketus sambil berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju kelasnya.
“MAKASIH LANI!” dia hanya tersenyum manis mendengar teriakanku.
***
“No! Enggak gitu Haidar!” aku melengos, sudah berapa kali aku melakukan kesalahan? Lani dengan lembut menyentuh tanganku dan mengarahkan jemariku di atas tuts-tuts hitam putih piano miliknya. “Gini harusnya.” Aku mengangguk mengerti.
Enam puluh menit berlalu percuma, inilah yang namanya tak punya bakat dengan kemampuan yang hanya setengah. “Udah ah.”
“Kenapa?” Lani mengerutkan keningnya, lalu beranjak dari duduknya meraih gelas berisi sirup, kemudian menyodorkan gelas dingin itu padaku. Dengan senang hati kusambut sirup tadi dari tangan Lani.
Setelah meneguk sirup segar tadi tanganku masih mencengkram gelas itu. Aku menatap dinding ruang keluarga Lani dengan tatapan kosong. Tak berminat memutar kepala melirik benda-benda unik yang ada di ruangan itu.
“Besok mama ulang tahun. Aku tau mama rindu dengan papa. Yah kufikir bila aku bisa memainkan lagu yang biasa papa mainkan dengan piano bisa sedikit mengobati rindu mama.” Ucapku yang terdengar sangat pelan.
“Papamu bisa main piano?” aku mengangguk, “Kenapa kamu gak memberi kado lain?” aku berfikir. Ingatanku berputar-putar tentang kejadian-kejadian bersama mama. Dan tepat berhenti pada satu kejadian.
***
“Lagi apa?” mama menghampiriku, tubuhnya wangi. Pasti habis mandi.
“Lagi browsing ma.” Mama diam, aku melirik mama sekilas. “Mama kenapa?” mama menggeleng tersenyum.
“Sekarang musim apa?” aku tersenyum, lalu mengalihkan mataku pada layar laptop hitam legam milikku.
“Sekarang musim hujan. Jadi susah buat jemur baju.” Mama tertawa pelan sambil geleng-geleng.
“Kenapa sih ma?”
“Musim yang paling indah itu musim apa ya Ai?” aku berfikir sejenak.
“Menurut Ai sih musim semi. Soalnya menurut Ai musim semi itu seperti musim kedamaian, bunga-bunga bermekaran, daun-daun yang gugur tumbuh dengan menakjubkan. Mataharinya menghadirkan kehangatan, anginnya lembut. Tapi di Indonesia gak ada musim semi.” Tuturku sambil membuka toples keripik singkong, kemudian memasukannya ke dalam mulutku.
“Mama mau merasakan musim semi itu.” ucapan itu membuatku terdiam mematung.
***
“Yaudah, kalau begitu kan sudah jelas Ai. Hadirkan aja musim semi itu.”
“Kamu tau kan mamaku, emm—“
“Ouwh, maaf aku lupa. Tapi kedamaian itu gak selamanya hanya dilihat kan?” aku mengerutkan keningku tak mengerti. “Begini, kedamaian itu bisa kita dengar Ai.” Aku terdiam berfikir. “Kedamaian itu akan lebih damai ketika kita bisa merasakannya masuk ke dalam kalbu kita. Gak harus dilihat. Apa kamu pernah tau? Terkadang kedamaian itu datang ketika kita mulai memejamkan mata. Kedamaian itu bisa terjadi saat hati kita tersentuh. Mau aku kasih contoh?” aku mengangguk. Lani membenarkan posisi duduknya menghadapku.
“Pejamkan mata. Kosongkan semua pikiran kita.” Aku menutup kelopak mataku, Lani juga begitu. “Semuanya hilangkan dulu dari dalam pikiran kita. Biarkan kosong. Biarkan gelap. Sunyi.” Suaranya melemah, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Bayangkan wajah mama kita.” Aku tertegun. “Putar memori kita menuju beberapa waktu silam. Saat yang mungkin tak kita ingat sekalipun.”
“Bayangkan wajah khawatir mama kita saat kita sakit.”
***
Aku meneguk air mineral yang mamaku sodorkan. Saat yang bertepatan perutku menolak semuanya masuk. Semuanya. Keluar lagi dari mulutku. Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi ketika itu terjadi.
Di belakangku ada mama yang memijat tengkukku, sedikit menenangkan. Tubuhku lemas. Lalu terkulai di kursi ruang makan. Kepalaku menelungkup dalam tanganku di atas meja.
Mama masih memijat tengkukku. Dan masih sibuk menggosok minyak angin ke sekeliling leherku. Itu membuat tubuhku hangat. Lalu mama membuka kausku dan kembali menggosok minyak angin tadi di perutku yang dingin.
Mama memeluk tubuhku, lalu menggendong tubuhku yang masih kecil itu. Jalannya pelan meraba udara.
Setelah sampai di kamarnya, mama menidurkan tubuhku di atas ranjangnya yang besar. Kemudian menyelimutiku. Mamaku tidak tidur, hanya berbaring di sebelahku membelai rambutku. Sampai aku terlelap.
Tengah malam aku terbangun. Tubuhku gerah. Aku melihat mama tak lagi ada di sampingku. Mama sedang sholat di sebelah ranjang. Mama sedang berdoa dengan suara parau yang pelan. Diantara banyak doanya untuk kesembuhanku, yang paling kuingat adalah doa terakhir mama yang membuat hatiku mencelos.
“Biarkanlah aku yang menggantikan anakku ya Allah. Biarlah aku yang sakit.”
***
Aku ingat peristiwa itu. Umurku ketika itu 5 tahun. Wajah itu. Doa itu—
“Bersyukurlah yang masih bisa mengingat semua itu. Tuhan masih sayang kepada kita. Kita masih bisa mengingat mama kita. Bahkan sekarang masih bisa melihat wajah malaikatnya.” Lani meneruskan ucapannya.
Lani ini sedang apa ya? Muhasabah? Biarlah, hatiku pun mulai sedikit bergetar ketika bibirnya mengucapkan kata ‘mama’. Patut dicoba.
“Sekarang bayangkan kenangan indah kita bersama mama dan papa. Bisa? Apa bisa? Jika bisa bersyukurlah kembali pada yang Esa. Karena saat indah itu adalah potret kebahagiaan yang tak akan bisa diulang lagi.”
***
Dentingan piano berbaur dengan udara. Suara getarnya menelusup menuju indra pendengaran.
Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta
Papa menarikan jemarinya lincah diatas tuts piano hitam. Sementara aku duduk di sofa dekat piano tadi bersama mama. Sedang menggenggam tangan mama.
Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama
Mama mendekap kepalaku. Papa terus memainkan pianonya sambil sesekali melirik mama dengan senyuman menawannya.
Walau tak dapat selalu kuungkapkan
Rasa cintaku tuk mama
Namun dengarlah hatiku berkata
Sungguh kusayang padamu mama
Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama
Tepuk tangan yang meriah mewarnai akhir konser kecilku dan papa. “Suara malaikatmu tak akan bisa mama lupakan. Suara kedamaianmu adalah hadiah terindah untuk mama.” Lalu mama mengecup keningku. Kemudian papa menghampiri kami. Kemudian mengecup keningku, lalu juga mengecup kening mama dengan mesra.
***
“Terima kasih ya Tuhanku, Kau masih memberi kami kenangan-kenangan yang selalu bisa kita ingat. Untuk menegur kami sewaktu-waktu betapa besar kasihMu pada umatnya.” Aku membuka mataku.
“Aku ada ide!” Lani tersenyum senang mendengarnya.
“Aku tau kamu selalu punya cara untuk membahagiakan mamamu.” Dadaku berdebar saat pujian tadi terlantun.
***
Fajar tengah merangkak-rangkak menyembulkan cercah sinarnya. Setelah sholat subuh aku mengajak mama duduk di teras belakang. Udara pukul enam pagi masih segar dengan nafas pohon yang menderu membawa nikmat kesegaran.
“Selamat ulang tahun ya ma. Dengan bertambahnya umur mama Ai yakin Allah sayang sama Ai. Karena Allah tau Ai sayaaaaang sekali sama mama. Semoga mama selalu dalam lindunganNya. Amin.” Aku mengecup tangan mama, mama mengulum senyum bahagia lalu mencium keningku kemudian memelukku.
“Bolehkah Ai memberikan kedamaian sedamai musim semi untuk mama?” aku manggenggam tangan mama, mama mengangguk senang sambil mengusap pipiku.
Terkenang masa kecilku, ku dicintai, ku dimanja
Kau ada di setiap hariku, temaniku, sayangiku
Kini ku beranjak dewasa, ku rindu kau slalu ada
Bersama akan kulantunkan lagu cinta dan berkata…
Kau alasanku bernyanyi, alasanku nikmati indahnya hari yang hadir dalam hidupku
Kau alasanku berharap, alasan ku percaya, engkaulah alasan yang terbaik bagiku…
Saat semua air mata jatuh temani hariku
Saat semua tawa hilang hadirmu memberi cinta dan hanya…
Kau alasanku bahagia, alasanku meraih semua mimpi, cita dan keajaiban
Kau alasanku berharap, alasan ku percaya, engkaulah alasan yang terbaik bagiku…
Kau alasanku bernyanyi, alasanku nikmati indahnya hari yang hadir dalam hidupku
Kau alasanku berharap, alasan ku percaya, engkaulah alasan yang terbaik bagiku…
Engkaulah alasan yang terbaik…yang terbaik…yang terbaik…yang terbaik bagiku…
“Terima kasih anakku. Terima kasih ya Allah Engkau telah memberiku anak yang bisa memberikan kebahagian untukku.” Mama menangis, lalu memeluk mencium pipiku.
“Haidar yang beruntung mempunyai mama setegar mama. Wanita yang tidak bisa melihat dunia sejak lahir, namun mama selalu memperlihatkan semuanya pada Haidar.” Balasku memeluk mama.
Mama mengusap rambutku, “Nanti siang papa akan pulang, papa cuti untuk mama.” Seketika itu air mata mama kembali tumpah. Pria miliknya akan segera dilihatnya.
***
Ya Rabb jagalah cinta mulia yang telah terbina
Lindungilah dan taruh mereka dalam surgamu kelak
Agar cinta mereka dapat bersua kembali
Namun ya Rabb jagalah juga bidadari yang telah Kau siapkan untukkuSiapapun dia, lingkupilah setiap perbuatannya dengan cahaya
Agar cinta suci kami kelak akan tetap dalam naunganMu
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar