Kereta akan terus melaju. Melaju sampai tujuannya.Tapi tidak untuk kisahku. Sebuah kisah yang berhenti di tengah jalan. Kisah nan terus membayangiku. Membuatku selalu meningkalkan goresan di hati.Dua sisi yang berbeda.Yang kudapatkan sekarang. Pahit yang kurasa setelah rasa manis kunikmati.
***
Aku duduk disebuah kereta dengan mesin yang menderu-deru memekakkan telinga. Perumahan dari sela-sela kaca seperti sengaja bergerak menjauhiku yang tengah memandanginya. Hembusan angin menyentuh ilalang sehingga membuatnya menarik ke kanan dan ke kiri beriringan sayangnya pemandangan alam itu hanya sebentar dapat kunikmati karena kereta ini terus berlari terbirit-birit.
Aku akan pergi menuju SMA Tunas Harapan untuk menghadiri acara reuni yang rutin diadakan lima tahun sekali. Selain acara reuni inti dari acara itu adalah untuk pemilihan ketua Osis terbaik selama lima tahun belakangan ini. Aku telah meninggalan sekolah itu dua tahun yang lalu. Dua tahun meninggalkan sekolah itu rindu rasanya. Bosan hanya termenung saja di dalam kereta kubuka ritsleting tasku nan bernuansa putih dengan motif polkadot berwarna biru lembut yang sedari tadi terselempang manis dibahu kananku. Jemariku kini meraih benda mungil yang digunakan sebagai alat komunikasi.
Jemariku telah meninggalkan sidik-sidik jari pada tombol-tombol yang berada di ponsel itu. Aku tau mereka talah lelah meninggalkan sidik jari disana hingga kuputuskan untuk mendengar Mp3.
Tak ada lagu yang terasa cocok di telingaku. Jempolku selalu saja menekan tombol next berharap bisa mendapatkan lagu yang cocok dengan suasana hatiku saat ini. Kini lagu Mother Seamo mengalun di telingaku dengan musik yang bersemangat, dan aku suka itu.
Hi, Mother
Haikei genki ni shitemasuka?
Saikin renraku shinakute
Gomen boku wa nantoka yattemaso
Sembari mendengarkan lagu jepang itu aku terus memandangi koloid aerosol yang membuat pupilku harus membelalak lebih besar agar dapat melihat lukisan alam dibalik balutan kabut yang terus melayang tek tentu arah.
… Zutto genki de ite anota
Ni wa mada shigoto ga
Oru kora no oya koukou
Uketoru shigoto ga.
Lagu itupun berakhir, sekarang kudengar intro dari lagu selanjutnya yang kini mengalun di telingaku. Entah mengapa kali ini telingaku lebih bersedia menyimak alunan lagu ini.
Melihat tawamu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku
Warna-warna indahmu…
Sebuah lagu yang tak asing di telingaku walau telah lama aku tak pernah mendengarkannya. Nada-nada mengalun di telingaku lagu yang mengingatkanku akan dia. Aku tersenyum sendiri bangga dengan otakku yang masih menyimpan memori tentangnya. Kereta melaju semakin cepat. Secepat itupulalah ingatanku melayang.
*
Namaku menggaung-gaung di aula SMA Tunas Harapan yang tengah dipenuhi ratusan siswa-siswi. aku merasa deg-degan, rasa yang sama dirasakan oleh teman-temanku yang lain. Aku melangkah menuju sumber suara, melangkah melewati siswa-siswi yang lain. Hingga langkahku semakin mendekati barisan lelaki itu. ia telah tertawa lepas bersama keempat teman akrabnya. Mataku masih tertuju padanya sedetik kemudian ia juga menoleh kearahku. Bibirku nyaris akan membentuk seulas senyuman. Untunglah aku berhasil mengunci mulutku serapat mungkin hingga senyuman itu berhasil kugagalkan saat ia telah memalingkan wajahnya ketika melihatku.
Sebuah amplop putih yang diberikan kepala sekolah telah berada ditanganku.
“ Alhamdulillah ” ucapku antusias sambil mengenggam sebuah kertas tipis dan ucapan syukur berlomba-lomba ingin melompat keluar dari mulutku. Hanya secarik kertas yang berisikan beberapa kalimat dan ditutup dengan tanda tangan bergelombang serta diakhiri dengan sebuah cap berwarna biru yang cukup untuk menghentikan detak jantungku sedari tadi saat menunggu giliranku. Jantung yang tadinya ingin berhenti ironisnya kini malah berdetak semakin cepat bersemangat untuk memompa darah-darah dari dalam tubuhku seakan-akan ia ingin menerobos tulang rusukku karena gembira yang luar biasa kurasakan. Aku LULUS !
*
Kereta terus melaju baru setengah perjalanan aku telah merasa pusing. Kurogah saku rok yang kukenakan dengan warna yang seirama dengan tasku. Kuambil minyak aroma terapi yang memang telah kupersiapkan sedari tadi. Aroma minyak itu cukup untuk menetralkan perutku yang terasa mual dan kuoleskan pula ke dahiku. Lagu itu terus mengalun merambat melalui tulang-tulang pendengaranku hingga ke gendang telinga.
Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugrah terindah yang pernah ku miliki
Lagu yang seakan kembali mengajakku untuk mengingat kenangan bersamanya.
***
Desember kala itu yang mengawalinya.mengawali segala kisahku dan kisahnya, di kereta ini. Kereta Desember.
Aku terus saja memandangi barang barang yang baru kubeli saat berlibur ke rumah nenek. Liburan ini sangat berbeda dari liburan sebelumnya. Liburan yang sangat istimewa karena diliburan kali ini mama membelikanku perlengkapan sekolah karena tahun ini aku akan memasuki tahun pertama di Sekolah Dasar. Dihari ini pula aku membeli buku cerita pertamaku ‘ Kereta Desember ’ yang terus kupenganggi di atas kereta.
Kulihat seorang ibu dengan anak lelaki yang sebaya denganku baru saja memasuki kereta. Anak lelaki itu terus saja menagis lantaran mainan kereta keretaannya rusak. Ia terus saja mengis dan saat telah duduk ia masih memandang pilu keretannya yang telah terbelah dua. Dia melihatku yang sedari tadi terus memerhatikannya kini ia mengusap air matanya mungkin lantaran rasa malu yang ia rasakan. Aku tersenyum kepadanya, ia pun membalas senyuman ku dengan bersahabat. Sebuah senyuman yang menawan yang merekah di bibir si hitam manis.
“ Hay ! ” sapanya masih tetap mengusap kedua matanya.
“ Kereta kamu rusak ya? ” ucapku sambil menujuk mainan yang tengah dipangkuannya.
“ Iya… ” lirihnya. “ Buku apa itu? ” sambungnya lagi.
Aku yakin ia tertarik karena melihat cover pada buku yang sedang kupeganggi ini. Karena di cover buku ini ada gambar kereta berwarna merah.
“ Ini namanya komik, judulnya ‘ Ke-re-taa.. De-semm-berr.. ’ ”jawabku sambil membaca judul komik itu terbata-bata.
“ Wah ! judulnya bagus.” Tukasnya kini lebih tertarik dan mendekat kearahku untuk memeganggi buku itu.
“ Kita ketemunya juda di kereta ya? ” ujarnya lagi
“ Berarti kita…” ucapku dengan ekspresi serius.
“ Kereta desember ! ” Ucapku dan lelaki hitam manis itu serentak.
***
Kereta ini treus saja menderu-deru tak karuan. Alunan lagu masih menemaniku.
Sikapmu yang slalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu
Kuangkat tangan kiriku agar dapat melihat sang waktu dengan jelas.” Sebentar lagi” batinku. Kubiarkan tangan kiriku masih mengambang di udara ada sesuatu yang terjuntai-juntai dipergelangan tanganku. Telah lama tak kukenakan gelang dengan angka duabelas sebagai liontinnya. Pagi tadi entah mengapa aku tertarik saja mengenakannya. Sekarang sang gelang seolah menghipnotisku untuk kembali lagi kemasa lampau.
***
Desember kala itu mengawali segalanya, di Kereta Desember. Dan Kereta Desember pulalah yang akhirnya mengakhiri sejuta kisah. Kisahku dan kisahnya. Menjadi sebuah kenangan manis walau terkadang terasa pahit. Kan ku kenang selalu meski tak berarti bagimu.
Aku baru saja memasuki gerbang SMP Tirta Jasa. Tak sabar ingin bertemu anak lelaki yang kujumpai di kereta beberapa tahun silam. Aku tak menyangka perkenalan yang sederhana itu bisa menjadi sebuah persahabatan. Persahabatan yang sangat manis. Tak ada pertengkaran walau hanya sekali dan aku berharap pertengkaran itu tak kan pernah ada. Aku terus tersenyum sambil terus menyusuri koridor sekolah aku ingin mengajaknya untuk mendaftar ke SMA Tunas Harapan setelah kelulusan nanti. Karena saat ini aku dan dia telah berada di tahun ketiga. Seminggu lagi pengumuman kelulusan akan diumumkan. Disana tepat diujung koridor aku melihat lelaki yang kucari itu tengah membelakangiku ia sedang bersama Zahra. Sahabatku itu memang sangat menyukai gadis yang ada di hadapannya itu. Aku terkejut saat Zahra memegang sebuah buku dengan judul Kereta Desember. Kemudian ia berucap.
“ Thanks ya, kamu udah mau ngasih buku ini buat aku ”
Apa? Dengan seenaknya ia memberikan buku itu ke Zahra? Aku tak tahan mendengarkan perkataan Zahra.
Yang semakin membuat emosiku tak terbendung lagi saat melihat lelaki itu merespond dengan anggukakan kecil. Reflek saja mulutku melemparkan kata-kata ke arahnya.
“ Hebat ! gue salut sama lo. Jadi cinta itu seperti ini ya? rela mengorbankan apa pun yang lo punya! Lo udah amesia ! bahkan lo ngga menghargai buku persahabatan kita secuil pun? Perasaan lo ke dia lebih berarti di banding persahabatan kita yang CUMA nyaris 9 tahun ini. ” ucapku dengan penekanan ekstra pada kata ‘ Cuma ’.
“ Ohh, stop lo nggak usah ngomong! Lo ngga berhak! Gue senang kalo lo bahagia sama Zahra. Bahagia banget! Tapi sayang kebahagian itu tertutup dengan rasa kecewa gue. Buku yang selama 9 tahun ini gue jada dengan seenak jidad lo. Lo kasih ke dia! Parah! Gue acungin jempol dengan keputusan lo! ” ucapku dan langsung meninggalkan mereka berdua. Walau lelaki itu terus memangilku tapi ku tulikan gendang telingaku hingga aku terus pergi menjauh dari tempat itu. menjauh untuk selamanya bak dilanda gempa berkekuatan 10 skalaricther dan merobohkan pondasi-pondasi persahabatan aku dan dia.
***
Kereta terus menelusuri rel penuntunya. Aku tersenyum sendiri saat mengenang peristiwa itu. peristiwa dari pengakhiran persahabatan kami. Aku heran mengapa kemarahku memuncak dulu dengan hal sepeleh semacam itu. aku terus memandang ke jalanan yang tetap tenang. Aku hanya merasa itu semua adalah salahku. Salahku yang tak pernah mau untuk memberikan maaf kepadanya. Kata maaf yang terlalu sering ia ucapkan kepadaku. Pada akhirnya ia lelah dan tak pernah lagi mau mencoba mengucapkan kata itu kepadaku dan bukan salahnya juga pada akhirnya ia bisa mendapatkan teman yang sefikiran dengannya. Mungkin lebih baik dariku.
Saat kau di sisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugrah terindah yang pernah ku miliki
Kutekan tombol stop pada ponselku hingga lagu itu berhenti sebelum waktunya. Sang rel telah berhasil menuntun kereta ke tempat tujuannya. Akupun turun dari kereta, angin bertiup menyibak rambutku yang terikat. Angin itu juga meningalkan partikel debu dan pasir yang merubah warna sepatu pantofel hitamku menjadi krem keruh. Kuhirup udara di tanah kelahiranku sekali lagi dan lekas menaiki metromini karena acara reuni itu sebentar lagi akan dimulai membuatku tak sempat untuk singgah kerumahku terlebih dahulu.
***
* SMA Tunas Harapan *
Tunas harapan telah ramai. Hiruk-pikuk, canda-tawa telah menebar segala penjuru aula yang akan baru ku masuki.
“ Shilla…!, ” suara nyaring yang tak asing lagi bagiku menyebut namaku. Lekas ku menoleh ke belakang.
“ Kok telas sih? Lo kan nominasinya yang lain udah pada datang lo !.” sambung suara itu lagi.
“ Sory, sory ! eh, lo tambah manis aja Fy !.” Candaku dengan si pemilik suara nyaring itu.
“ Iya dong gue kan pake pemanis buatan, udah buruan masuk sana ! ” Ujar Ify dan langsung pergi meninggalkanku dan langsung melaksanakan tugasnya kembali sebagai panitia.
Ku lemparkan senyuman ke arak kak Agni yang menjabat sebagai ketua Osis setahun di atasku. Tak lupa ku sapa Deva, Dea, dan Sivia. Mereka berempat adalah saingan dalam acara ini.
“ Kok telat sih Kak?. ” Tanya Deva kepadaku.
“ maklum Dev, dari Bandung aku langsung kesini.”
“ Oh gitu ya ! ” jawabnya.
Tarian pembukaan mengawali acara ini. Selanjutnya kata-lata sambutan dari pejadat tinggi SMA Tunah Harapan diselingi pula dengan lagu Mars SMA Tunas Harapan dan banyak kejutan-kejutan lain di dalam acara kali ini. Ini adalah acara terbaik yang pernah ku lihat dari reuni-reuni tahun-tahun yang lalu. Osis tahun ini luar biasa fikirku.
“ Via acaranya Keren!. ” ucapku memanggil Sivia yang menjabat sebagai ketua Osis tahun ini.
“ Makasih Kak.” ucapnya sambil tersenyum manis dengan lesung pipi merekah di wajahnya.
Ku lirik sekeliling aula berharap bisa menemukan sosok yang di incar oleh indra penglihatanku. Mataku terus saja mencari sekelompok pemuda popular berharap bisa menemukannya di antara mereka. Tak biasanya sekelompok pemuda yang terdiri dari empat personel itu tidak menampakkan wujudnya di acara seperti ini.
Di layar lebar kini telah memutar video masa pengurus Osis dan kak Agni sebagai ketuanya. Selanjutnya aku, Deva, Dea dan Sivia. Aku merasa aku tidak terlalu memberi perubahan pada sekolah ini. Kak Agni, deva, Dea dan Sivia kurasa lebih baik daripadaku. Akupun tak berharap menjadi yang terbaik. Aku kagum dengan Sivia saat melihat vidionya begitu banyak trobosan trobosan baru yang sangat positif yang telah ia lakukan. Sekali lagi aku melirik gadis yang lebih muda tiga tahun dibawaku ini. Dia hebat!.
Pemilihan 50% dilakukan oleh para siswa yang hadir dan 50% lagi ditentukan oleh guru berserta kepala sekolah. Aku kaget setengah mati saat melihat hasil voting itu, aku dan Sivia imbang. Tinggal 1 poin lagi yang menentukan yaitu poin dari pak Oni sebagai kepala sekolah di SMA ini sekarang. Aku tak berharap untuk bisa jadi pemenagnya karena Sivia lebih baik dan telaten dariku.
“ dan setelah melihat, menimbang, dan merasakan, perubahab perubahan yang telah dilakukan oleh pengurus Osis kita selama 5 tahun ini. Semuanya adalah yang terbaik.!, dan saya putuskan untuk memberikan suara saya pada Osis yang diketuai oleh….” Ucapan pak Oni terputus dan Semua pada deg…deg…gan…aku bisa merasakannya! Kecuali aku….!!!
“Sssss……”
Suasana tambah tegang…
“ Sivia Azizah, ketua osis tahun ini ” ucap pak Oni.
Semua bertepuk tangan dan bersorak sorai…!. Sivia naik keatas panggung dan kepala sekolah memberinya penghargaan untuknya sebagai ketua Osis dan juga untuk para anggotanya yang telah setia bahu membahu untuk mewujudkan perubahan yang baik di sekolah ini. Saat Sivia menuruni panggung kami semua menyalaminya dengan bangga.
“Oke, semuanya …!!!” terdengar suara dari atas panggung yang tak lain adalah suara Ozy dan Acha yang menjadi MC acara itu.
“Selamat buat osis tahun ini, khususnya buat Sivia. tepok tangannya mana nih !” ucap Acha bersemangat.
“ Ada persembahan terakhir loh dari alumni SMA kita tercinta.” kini Ozy yang berkata kata sok misterius.
“ Pada mau denger nggak ?” sekarang giliran Acha yang bertanya kepada kami semua.
Serentak semua menjawab “ MAU…!”
“ ya udah langsung aja kita panggilkan RIGAR band…….” Ucap Ozy dan Acha serentak.
Empat orang lelaki yang sangat di kagumi para gadis itu telah menaiki panggung siapa lagi kalau bukan Rio, Gabriel, Alvin dan Ray. Ray mulai menhentakan kakinya diikuti kedua tangannya yang secara berlahan memukuli alat musik dihadapannya. Alvin sudah pasti memainkan gitar kesayangannya. Sedangkan Gabriel tentu akan berkolaborasi dengan bass berwarna putih andalannya. Sang vkalis bersuara merdu, siapa lagi kalau bukan dia, Rio.
Yah! Nada nada yang berbentuk seperti toge itu telah berputar putar dipanggung. Musik awal yang menarik membuat yang lain tak sabar menunggu syair demi syair lagu itu. Hingga sang vokalis kini bernyanyi. Aku telah lama tak mendengarkannya ia bernyanyi. walaupun status kami masih dalam, pertikaian, apa salahnya ku nikmati saja lagu ini. Batinku lagi.
Alvin telah memulai memetik gitarnya hingga terdengarlah intro dari lagu ini yang bermula dari kunci C yang tengah di buat oleh jemarinya.
Rio mengerkan badannya sesuai irama, suaranya telah terdengar dengan syair yang terus keluar dari mulutnya.
Tak seperti bintang di langit
Tak seperti indah pelangi
Karena diriku bukanlah mereka
Ku apa adanya
Rio menyainyikan lagu ini sepenuh hati. Aku menikmati lagu ini seperti halnya pendengar yang lain.
Wajahku kan memang begini
Sikapku jelas tak sempurna
Ku akui ku bukanlah mereka
Ku apa adanya
Menjadi diriku
Dengan segala kekurangan
Menjadi diriku
Atas kelebihan aku
Reff:
Terimalah aku
Seperti apa adanya
Aku hanya insan biasa
Kupun tak sempurna
Saat mengucapkan syair ini Rio lebih menghayati seakan pesan dari lagu ini pun sampai kepada para pendengar.
Tetap ku bangga atas apa yang ku punya
Setiap waktu ku nikmati.
Anugerah hidup yang ku miliki
( Menjadi Diriku_edCoustic)
Lagu ini membuatku terhanyut. Lagu ini benar. Aku seharusnya tak seperti ini, “ Maafin gue Yo !” batinku sambil terus menatapi lelaki yang berada diatas panggung itu.
“ Selamat biat Sivia, semoga lagu gue tadi bisa jadi inspirasi bagi kalian semua. Buat bisa nerima setiap orang apa adanya. Thanks” ucap Rio kemudian meninggalkan panggung itu.
Acara besar itu pun telah berakhir. Aku baru teringat bahwa nanti malam ada acara tambahan di kampus. Lekas ku telfon mamaku untuk mengatakan bahwa aku tak bisa mampir kerumah.
***
Hiruk-pikuk itulah ciri khas dari stasiun. Aku merasa tak enak hati dengan ibu karena saat ku telfon tadi terselip nada kecewa di ucapan beliau.
“ Shilla…” sontak aku langsung membalikkan badan ke sumber suara.
“ Ibu ! ” ucapku setelah membalikkan badanku dan reflek langsung kupeluk ibuku.
“ Maafin Shilla ya Bu, malah ibu yang nemuin Shilla disini ” tambahku lagi, aku merasa bersalah. Memang kasih sayang ibu sepanjang masa.
“Nggak apa-apa sayang. Ini ibu bawain makanan kesukaan kamu” ucap beliau dengan penuh kasih sayang sambil memberikan plastik berisikan makanan.
“ Makasih ya Bu, Shilla pergi dulu ” Ucapku sambil menyalami ibuku. Karena 10 menit lagi kereta akan berangkat.
“ Iya, hati-hati ya nak. Ibu pulang dulu.” Ujar ibuku dan kemudian membalikkan badannya dan kembali memasuki gerumbunan orang-orang yang berada di stasiun. Punggung beliau kini telah menghilang dari penglihatanku. Lekas ku balikkan badanku untuk kedua kalinya.
Aku terkejut. Sangat terkejut. Sel darah merahku kini seakan habis dimakan oleh sel darah putih. Sontak membuat wajahku pucat pasi. Seorang lelaki bertubuh jangkung kini telah berada dihadapanku.
“ Rio…! ” inilak kata pertamaku yang kulontarkan kepadanya . Yah kata yang menandakan bahwa aku sedang berbicara dengannya.
Ia malah tersenyum. Mungkinkah tersenyum karena melihat wajahku yah tanpa darah ini?. Entahlah aku hanya bisa menerka saja. Ia kembali tersenyum, senyuman khasnya yang telah lama tak pernah kulihat. Untunglah senyumannya kali ini berefek positif pada trombositku. Sepertinya trombosit di dalam tubuhku telah berhasil mengalahka leukosit sehingga wajahku tidak terlalu pucat seperti sebelumnya.
“ Gue seneng Shill, ternyata lo masih ingat nama gue.” Ujarnya.
“ Ngapin di sini? ” tanyaku masih dengan nada yang sedikit kaku.
“ Gue sengaja kesini buat ketemu sama sahabat gue. Sahabat kecil gue. Gue kesini buat nebus semua kesalahan gue sama lo Shill ” jawabnya.
Aku tak tau bagaimana raut wajahku saat ini. Saat ia masih mengganggapku sebagai seorang sahabatnya.
“ Ini, buku lo Shill. Maafin gue Shill ! ” tambahnya sambil mengacungkan sebuah buku lusuh kehadapanku.
“ Udah lupain aja Yo. Gue juga yang salah kok. Makasih banget lo udah jaga Kereta Desember kita. Maafin gue juga ya Yo! ” paparku dengan nada bersalah.
“ Ini Shill, ” Rio meraih tangan ku dan meletakkan benda itu ke tanganku.
“ Lo aja yang simpan Yo. Gue yakin lo bakal jaga buku itu dengan baik. Maafin gue udah nyusahin lo karena benda ini.” Ucapku sambil tersenyum kepadanya dan kini aku yang meletakkan buku itu ke tangannya.
“ Thanks Shill…” katanya
“ Keretanya udah mau berangkat Yo. Gue pergi dulu ya ” ucapku
“ Buk arsitek lo cepat pulang ya. gue kangen banget sama lo ” Jawab Rio sambil menjitak kepalaku. Dan tak ada nada kaku yang ku dengar dari ucapannya kali ini.
“ Ouww! ” Ucapku kesakitan dan ingin membalas jitakannya. Tubuhnya yang terlalu tinggi membuat tanganku kesulitan untuk mencapai puncak kepalanya. Ia hanya tersenyum. Tersenyum kembali.
“ Gue pergi dulu Yo! Sebulan lagi gue bakal kesini kok. Bye..” ucapku dan melangkah menjauhinya.
***
Desember pulalah yang pada akhirnya menyatukan kisahku dan kisahnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar